Chereads / Chef Cobek / Chapter 21 - NASI GORENG TERLEZAT

Chapter 21 - NASI GORENG TERLEZAT

Naya membawa cobek itu ke ruang tamu, ia sangat senang dan sangat antusias menyambut kedatangan cobeknya yang tiba-tiba. Dito pun bereaksi sama, ia tak kalah bahagia dari Naya.

"Berarti besok aku gak jadi pergi ke rumah pria itu lagi!" senang Naya.

"Buat apa?!" 

Naya pun menjelaskan semua yang terjadi di rumah Seno, tak lupa ia memperagakan diri sebagai Seno yang sering gugup menghadapnya. Dan sesekali Dito tertawa mendengar cerita Naya.

Ketika Naya selesai menceritakan semuanya, Dito pamit pulang untuk bekerja. Ia akan kembali di hari esok untuk makan bersama dengan Naya.

Di malam harinya, ada pesan masuk ke nomor Naya dari nomor tak dikenal. Naya sempat membiarkannya dan tidak meresponnya. Namun, nomor tak dikenal itu mengingatkan Naya untuk datang di hari esok. 

"Seno?!" panggil Naya dengan tak percaya.

Ini menjadi kesempatan Naya untuk mengatakan kalau cobek itu sudah ada padanya. Ia pun mengatakan jika dirinya tak perlu datang ke rumah Seno.

"Tidak bisa! Kamu sudah menandatangani persyaratannya, dan kamu harus tetap datang memenuhi persyaratan itu." balas Seno tanpa lama.

Mengingat dirinya tidak punya uang untuk membeli kebutuhannya dan kebutuhan Mauren, ia kembali menimbang dengan benar. 

"Oke! Tapi cuma satu bulan saja. Setelah itu kamu gak boleh ngatur apapun." balas Naya yang tak kalah tegas.

Seno hanya mengirim emot jempol. Tapi pada kenyataannya, Seno bergembira ria berhasil membujuk Naya untuk tetap datang ke rumah.

Seno adalah anak tunggal dari pasangan yang memang sudah terlahir kaya. Nenek moyangnya pun bahkan lebih kaya dari orang tua Seno dan Seno nya sendiri. Dengan itu ia memang tidak bisa jika berlama-lama dalam kesusahan. Baik itu dalam percintaan, atau pun kehidupannya yang lain. Ia bisa merogoh berapapun uang agar keinginannya tercapai.

Sebelumnya Seno tak pernah bermain dengan beberapa wanita, ia sering menyuruh bawahannya untuk membawakan wanita kepadanya. Tak aneh jika wanita mudah mendekatinya, tapi tidak dengan Naya. Naya tak mau disentuh meskipun hanya tangan, jika disentuh pun itu karena paksaan. Dan Seno pun entah kenapa ragu untuk menjalankan niat buruknya.

Di keesokan harinya, Naya dan Dito pergi ke rumah Seno setelah mereka makan. Terlihat Seno sudah menunggu di depan rumah sambil melipatkan kedua tangannya. Ia menatap ke arah Naya dan Dito dengan datar.

"Kirain patung!" bisik Naya pada Dito. Sontak Dito tertawa dan langsung terdiam karena semua penjaga di rumah Seno menampakkan dirinya. Dito dan Naya keheranan, mereka belum tau jika di rumah Seno tidak boleh ada keramaian dari orang baru.

Seno menggerakkan kepala ke sebelah kanan sambil menaikkan satu alisnya menyuruh Naya segera masuk. Naya mengerutkan dagu dan meniru wajah Seno yang tadi menaikkan satu alisnya. 

"Nay, Lo yakin gak papa gue tinggal sampe siang?" tanya Dito memastikan.

Naya melirik, "Yaampun Dit, gue kan kerja. Lo juga kerja juga 'kan? Gak papa lah gue ditinggal. Gue bisa jaga diri kalau sama dia. Tenang, kalau dia macem-macem, gue bisa getok pake cobek yang gue bawa!" ucap Naya penuh keyakinan.

Dito tertawa, "Oke deh, gue cabut ya! Hati-hati Lo. Assalamu'alaikum." ia menaikkan kedua alisnya dan menjalankan motornya.

Naya melambaikan tangannya diiringi dengan senyum yang mengembang, membuat seseorang iri akan kedekatan mereka. Seno menatapnya iri, ingin sekali ia ada di posisi Dito. Akrab dengan Naya dan menemani kemana pun Naya pergi.

"Mau tetep di situ sampe siang?!" tanya Seno kesal.

"Boleh," Jawab Naya menantang.

"Masuklah! Gue butuh asupan, masak sana!" titahnya.

Naya berjalan sambil memajukan mulutnya dengan riutan alis yang sedikit tebal. Tak terasa ada garisan senyum yang tertarik ke atas. Seno menyukai cemberutnya Naya, terlebih ketika marah. Belum pernah ada wanita seberani Naya, memarahi bos besar dan menunjuknya dengan jari.

Seno pun mengikuti Naya di belakang, ia duduk di dapur sambil menyandarkan punggungnya. Ia terus memperhatikan Naya, menyiapkan sarapan sambil menggendong Mauren.

"Cewek yang langka!" gerutu Seno dengan senyuman smiriknya.

"Hah gila! Cobek itu? Ko bisa?!" Seno terkejut saat cobek yang ia beli sudah ada di genggaman Naya. Terlihat Naya mengulek bumbu di sana, dan Seno pun langsung menghampirinya.

"Co-cobek ini ko bisa ada di kamu?!" 

Merasa jarak mereka terlalu dekat, Naya sedikit menggeser ke samping.

"Lah emang ini punya aku, 'kan?" sewot Naya.

Seno tergugup, lantas ia mencari celah untuk meringankan kegugupannya.

"It … "

Naya langsung memotong ucapan Seno, "Udah deh, sekarang biarkan aku masak, dan kamu tunggu aja di meja. Biar pekerjaannya cepat selesai!" geram Naya.

Tak bisa berkutik, akhirnya Seno kembali duduk dan terus memikirkan cobek yang tiba-tiba ada di tangan Naya.

Dengan lihainya Naya memasak, menggendong Mauren bukanlah hal sulit baginya. Ia bisa melakukan itu seorang diri, tanpa bantuan siapapun.

Kedua mata Seno terpejam halus saat masakan Naya di hidangkan, padahal cuma nasi goreng dengan taburan telur bubuk di atasnya.

Lama memejamkan mata, Seno kembali sadar dan mulai menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya. 

Seno berhenti mengunyah, "Hah?! Ini nasi goreng bikinan dia kah? Rasanya beda banget. Gue baru nyobain nasi goreng seenak ini, sumpah!" batin Seno memuji.

Tidak ada Naya di sana, ia fokus membereskan dapur dan mencuci alat masak yang baru saja digunakan. Ia tak sedikit pun ingin melirik ke arah Seno, tugasnya hanyalah jadi pembantu.

Seno menghabiskan nasi gorengnya dengan penuh penghayatan, rasa kagum pada Naya semakin bertambah dan terus meningkat. Ia tersenyum sesaat untuk menyemangati dirinya jika ia bisa mendapatkan Naya, anak dari Daris.

Selepas sarapan, Seno langsung pergi ke kamarnya untuk mandi dan pergi ke kantor. Sedangkan Naya, sejak tadi ia mengerjakan apa yang harus dikerjakan sambil menggendong Mauren. 

"Jika kamu ingin istirahat, tidurlah di kamar yang ada di sampingku! Aku jamin keamanannya." ucap Seno saat turun dari kamarnya dengan jas dan dasi yang sangat rapi.

"Hem … " Jawab Naya simple.

Seno tersenyum tipis dan menggeleng, lalu ia duduk di sofa sambil terus memerhatikan Naya yang sedang membersihkan debu di guci-guci milik Seno.

Karena risih, Naya langsung menegurnya. Ia mengingatkan jika Seno harus pergi bekerja dan harus memberikan contoh untuk bawahannya. Seno semakin bersemangat bekerja, semangatnya sudah diisi oleh ucapan Naya tadi.

"Jangan pulang sebelum aku kembali!" seru Seno yang langsung pergi dari rumahnya. 

Naya hanya melebarkan bibirnya malas.

"Neng, neng yang disuruh sama bapak beres-beres di sini ya?!" tanya seorang wanita yang sudah tua.

Naya mengangguk sopan dan ramah, lalu ia bertanya siapa sebenarnya ibu-ibu itu. 

"Saya bibi Nemi neng, yang bekerja di sini. Neng jangan terlalu cape, bapak sudah titip pesan sama saya kalau neng tidak boleh terlalu cape." ucap bi Nemi.

Naya baru tau jika di rumah besar itu sudah ada pembantunya, dan bukan hanya satu, bi Nemi menceritakan kalau ada tiga pembantu yang beres-beres di sana. Naya terkejut ketika bi Nemi menceritakan tidak boleh ada yang berani naik ke lantai dua kecuali Seno dan bi Nemi. 

"Berarti neng dianggap special sama pak Seno! Pak Seno gak pernah mengizinkan siapapun naik ke sana, apalagi masuk ke kamarnya. Supirnya pun dilarang keras." Jelas bi Nemi.

Entahlah Naya tidak mau tau lebih soal itu, ia tak mau terpaut hati oleh Seno dan terlalu baper cuma gara-gara hal sepele. Mereka terus mengobrol, hingga menceritakan sedikit cerita pribadinya.

"Pak Seno belum menikah neng," ucap bi Nemi tiba-tiba.