Dalam obrolan mereka yang terlihat asik, tiba-tiba Mauren menangis sangat nyaring. Sehingga Naya langsung lari menghampiri adiknya itu. Di tataplah wajah Mauren yang sangat lucu meskipun sedang menangis, ia rasa adiknya itu merindukan pelukan ibu.
"Kenapa, sayang?!!" Naya menggendongnya dan langsung memeluknya dengan hangat.
Tak hanya itu, ia terus menimang Mauren agar sedikit merasa tenang. Dito pun sempat kaget dan mengekori Naya di belakang ketika Mauren menangis tiba-tiba. Ia menggeleng melihat kesigapan Naya dalam merawat Mauren. Setelah Mauren tenang, Dito kembali duduk di sofa yang sangat sederhana.
"Nay, sini Mauren biar gue yang gendong. Lo makannya beresin dulu, nih, cepetan!" titah Dito sambil menggolek-golek nasi milik Naya.
"Mau ke om Dito?! Iya?! Hah? Kakak mau makan dulu, ya!" Mauren diajak ngobrol.
"Pinter ya, adik kakak! Ihhh, gumusshhhhh ... " Naya merasa gemas saat memindahkan Mauren ke pangkuan Dito. Dito pun terlihat gemas dengan adik dari sahabatnya ini, beberapa kali ia mencium pipi Mauren dengan tekanan-tekanan yang menggemaskan.
Jika dilihat dari sudut pandang orang yang belum mengenal Naya, ia pasti mengira jika Naya dan Dito adalah keluarga yang baru memiliki satu anak. Di momen itulah semua pasangan sedang asik-asiknya dan merasa sangat bahagia berada di lingkungan orang-orang terkasih. Padahal, Naya dan Dito hanya sebatas sahabat sejak kecil yang memang selalu bersama.
Kedamaian dalam kosan Naya tiba-tiba saja berubah ketika Seno masuk dan menyeret Naya keluar. Bagaikan ilalang yang bergoyang perlahan, kemudian diterjang angin topan. Dito membulatkan matanya tak percaya Seno datang, dan begitupun Naya yang kesal dengan Seno yang lagi-lagi memegang tangannya.
Rahang Dito mengeras, ia meloncorkan teriakan kasar pada Seno yang sudah bertindak seenaknya. Sejak tadi Naya pun terus memberontak agar Seno melepaskan genggaman tangannya, tapi Seno tak memberikan Naya peluang untuk itu.
"Heh, ngapain sih Lo? Tiba-tiba masuk gak ngucap salam, gak izin, tiba-tiba nyeret tangan orang aja. Gak punya etika, Lo?!" kesal Dito sambil mendorong tubuh Seno.
Seno menyeringai, "Dia, udah tanda tangan kesepakatan di atas materai. Jadi dia gak bisa satu hari pun untuk bolos bekerja!" Jawab Seno tak kalah tegas dari Dito. Melihat tangan Naya masih digenggam, Dito melepas paksa genggaman mereka. Tapi karena kewalahan gendong Mauren, Dito tak bisa menghentikan Seno yang tiba-tiba menarik tangan Naya dengan cepat dan menariknya masuk ke dalam mobil yang sudah terbuka sejak tadi.
Setelah ucapan Seno yang mengatakan Naya sudah menandatangani kesepakatannya, di sana Naya sudah tak bisa lagi memberontak dan menatap Dito nanar.
Dito benar-benar ditinggal bersama Mauren di sana, menggendongnya dengan nafas yang memburu karena tidak berhasil melawan Seno. Ia membalikkan tubuhnya dan menendang jalanan yang kosong tanpa satu benda pun.
"Begini kalau punya sahabat cantik, ya gue harus kecolongan!" gerutu Dito sambil masuk ke dalam kosan.
Berbeda dengan Dito, Seno sangat puas dengan usahanya barusan. Memang harus ada penekanan untuk Naya agar bisa kembali bekerja dan memenuhi kesepakatannya.
Di dalam mobil mereka tidak saling bicara, hanya ada cemberutan Naya yang membuat Seno malah semakin gemas.
Saat keadaan semakin sepi, Seno melirik Naya dengan tatapan yang intens. Sontak Naya pun melirik dengan tak suka, "Ngapain liat-liat?!" cetus Naya.
"Punya mata kali, lagian mukanya cemberut mulu kek badut." ledek Seno.
"Badut, badut, kamu yang seenaknya main seret orang yang lagi makan. Gak tau apa masi lapar, gak tau sopan santun!" kesal Naya.
Di sana sang supir melohok hebat, ia baru menemukan wanita yang sangat berani menentang dan memarahi majikannya sendiri. Dan ia pun baru melihat sikap Seno yang nampak selalu tenang ketika bersama Naya. Berbeda dengan wanita lain yang sering kena amukannya.
Ketika mereka sampai di rumah Seno, Naya langsung masuk ke dapur setelah dipersilahkan oleh Seno. Tak ada senyuman untuk Seno, Naya hanya fokus menyelesaikan tugasnya dan kembali pulang ke kosannya.
"Sekarang tugasku apa?!" tanya Naya kesal saat melihat semua pekerjaan di sana sudah selesai. Tidak ada gelas atau piring kotor, tidak ada ruangan yang harus dibersihkan, lantai atas dan bawah bersih, dan tumbuhan di halaman pun tertata rapi.
"Kamu cuma masak untuk makan siangku, lalu ikut makan bersamaku!" titah Seno dengan santai. Kesantaian itu membuat Naya jengah dan ingin mencakar wajahnya yang tampan.
"Ah iya, aku baru beli cobek yang hampir mirip dengan milikmu. Dan aku mau kamu gunain cobek itu sekarang juga." lanjutnya.
Daripada benar-benar mencakar wajah Seno yang tampannya kelewatan, lebih baik Naya langsung masak apa yang ada di dalam kulkas. Ia menyiapkan semua bahannya dan mencucinya ikannya sampai bersih.
Naya berniat untuk membuat kakap saus kari dan kering tempe. Sebagai awalannya, Naya membuang biji cabai lalu mencincangnya kasar, setelah itu ia lanjutkan untuk mencincang bawang putih, bawang merah, dan serai dengan cincangan yang kasar juga.
Dari belakang Seno memperhatikan Naya memasak, ia sangat tertarik sekali dengan cara masak Naya yang cepat, tepat, dan tetap menjaga kebersihan dapur.
"Hmmm, wangii!" lirih Naya saat dirinya membakar terasi.
Tangan Naya meraih wajan yang ada di lemari atas, tapi ketinggiannya tidak sampai ke sana. Dengan sigap dan tanpa ragu Seno mengambilnya untuk Naya.
"Makasi." ucap Naya sangat lirih, karena di sana masih ada rasa kesal terhadap Seno. Seno hanya tersenyum dan kembali lagi duduk.
Naya menggoreng ikan kakap itu dengan tenang, ia masih berusaha menghilangkan cipratan minyak yang sewaktu-waktu bisa menyentuh tubuhnya yang bisa membuat kulitnya melepuh.
Kemudian, Netra Naya memutar mencari keberadaan blender. Setelah dapat, ia masukan semua bahan yang sudah disiapkan tadi. Sambil menunggu bumbu yang diblender, Naya memanaskan minyak untuk menumisnya. Indra penciuman Seno langsung bangkit saat mencium wanginya campuran bumbu yang ditumis. Dengan cepat ia bangkit dan mendekati Naya lagi.
"Sangat wangi!" lirihnya yang sampai pada pendengaran Naya.
"Mau dibantu?!" lanjutnya menawari.
Mengingat Naya harus membuat kering tempe, akhirnya ia pun menyuruh Seno untuk memotong tempe dengan ukuran jari kelingking bayi dan lebih tipis dari itu. Seno kebingungan, sampai-sampai ia mengukur dengan jari kelingkingnya sendiri.
"Gini!" Naya langsung memberinya contoh karena tidak mau memperlama pekerjaannya.
Seno mengangguk, ia merasa dirinya payah karena cuma memotong tempe saja tidak bisa. Di balik dinding dapur, semua pekerja di rumah Seno berkumpul. Mereka terkejut dan salut ketika melihat bosnya berani menyentuh pisau dan memasak masakan untuk makannya sendiri.
"Neng Naya benar-benar merubah pak Seno! Setelah kenal dengan Neng Naya, pak Seno tak pernah terlihat menggandeng banyak wanita lagi. Berawal dari cobek, kini kehidupan pak Seno semakin membaik." ucap Bi Nami sedikit terharu.
"Iya bi, tadi juga cuma Neng Naya yang bisa marah sama pak Seno. Bener-bener deh," ucap sang supir merasa takjub.
"Naya benar-benar chef cobek!! Dengan cobek itu ia tidak hanya pintar masak, tapi pintar meluluhkan hati pak Seno yang keras." tambah Security antusias.