[Fik, kamu nanti mau ikut kita nggak?]
Sebuah pesan kuterima dari Lisa, sahabat sekaligus partner bisnisku.
[Ikut kemana sih, Lis?] balasku.
[Ke acara aqiqohan putrinya Sarah.] balas Lisa singkat.
Sarah? Sarah siapa sih? Kayak pernah dengar deh, tapi lupa di mana.
"Fik, ayo sarapan dulu. Keburu dingin itu loh, 'kan semua sudah disiapin oleh Bik Nur," ucap Mama sembari menjawil lenganku.
"Siap, Ma," ujarku yang kemudian berjalan mengekori Mama menuju ruang makan.
Di meja makan, Bik Nur sudah menyiapkan semua dan kami bertiga pun langsung makan bersama. Sejak beberapa tahun yang lalu, kami memang selalu mengajak Bik Nur untuk makan dalam satu meja.
"Fik, Doddy kapan pulang?" tanya Mama sambil makan.
"Katanya sih masih dua atau tiga hari lagi, Ma. Karena cabang baru itu, masih butuh pengawasan."
"Sudah semingguan 'kan dia nggak pulang?" tanya Mama lagi.
"Iya lebih sih, Ma. Kan memang cabang minimarket yang ini itu, katanya agak ruwet warga yang ada di sekitarnya. Mereka sebagian masih menolak, katanya hanya akan mengganggu ekonomi masyarakat sana," jawabku lirih.
"Oh...begitu, tapi kok tumben suh, kamu nggak ikut? Biasanya dulu setiap ada pembukaan cabang baru, kamu selalu diajak oleh Doddy. Tapi mama lihat, akhir-akhir ini, dia selalu berangkat sendiri," ucap Mama lagi.
Apa yang diucapkan Mama memang benar, sejak akhir-akhir ini, aku memang tak lagi ikut keluar kota dengan Mas Doddy, karena memang kini usaha butikku juga mulai ramai dan juga mulai buka dua cabang lagi.
"Usahaku kan juga lagi rame, Ma. Jadi kami menekuni usaha masing-masing, sebelum punya anak nanti," jawanku sembari tersenyum.
Setelah sarapan, aku pun segera berpamitan untuk menuju ke butik.
"Mama nanti juga mau ke restautan?" tanyaku sambil mencium punggung tangan beliau.
"Iya, Fik. Rencananya, mama juga akan membukai dua gerai baru lagi di luar kota."
"Wah, alhamdulillah kalau begitu. Semoga makin sukses ya, Ma. Aku berangkat dulu ya. Assalamualaikum," ucapku sembari masuk ke mobil.
"Hati-hati ya, Sayang. Waalaikum salam," jawab Mama sambil melambaikan tanganya.
Aku pun kemudian melajukan mobilku pelan, karena memang hari ini masihlah pukul setengah delapan, jika aku sampai ke butik, mungkin para pegawai sedang bersih-bersih.
Tiba-tiba, handphone yang kuletakkan di jok sebelah berdering, saat kulihat ternyata itu panggilan dari Lisa. Wah...pasti dia mau ngomel-ngomel ini, secara aku tadi 'kan lupa membalas pesan chatnya.
"Assalamualaikum, Lis. Ada apa nih?" tanyaku basa-basi, saat memulai perbincangan dengan Lina melalui sambungan telepon itu.
"Waalaikum salam. Aduh...Fik, pakai tanya lagi! Nyebelin deh! Kenapa nggak dibalas chatku?!"
Benar 'kan ucapanku tadi, si Lisa pasti langsung mengomel, saat teleponnya kuangkat.
"Ya ampun Lis, lupa aku tuh, tadi lagi sarapan sama Mama. Masak iya, hanya nggak dibales chat aja, kamu udah kebakaran jenggot sih, hahaha," selorohku sambil tertawa.
"Bukan begitu, Fik. Tapi ini kan acaranya sejam lagi. Nah, kamu itu mau ikut nggak? Si Karen nggak ikut soalnya, suaminya lago sakit. Gimana kamu ikut nggak, ke acara aqiqohan anaknya si Sarah?"
Memang sahabatku yang satu ini, suka sekali dengan menggebu-gebu dalam menyikapi segala masalah, namun sebenarnya dia amat baik kok.
"Mau-mau aja sih, Lis. Tapi jujur nih, aku masih belum ingat, yang mana sih yang namanya Sarah?" tanyaku lagi, yang memang tak ingat.
"Ya ampun...si Sarah yang anaknya dulu pendiem banget itu loh saat SMP, masak sih kamu lupa? Kita dulu sering ikut ekstra PMR sama dia, yang dulu pakai kaca mata tebel, dan terlihat cupu itu loh, Fik. Ingat nggak?"
Mendengar ucapan Lisa tersebut, tentu saja aku langsung mencoba mengingat-ingat nama tersebut.
"Ya aku ingat, Lis. Bukannya dia itu tinggal di luar jawa ya?" tanyaku lagi.
"Iya dulu pas lulus SMP, 'kan memang diajak orangtuanya trans, tapi katanya udah balik ke jawa sekitar dua tahunan yang lalu, tapi dia tinggal di kota sebelah," ucap Lisa bersemangat.
"Oke...kapan nih berangkatnya?"
"Jam sembilan kita langsung cuzz ke sana, nanti kamu kujemput deh."
"Ya sudah, kutunggu di butik dulu ya, Assalamualaikum."
Tanpa membalas salam dariku, Lisa mengakhiri panggilan itu. Kebiasaan sih. Setelah sepuluh tahun tak bertemu, kini akhirnya aku bisa bertemu lagi dengan Sarah, teman lamaku.
Aku pun kemudian melajukan mobil kembali ke butik, dan segera meneliti laporan penjualan kemarin. Pukul setengah sembilan, semua pekerjaan sudah selesai, kini tinggal menunggu jemputan Lisa saja.
Tiba-tiba handphoneku berbunyi, dengan nada dering khusus untuk panggilan dari Mas Doddy. Tentu saja panggilan tersebut langsung kuangkat, karena sudah dua hari ini, kami tak saling berkabar, karena katanya sedang sibuk sekali.
"Assalamualaikum, Mas," ucapku memulai obrolan melalui sambungan telepon dengan Mas Doddy.
"Waalaikumsalam. Dek, aku jadi pulang mungkin besok, atau dua hari lagi, masih ada yang harus diselesaiakan. Masih agak ruwet nih warganya. Kamu yang sabar ya," jawabnya.
"Tentu, Mas. Selesaikan saja semuanya dulu. Kudoain semoga semua segera selesai ya, Mas..."
Belum sempat kuselesaikan ucapanku, tiba-tiba terdengar suara bayi menangis, dan tentu saja aku langsung bertanya-tanya.
"Suara bayi siapa itu, Mas?!" tanyaku spontan.
"Eh...itu, Dek. Aku lagi berada di minimarket, jadi ada bayi pengunjung yang menangis, gitu. Sudah dulu ya, Dek. Assalamualaikum."
Tanpa menunggu jawabanku, Mas Dody langsung mengakhiri panggilan ini. Aneh deh, rasanya ada yang ganjil dan ditutup-tutupi oleh Mas Doddy.
"Fika...ayo kita berangkat!"
Lisa tiba-tiba datang dan memanggilku dari ambang pintu butik, dan tentu saja aku langsung keluar dan masuk ke mobilnya.
"Jadi...kita hanya berdua nih?" tanyaku pad Lisa.
Lisa hanya mengangguk, dan segera melajukan mobilnya dengan kecepatan yang lumayan , karena jaraknya yang lumayan jauh, sekitar satu setengah jam perjalanan.
"Si Sarah ini, bagus banget loh nasibnya. Dia kan berasal dari keluarga tidak mampu, nah kini dia jadi orag kaya loh. Saat balik ke Jawa, dia kerja di sebuah minimarket, dan ternyata bos besarnya kepincut pada Sarah itu.
Nanti jangan kaget loh, kalau ketemu dia, karena penampilan Sarah itu, berubah 360 derajat, sekarang dia itu cuantik bangettt pokoknya," cicit si Lisa.
Entah, ada perasaan aneh muncul ketika Lisa menceritakan tentang Sarah. Namun hal itu kutepis, mungkin aku terbawa suasana karena suara tangisan bayi saat Mas Doddy telepon tadi.
Tak kutanggapi perkataan Lisa, meski dia terus berucap, aku hanya menjawabnya dengan bahasa isyarat saja. Karena perasaankun sedang tidak enak.
Hingga akhirnya, kami pun sampai di sebuah rumah minimalis baru bercat orange. Terlihat banyak tamu yang sudah datang.
Kami pun langsung masuk, dan bertemu dengan Sarah. Benar apa kata Lisa, Sarah sudah berubah seratus persen, dia kini terlihat cantik sekali.
"Dimana putrimu, Sar?" tanyaku karena tak melihat putri dan suaminya.
"Sedang di kamar, yuk kita ke sana," ucapnya sembari menggandeng tangan kami menuju ke kamar.
"Lalu suamimu?" tanya Lisa.
"Barusan dia pergi, karena salah satu tempat usaha kami kebakaran!" jawab Sarah.
Saat kami masuk ke dalam kamar, saat melihat bayi cantik itu, kurasa wajahnya hampir mirip dengan seseorang, dan kurasa raut wajahnya mirip dengan Mas Doddy, namun kembali kutepis hal itu, tak mungkin rasanya.
Mataku kemudian menyusuri kamar dengan nuansa pink itu, mataku seketika terbelalak, saat menyaksikan jaket warna levis warna biru dongker, dan koper warna hitam dengan tempelan salah satu klub sepakbola kenamaan, berada di kamar ini. Karena kedua barang itu, adalah milik Mas Doddy, dan itu adalah hadiah dariku.
Apa ini jawaban dari semua kecurigaanku sejak tadi pagi? Lalu, apa yang kini harus kulakukan?