Mataku kemudian menyusuri kamar dengan nuansa pink itu. Penataan ruangan yang bagus kurasa. Mataku seketika terbelalak, saat menyaksikan sebuah jaket levis warna biru dongker, dan koper warna hitam dengan tempelan salah satu klub sepak bola kenamaan, berada di kamar ini.
'Kenapa kedua barang itu bisa berada di sini? Padahal aku sendirilah yang kemarin menyiapkan kedua barang itu, saat Mas Doddy akan pamit pergi ke luar kota,' gumamku bingung dalam hati.
Aku sungguh sangat ingat dengan kedua barang yang ada di depan mataku ini. Karena kedua barang itu, adalah milik Mas Doddy, dan itu adalah hadiah dariku.
Tahun lalu, tepatnya saat suamiku itu sedang berulang tahun. Aku membelikan kedua barang itu di sebuah distro terkenal di kota kami. Harganya si lumayan mahal saat itu, namun untuk sesorang yang spesial, tak masalah hal itu bagiku.
Suatu pabrik, memang tak mungkin memproduksi suatu model hanya satu buah saja. Tetapi, ini kenapa bisa keduanya yang sama? Jaket dan kopernya, kenapa bisa sama persis?
"Hey, Fik. Kok kamu jadi bengong gini sih?"
Suara Sarah yang disertai tepukan di bahu itu, kemudian membuyarkan lamunanku.
Aku pun seketika menoleh kepadanya, dan memberikan seulas senyuman, namun aku tak menjawab pertanyaanku itu, karena jujur saat ini hatiku rasanya masih dilema.
"Paling juga si Fika itu diem, karena mikir pingin punya anak 'kan? Hahaha," timpal Lisa yang kini sedang memangku putri cantiknya Sarah.
"Hehehe...tau aja sih kamu itu, Lis. Emangnya kamu juga nggak ingin punya putri cantik kayak gitu?"
Kucoba menetralkan perasaan ini, dan ikut nimbrung dalam obrolan mereka, sembari mencoba berpositif thingking, mengenai jaket dan koper itu. Bisa saja 'kan, itu hanyalah sebuah kebetulan biasa belaka, secara pabrik kan tidak hanya memproduksi satu model dan warna saja.
"Kalau aku sih nggak usah ditanya lagi, Sis. Udah pingin buanget punya baby. Ya tapi mau gimana lagi, belum dikasih kok, hehehe," jawab Lisa tanpa menoleh.
"Loh, memangnya kalian berdua ini, belum pada punya momongan ya?!" tanya Sarah dengan wajah tak percayanya.
"Belum!" jawabku dan Lisa serentak
Wajar saja kalau Sarah tak mengetahui tentang keadaan rumah tangga kami, karena sudah amat lama tak bertemu. Lisa baru tiga hari yang lalu mulai kembali berhubungan dengan Sarah, dan itu pun Sarah duluanlah yang menghubunginya.
"Maaf nih, memangnya sudah berapa tahun kalian nikah?" tanya Sarah lagi sembari tersenyum.
"Lis, sini gantian biar aku gendong bayi cantik ini. Siapa tahu jadi bisa cepat nular, hehehe," ucapku pada Lisa, tapi sepertinya sahabatku ini masih enggan memberikan bayi cantik itu padaku.
Kini aku ganti meminta ijin untuk menggendong si bayi cantik ini, sembari terus kuperhatikan garis wajahnya. Bentuk hidung, mulut dan matanya, kenapa kok rasanya sama persis seperti Mas Doddy.
"Aku sih udah lama nikahnya, Sar, udah lima tahunan. Sudah melakukan berbagai cara sih, tapi memang belum juga diberi kepercayaan mempunyai seoarang malaikat kecil, oleh Tuhan."
Kudengar suara Lisa berkata, namun aku masih serius menatap wajah bayi ini. Semakin lama kutatap, kenapa kurasa wajahnya makin mirip dengan Mas Doddy?
"Yang sabar ya, Lis, memang belum rejekinya kok. Kalau kamu, sudah berapa lama menikahnya, Fik?" tanya Sarah padaku.
Namun, karena masing terus sepaneng dengan bayi ini. Aku jadi tak menghiraukan perkataan Sarah itu, meski sebenarnya aku juga mendengar.
"Si Fika nggak bisa diajak ngomong, dia lagi sepaneng tuh ngelihat kecantikan wajah bayimu itu! Kalau si Fika nikahnya baru sekitar dua tahun kok. Dan memang belum punya anak sampai saat ini, karena masih ingin mengejar karir, hahaha. Benar kan, Sis?" seloroh Lisa.
"Benar apa yang dijelaskan Lisa, Sar. Tapi tetap ada yang harus diluruskan. Aku sudag pingin punya anak sebenarnya, tapi suamiku yang belum mau. Katanya dia ingin sukses dulu, baru punya anak," tukasku sembari tersenyum.
Oek oek oek
Tiba-tiba bayi cantik yang ada di gendonganku ini pun menangis, dengan segera, Sarah pun langsung mengangkatnya.
"Duh...lapar ya Sayang? Keisha mimik ASI dulu yah!" ucap Sarah sambil meng-asihi bayi cantik bernama Keisha itu.
"Kalau kamu sudah berapa lama nikahnya, Sar?" tanyaku.
"Baru sekitar setahunan deh, dan langsung isi, hehehe," jawab Sarah dengan menunjukkan deretan gigi super putihnya.
Benar-benar temanku ini berbeda tiga ratus enam puluh derajat. Sarah yang dulu dekil, kusam, pakaiannya selalu buluk, dan tak pernah berani berteman dengan siapapun, kini berubah bak bidadari, seperti cerita dalam cinderella. Siapa pun yang saat ini melihatnya, pasti bilang dia sangat menawan.
Namun, sekilas sempat kilihat sorot matanya yang tajam, sepertinya dia bukan lagi Sarah yang baik dulu, mungkin saja roda nasib yang merubah segalanya.
"Enak itu, Sar. Anak 'kan akan mempererat hubungan suami istri. Seperti hubunganku dengan suami saat ini, sejak ada Keisha, sua miku makin sayang loh, dan dia juga menuriti apapun yang aku mau," pamer Sarah.
"Syukur deh kalau begitu, Sar. Semoga saja, aku secepatnya juga punya anak. Jika tahun ini tak juga hamil, aku dan suami sudah berencana untuk mengikuti program bayi tabung," ucap Lisa, sambil mengusap pipi mulus bayi Keisha yang masih meng-ASI.
"Kamu juga harusnya cepat-cepat hamil, Fik. Nanti kamu bakal ngerasain nikmatnya jadi ibu!"
Mendengar ucapan Sarah itu, aku pun langsung tersenyum. Sebenarnya, aku pun memang sudah ingin punya anak, dan Mama pun, ingin memiliki cucu, tapi Mas Doddy kekeuh tahun ini belum ingin punya anak, mungkin tahun depan katanya.
"Sebenarnya aku uda pingin banget, Sar, tapi ya itu suamiku memang maunya punya anak tahun depan. Tahun ini masih banyak target yang ingin dirampungkan," ucapku sembari tersenyum.
"Hemmm....kamu harus hati-hati loh, jika punya suami nggak mau punya anak gitu, Fik. Soalnya biasanya dia bersikap seperti itu, karena di luar sudah ada yang lain, jadi dia nggak ingin punya anak darimu, hehehe," seloroh Sarah.
"Maksudmu?" Lisa spontan bertanya.
Tak hanya Lisa, aku pun tentu saja amat kaget dengan apa yang baru saja diucapkan Sarah tersebut. Karena memang baru kali ini saja aku mendengarnya.
"Ini menurut mas Aris, suamiku. Laki-laki yang seperti itu, biasanya punya selingkuhan di luar, hahaha."
Perkataan Sarah tersebut, terdengar menyakitkan di telingaku. Rasanya dia seperti ingin mempengaruhiku, untuk berpikir negatif pada mas Doddy, dan rasanya seorang teman yang baik, tak akan berkata seperti itu.
Dan ada satu lagi, yang membuat kecurigaanku kembali muncul, Sarah tadi menyebutkan bahwa nama suaminya adalah mas Aris, sedangkan nama lengkap suamiku adalah Doddy Aris Setiawan. Apa mungkin itu orang yang sama?