Kania berdiri di tepi pembatas balkon kamarnya dengan tatapan menerawang jauh ke depan memikirkan apa yang telah dibicarakan bersama dengan Devan dan keluarganya beberapa waktu yang lalu.
Menikah?
Huft..
Kania menghembuskan nafas dengan kasar lalu kembali memikirkan apa yang kini sedang mengganggu pikirannya. Entahlah.. Kania tidak mengerti dengan semua ini. Kania merantau ke ibukota hanya untuk menempuh pendidikan di bangku kuliah. Namun Allah berkata lain dengan mempertemukan Kania dan Devan. Tidak mungkin juga Kania memberitahukan kepada kedua orang tuanya jika semua menikah semham keadaan seperti ini. Orang tuanya pasti akan marah kepada dirinya jika orang tuanya mengetahui tentang pernikahan Kania. Namun tidak memberitahu tentang pernikahan dirinya kepada kedua orang tuanya Kania juga salah besar. Ah.. Posisi Kania serba salah saat ini.
Kania memutuskan kembali masuk ke dalam kamar karena malam mulai larut dan angin berhembus kencang.
Kania membaringkan tubuh di atas tempat tidur setelah melaksanakan sholat untuk meminta petunjuk kepada Allah dengan semua yang saat ini sedang dihadapinya.
***
Suara adzan berkumandang mengalun indah di indera pendengaran Kania pagi ini. Kania mengerjapkan mata menyesuaikan pandangan dengan cahaya lampu yang menyilaukan pandangannya.
Kania membuka mata perlahan lalu menatap penunjuk waktu yang berada di dinding kamarnya. Kania melangkahkan kaki menuju ke dalam kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Kania masih tampak mengantuk akibat baru bisa terlelap tepat pukul tiga pagi setelah meminta petunjuk dengan berdoa kepada Allah atas apa yang kini sedang dihadapinya dengan pilihan yang ada.
Setelah melaksanakan sholat subuh, Kania keluar meninggalkan kamar menuruni anak tangga menuju ke dapur untuk memasak sarapan hari ini. Luka di kaki Kania sudah lebih baik sehingga sedikit demi sedikit lebih baik dari sebelumnya.
***
"Masa orientasi kampus sudah selesai kan Kania?" tanya Devan setelah menikmati hidangan sarapan hari ini.
"Iya Pak Devan. Saya ingin minta ijin Pak Devan untuk masuk kuliah mulai besok. Apakah Pak Devan mengijinkan?" jawab Kania.
"Saya tidak akan pernah melarang seseorang untuk menuntut ilmu. Tapi apa kaki kamu sudah sembuh? Apa sudah bisa buat berjalan normal?" sambung Devan dengan melontarkan pertanyaan kepada Kania.
Kania meringis menunjukan deretan giginya yang putih dan bersih kepada Devan.
Deg..
Ada yang berdebar di hati Devan saat melihat Kania meringis yang tampak Pak menggemaskan di mata Devan.
"Alhamdulillah.. Kaki saya sudah dapat untuk berjalan walaupun belum normal seperti kemarin Pak Devan. Tapi sudah lebih baik dari sebelumnya Pak. Apa saya boleh masuk kuliah besok Pak?" ujar Kania.
"Baiklah. Kalau kami sudah merasa lebih baik dan dapat berjalan, saya akan mengijinkan kamu untuk kuliah besok. Tapi dengan satu syarat," terang Devan.
"Syarat?" Kania menautkan kedua alis menatap ke arah Devan yang sedang mengupas buah jeruk dan menganggukan kepala kepada Kania. "Apa syaratnya Pak Devan?"
"Saya yang akan mengantarkan dan menjemput kamu kuliah. Tidak ada penolakan," tukas Kania.
Huft..
Kania menghela nafas kasar. Baiklah. Kania sepertinya harus mengalah kali ini dengan Devan. Kania sedang malas untuk berdebat saat ini. Bagi Kania yang paling penting dirinya bisa mulai masuk kuliah.
Devan memutar kemudi meninggalkan apartemen dengan kecepatan sedang menuju ke kantor setelah berpamitan kepada Kania. Sementara Kania memilih untuk merapikan apartemen Devan.
***
"Apa ada meeting hari ini Adi?" tanya Devan kepada asisten sekaligus sahabatnya itu.
"Ada satu habis makan siang Devan. Memangnya kenapa Devan?" jawab Adi yang duduk di hadapan Devan.
"Apa bisa diwakilkan sama kamu saja meeting hari ini Adi?" Devan kembali mengajukan pertanyaan kepada sahabatnya itu.
Adi menautkan kedua alis melihat wajah Devan yang tampak sedang memikirkan sesuatu saat ini. "Apa kamu sedang ada masalah Devan?"
Devan menatap Adi dengan tatapan yang sulit untuk diartikan lalu Devan menghela nafas berat. Devan mulai menceritakan apa yang telah terjadi dengan dirinya kepada Adi sejak pertemuan tanpa dengan Kania. Devan menceritakan dengan detail tanpa ada yang ditutupi sedikitpun dari sahabatnya itu.
Adi yang mendengar cerita dari Devan tanpa berkedip sontak menatap Devan dengan tatapan tajam penuh intimidasi. Bahkan rasa tercengang di wajah Adi tampak kentara setelah Devan selesai menceritakan semua yang telah terjadi kepada dirinya beberapa hari yang lalu.
"Kami benar-benar gila Devan! Tega banget iya kamu baru menceritakan ini ke aku. Kamu anggap aku ini apa Devan? Sahabat bukan?" Adi tampak emosi setelah mendengar cerita dari Devan.
Entahlah. Adi juga tidak tahu kenapa dirinya tiba-tiba emosi seperti ini setelah mendengar cerita dari sahabat baiknya itu. Adi merasakan Devan sangat keterlaluan dengan menyembunyikan rahasia ini. Apalagi tentang pernikahan yang direncanakan oleh kedua orang tua Devan.
Devan mengesah saat Adi marah kepada dirinya. Ya. Ini semua memang salah Devan tidak menceritakan kepada Adi dari awal. Namun Devan tidak ada niat menyembunyikan semua dari sahabat baiknya itu.
"Adi aku tidak –" Devan tidak melanjutkan ucapannya karena telah dipotong oleh Adi.
"Aku akan mewakili kamu meeting siang ini. Aku mau menyiapkan materi meeting dulu." Adi meninggalkan ruangan Devan masih dengan emosi yang menyelimuti dirinya saat ini.
Huft..
Devan menghela nafas dengan sikap Adi. Bukan mendapatkan solusi tapi sikap Adi menambah beban pikiran Devan saat ini.
"Arghhhh.." Devan menarik rambutnya lalu berteriak melepaskan semua beban yang ada dalam dirinya.
***
Ting tong..
Ting tong..
Ting tong..
Kania yang sedang merapikan ruang tengah apartemen Devan yang menjadi ruang keluarga menghentikan kegiatannya saat mendengar apa suara bel yang berbunyi. Sontak Kania melangkahkan kaki menuju depan untuk melihat siapa yang datang dan membuka pintu.
Ceklek..
Kania tercengang melihat siapa yang datang ke apartemen Devan siang ini. Tatapan tidak percaya itu ditujukan kepada sosok wanita paruh baya yang masih tampak cantik yang sedang berdiri di hadapan dirinya saat ini.
Mama Kayra..
Ya. Mama Kayra hari ini sengaja datang berkunjung ke apartemen putra sulungnya untuk menemui Kania. Mama Kayra ingin berbicara empat mata dengan Kania tanpa diketahui oleh Devan, Daren dan Damian.
"Tante," ucap Kania kepada mama Kayra yang sedang mengulas senyuman hangat ke arah Kania.
"Iya Kania. Apa tante boleh masuk ravhel?" jawab mama Kayra sembari bertanya kepada Kania.
"Iya tante.. Ini kan apartemen putra tante. Jadi tante boleh banget masuk. Maafkan Kania tante," sambung Kania.
Mama Kayra masuk ke dalam apartemen Devan diikuti oleh Kania setelah menutup pintu. Mama Kayra duduk di ruang tengah sembari menyalakan televisi. Kania merasa canggung kepada mama Kayra orang tua dari Devan. Kayra memutuskan untuk duduk di samping mama Kayra setelah mama Kayra meminta Kania duduk menemaninya.
"Ada yang ingin tante bicarakan sama kamu, Kania."