Mental Pelakor
"Ngaco deh kamu dan suamimu itu, Sar!" jawab Lisa dengan spontan dan dibarengi dengan sedikit tawa renyahnya.
"Ya ampun ... kok ngaco sih, Lis?! Aku dan suami itu sering banget loh bahas hal ini berdua. Makanya, kalian itu harus segera punya anak. Kalau sudah punya anak, rasanya kita itu sudah punya jaminan untuk hidup bahagia gitu deh dalam berumah tangga." Sarah makin terlihat ingin meyakinkan kami.
Aku dan Lisa saat itu sekejap saling bertukar pandang. Pasti apa yang kini dipikirkan Lisa, sama dengan apa yang kupikirkan saat ini.
"Aku ngomong kayak gini itu, hanya sekedar menirukan apa yang diucapkan suamiku saja. Kalau kita kan nggak ngerti apa yang dipikirkan oleh laki-laki. Tapi, kalau si pria itu sendiri yang ngomong, masak iya kita masih nggak percaya juga?" timpal Sarah lagi.
" Mungkin pria di luar akan begitu, tapi kalau suaminya Fika, rasanya nggak mungkin macam-macam deh. Secara, dulu sebelum menikah, dia itu ngemis-ngemis banget loh ngedapetin cintanya si Fika!"
Sebelum aku menjawab, Lisa terlebih dulu menjawabnya, karena memang dialah yang tahu bagaimana perjalanan cintaku dengan Mas Doddy.
"Hahaha...iya-iya, aku juga cuman bercanda kok!. By the way, makasih banyak loh sudah datang dan memenuhi undanganku ini. Tapi maaf, suamiku nggak bisa menemui kalian. Karena ya itu, tiba‐tiba salah satu cabang usahanya kebakaran, jadi dia pun langsung berangkat. Nah, belum ada lima menit dia berangkat, eh kalian baru datang," jelas Sarah.
Sayang sekali, jika saja tadi kami datang lebih cepat, pasti akan bertemu dengan suami Sarah, dan tak akan penasaran seperti ini. Apalagi aku pun jadi sedikit berpikiran negatif padanya.
"Katanya suamimu itu orang kaya? Enak dong kamu, Sar, hehehe," ucap Lisa to the point, tiba-tiba.
Kami bertiga pun kemudian tertawa mendengar ucapan Lisa itu. Setelah selesai minum ASI dari Mamanya, Keisha pun kembali digendong Lisa.
"Hahaha...ini namanya sebuah keberuntungan. Kalian tahu 'kan, bagaimana keluargaku dan penampilanku saat SMP dulu, menyedihkan bukan? Nah...sekarang ini yang dinamakan dreams come true, kehidupanku berubah drastis," ucap Sarah dengan amat bangganya.
Setelah tertawa sebentar, Sarah pun kemudian kembali meneruskan ucapannya," sekitar dua tahun yang lalu, ketika pertama kali balik ke Jawa dulu, aku tuh kerja di sebuah minimarket, yang baru saja dibuka di kota ini. Kerjanya sih biasa aja, ya seperti karyawan pada umumnya. Tapi akhirnya semua berubah karena si big bos menaruh hati padaku!"
Wajah Sarah terlihat berbinar saat mengucapkan hal itu. Kembali aku berpikir, memang sekitar dua tahun yang lalu. Aku dan Mas Doddy membuka cabang minimarket di kota ini, dan letaknya pun tak begitu jauh dari rumah Sarah.
"Bagaimana ceritanya, hingga big bos itu bisa jatuh cinta sama kamu, Sar? Kayak di film-film aja sih," ucap Lisa kepo.
"Hahaha...iya, aku juga nggak pernah menyangka kok bisa gitu loh! Big bos itu jatuh cinta sama aku, dan dia malah ngajak nikah. Awalnya sih, aku nggak mau karna desas-desusnya, dia sudah beristri. Tapi dia terus meyakinkan, katanya sang istrinya itu super sibuk ngurusin usahanya, jadi dia merasa terabaikan. Dan mangkanya itu, setelah kami menikah, dia ingin aku jadi ibu rumah tangga seutuhnya."
Saat berkata seperti itu, entah kenapa kurasa Sarah sedang melirikku, atau mungkin ini hanya perasaanku saja. Karena lagi-lagi, apa yang diceritakan Sarah, mirip sekali dengan keadaan rumah tanggaku.
Selama ini, aku memang sibuk mengurusi butikku, dan Mas Doddy sibuk mengurusi usaha mininarket kami yang memang sangat berkembang pesat.
"Jadi, suami kamu ini suami orang gitu? Artinya kamu jadi istri yang kedua?" tanyaku setelah menarik nafas dalam -dalam.
"Ya begitu deh, Fik. Nggak apalah jadi yang kedua, asalkan kita bahagia, materi tercukupi, toh dia juga katanya lebih sayang padaku dari pada dengn istrinya kok. Karena kini, kami juga sudah memiliki anak, dan itu membuatnya makin sayang padaku," jawab Sarah dengan bangganya.
Jujur, aku tak pernah menyangka, jika Sarah yang dulu kukenal sebagai seorang wanita yang pendiam dan baik hati, kini berbuat semacam ini, menjadi seorang pelakkor, dan lagi kurasa ini ada hubungannya erat dengan Mas Doddy.
"Haduh, aku nggak nyangka banget deh, jika kamu bakal segila ini, Sar. Laki orang kamu embat juga, hanya demi uang. Kamu pernah bayangin nggak, gimana jika kamu ada di posisi istrinya?! Sakit nggak tuh digituin? Gila kamu, Sar, hahaha," ucap Lisa sambil tertawa.
Tentu dalam hati, aku juga ingin berucap seperti itu pada Sarah, bahkan mungkin lebih, namun aku masih orangnya kadang lebih suka memendam, beda dengan Lisa yang blak-blakan.
"Lisa Sayang...jaman seperti sekarang ini, jika kita nggak ikut gila, ya ngenes. Sebenarnya ada dikit sih, rasa bersalah pada istrinya, tapi hal itu segera kuhempasa jauh.-jauh!" ucap Sarah lagi sambil tersenyum dan melirikku.
Setelah tersenyum sambil menunjukkan gigi putihnya, kini Sarah pun kembali bercerita, "gini aku mikirnya, jika aku tak berbuat senekat dan segila ini, maka kapan aku bisa merasakan hidup enak dan mewah seperti kalian? Buktinya, selama dua puluh tiga tahun yang lalu aku hidup jujur, nggak membuat hidupku enak kok, yang ada makin sengsara aja, hahaha.
Secara ya, aku dan kalian berdua kan beda. Kalian dari lahir sudah jadi orang kaya, jadi tak mungkin tahu bagaimana rasanya nggak bisa makan, bagaimana rasanya menderita, dan bagaimana rasanya menginginkan sesuatu, tapi tak pernah bisa tercapai.
Lah aku, sejak lahir sudah miskin, makan sehari sekali aja uda bagus, ditambah kemudian orangtuaku meninggal, makin sengasara aja hidupku, yang harus merawat dua adik, dalam hidup miskin itu.
Jadi, ya sekarang jangan salahkan aku dong, jika aku melakukan cara yang instant ini, demi mendapatkan kekayaan. Salah istrinya juga sih, kurang perhatian sama suami ganteng dan kaya macam gitu, hehehe.
Mangkanya, untuk kalian berdua, kuingetin, harus baik-baik sama suami, kalau bisa sih, cepet punya anak. Karena pelakor masa kini itu, makin terdepan, hahaha," ucap Sarah disertai gelak tawa.
Aku dan Lisa pun, hanya bisa ikut tertawa namun dalam hati, tentu kami sangat tak setuju dengan ucapan Sarah itu.
"Aku jadi penasaran banget deh sama suamimu itu, Sar. Kayak gimana sih wajahnya, yang katamu ganteng banget itu," tanyaku.
Semoga saja dia mau menunjukkan bagaimana wajah suaminya, hingga aku tak perlu lagi bertanya-tanya dalam hati.
"Saamaan ih...pingin lihat deh, habisnya gemes banget dengar cerita kamu, hehehe. Pasti kamu punya fotonya 'kan?" timpal Lisa.