Mereka pun kembali melanjutkan makan karena makanan mereka belum habis. Di sela-sela itu juga Bu Asih menyuapi Naya karena ia bisa merasakan bagaimana sakitnya jika ada di posisi ibu Naya yang melihat anaknya diperlakukan tidak baik oleh ayahnya sendiri.
"Heh, Lo belum jawab. 'Kita' itu siapa? Lo makan sama siapa tadi di kosan?! Hah?!" Dito terus mendesak.
Naya tau Dito akan marah jika dirinya mengatakan makan bareng dengan Seno, tapi ia pun tidak mau memperlambat masalah. Akhirnya Naya mengatakannya jujur.
"Pantes aja ayah Lo bilang gitu, orang dia nyiduk Lo lagi berduaan kek gitu." Kesal Dito yang langsung membuat kedua orang tuanya melotot. Tak hanya mereka berdua, Naya pun ikut mengernyitkan kedua alisnya dan menggeleng tak percaya jika sahabatnya sendiri malah tidak berpihak kepadanya.
"Sepertinya aku harus pamit, Bu! Mauren harus istirahat, dan juga di kosan masih berantakan belum beres-beres." Naya kecewa, ia beralasan dengan hal yang kurang masuk diakal.
"Ihhh … kamu Dit! Dijaga omongan tuh napa, gak baik ngomong gitu." Tegur Asih yang membuat Dito jadi merasa serba salah.
"Kalo udah gini, mau gimana lagi? Naya udah pergi, dia ngambek. Tau rasa kamu!" Lanjut bu Asih. Ia benar-benar kesal pada Dito.
Dito yang tak merasa bersalah hanya menunjukkan raut wajah malas dan menyimpan mangkuknya di atas nakas yang ada di sampingnya. Ia membalikkan tubuhnya dan langsung berpura-pura tidur.
Di sisi lain, Naya pergi dengan bercucuran air mata. Ini bukan lagi soal bercanda atau mudah memaafkan akan sikap Dito yang blak-blakan. Tapi Naya merasa heran Dito tidak mengenal waktu ketika bicara, atau pun jika memang tidak bercanda, Dito tega sekali ikut meyakini jika dirinya memang melakukan hal yang dilarang.
Di waktu yang gelap ini, membuat Naya tak lagi takut akan kejahatan yang akan menimpanya. Ia kalut, ia tak bisa menahan kesedihannya.
Meskipun di jalanan ramai, tapi bukan berarti penjahat menggugurkan niatnya untuk melakukan apa yang sudah ada di dalam hatinya. Terlebih di kota seperti itu tingkat kesolidaritasannya sangat kurang. Jadi, mereka akan lebih banyak membiarkan orang yang sedang terkena kejahatan.
"Tadi, jika orang tuanya gak ada di sana, mungkin aku sudah bejek wajahnya yang menyebalkan itu." Gerutu Naya sambil menghentak-hentakkan kakinya ke atas aspal.
Hal tak diduga pun benar terjadi, Naya ditarik paksa masuk ke dalam mobil. Mulutnya dibungkam agar tidak dapat berteriak. Kedua bola mata Naya tertuju pada Mauren. Ia takut jika Mauren terluka dan bisa hilang darinya.
Berbagai cara telah Naya lakukan. Dimulai dari memukul orang yang membungkamnya, menyuduk orang itu dengan kepalanya, bahkan menggigit tangan orang itu dengan keras. Tapi semua caranya tidak ada yang berhasil. Naya tetap ada di dalam mobil penjahat itu.
"Ya Allah … aku mohon jaga adikku." Naya membantin saat kesadarannya mulai menurun.
Di saat seperti itu, hati Dito pun sedang diguncang dengan kegundahan. Ia baru merasa bersalah setelah Naya masuk ke dalam bahaya.
"Nay … " lirih Dito yang terbaring lemah. Membiarkan Naya keluar malam-malam sendirian, ia pun tak akan memaafkan dirinya sendiri jika terjadi sesuatu dengan sahabatnya itu.
Di ruangannya pun sekarang sepi, tak seramai tadi ketika Naya sedang berbicara. "Harusnya gue dengerin aja semua curhatannya. Lagian juga Naya gak mungkin lakuin hal kotor itu, dia sangat terjaga. Disentuh dikit pun ngambek." Batin Dito. Ia benar-benar baru menyadari perbuatannya.
"Ngapain ngelamun gitu? Nyesel udah ngomong sembarangan?!" Bu Asih mencolek lengan Dito dengan kencang. Membuat Dito semakin kesakitan dan tak bisa berpikir dengan jernih lagi.
Dito bangkit dan berusaha untuk berbicara dengan ibu dan ayahnya. Ia sangat ingin mengejar Naya, dirinya mulai khawatir dengan sahabatnya itu. Takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
"Gak bisa! Kaki kamu belum sepenuhnya sembuh. Masih lama, kamu jangan banyak bergerak." Larang Hendrik yang langsung membuat Dito kembali menjatuhkan tubuhnya.
Dito menghubungi Naya, tapi deringan dari handphone Naya terdengar sangat dekat. Ternyata handphone Naya tertinggal di sofa yang ada di ruangannya.
"Buset! Seumur hidup pun pasti gak akan nyambung kalau handphone-nya masih ada di sini. Meski kesal terus membara, gak akan pernah nemu ujungnya!" Batin Dito terus menggerutu.
Ide gila muncul di benaknya. Ia berani melakukan apa saja asal dirinya sudah memastikan Naya dalam keadaan baik-baik saja. Dito meminta ibunya untuk mengambilkan handphone Naya dan mencari nomor Seno di sana. Ia terus mengubek nama Seno.
"Seno! Gue harus minta bantuan Seno. Naya gak boleh kenapa-napa. Seno harus memastikan kondisi Naya, dia baik-baik saja atau tidak." Ucap Dito penuh penekanan.
"Nomor Seno gak ada di kontak?!" Herannya. Tapi Dito terus mencari nomor Seno dari mana pun.
Akhirnya nomor Seno itu ditemukan di catatan, Dito langsung menghubunginya. Jantungnya terus berpacu dengan cepat, ia benar-benar sulit untuk menjelaskan kejadiannya dari awal. Yang penting sekarang adalah mengetahui kondisi Naya yang sekarang.
"Hallo! Seno! Tolong cari Naya. Tadi dia kabur dari sini. Coba cari sekarang juga, gue khawatir banget ini sama Naya." Titah Dito tanpa basa-basi.
"Apaan sih Lo?! Gak mungkin Naya marah sama Lo, dia kan sahabat Lo. Eh maksud gue pacar Lo!" Seno malah mengejek.
Dito langsung berteriak, ia benar-benar syok dan kesalnya bertambah karena Seno tidak mempercayainya.
"Gue bener-bener gak bohong, Sen! Naya tadi pergi dari sini, plis gue butuh bantuan Lo sekarang." Geram Dito.
"Ko bisa gitu?! Emang Lo apain dia?" Tanya Seno santai.
Nafsu Dito semakin membara, ia meremas selimbutnya dan memukul kasur itu dengan keras. Sehingga ibu dan ayahnya menoleh yang ke sekian kalinya.
"Dito!" Panggil Hendrik dengan sangat keras.
Mendengar teriakan dari seberang telepon, Seno jadi sedikit penasaran dengan apa yang terjadi.
"Lo apain si Naya?!" Tanya Seno lagi.
Dito langsung mematikan sambungan teleponnya. Ia nyesal sudah meminta bantuan kepada orang yang salah.
Meskipun terlihat santai, aslinya jantung Seno berdegup kencang. Ia benar-benar khawatir dengan apa yang dibicarakan Dito tadi.