Chereads / I Love You CEO / Chapter 7 - Pilihan yang Sulit

Chapter 7 - Pilihan yang Sulit

"Kamu dan Kania harus menikah!"

Duarrrr..

Satu ucapan kakek Tama mencengangkan Devan dan Kania. Devan dan Kania saling menatap dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.

Menikah?

Haruskah?

Demi apa?

Banyak tanya dalam benak Devan dan Kania saat ini. Apa yang diucapkan oleh kakek Tama benar adanya. Penilaian orang lain itu pasti berbeda apabila melihat Devan dan Kania tinggal satu atap. Apalagi rekan bisnis perusahaan keluarga besar kakek Tama, papa dan ayahnya. Belum tentu semua orang akan mengerti dan mau mengerti dengan apa yang terjadi sehingga tidak ada jalan terbaik selain Devan dan Kania harus menikah. Jika Devan dan Kania tidak bersedia untuk menikah, jalan terakhir Kania harus meninggalkan apartemen Devan.

"Baiklah.. Devan akan menikah dengan Kania.." Devan berucap dengan tegas tanpa ada keraguan di sana

Duarrrr..

Lagi dan lagi.. Kania tercengang dengan apa yang diucapkan oleh Devan. Kania menatap ke arah Devan dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Sementara itu Devan menatap ke arah Kania dengan senyuman manis yang terukir di kedua sudut bibirnya. Devan menganggukan kepala memberikan isyarat kepada Kania untuk menerima keputusan yang telah diambil oleh dirinya.

Gelengan kepala lemah menandakan jika Kania merasa keberatan dengan keputusan yang telah diambil oleh Devan. Namun Devan mencoba terus meyakinkan Kania jika semua akan baik-baik saja. Kania masih menatap Devan dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Sementara kake, nenek, ayah, papa, mama menautkan kedua alis melihat interaksi antara Devan dan Kania. Tidak ada maksud kejam. Namun ini semua demi kebaikan Devan dan Kania. Ah. Mungkin demi kebaikan Devan si manusia es ini. Mama Kayra juga ingin Devan untuk menikah dalam waktu sehingga memberi izin kepada Devan dan Kania untuk menikah. Demi kebaikan Devan dan Kania.

***

"Apa kamu merasa keberatan dengan saran dari papa, ayah, mama, kakek dan nenek?" tanya Devan saat Kania sedang duduk di halaman belakang rumah

Hening..

Kania tidak menjawab pertanyaan Devan. Pikirannya seketika kosong. Kania masih merasa bingung dengan apa yang terjadi dalam hidupnya saat ini. Kania merantau dari kampung ke ibukota untuk menuntut ilmu di sebuah Perguruan Tinggi negeri yang berada di Jakarta. Bukan untuk menikah. Namun pertemuan dengan Devan merubah hidup Kania. Kania belum sembuh dengan total setelah ditabrak dengan tidak sengaja oleh Devan beberapa hari yang lalu. Devan yang meminta Kania tinggal di apartemen. Takdir berkata lain tentang keberadaan Kania di apartemen Devan setelah kedatangan ayah dari laki-laki yang telah menabrak dirinya itu. Namun Kania tidak punya pilihan lain saat ini. Menerima pernikahan dengan Devan itu sama dengan merubah takdir baru. Menolak menikah dengan Devan sama saja dengan menolak takdir. Ah.. Entahlah. Kania tidak tahun harus bersikap bagaimana. Jawaban apa yang Kania berikan pun belum tahu hingga saat ini.

Huft..

Helaan nafas keluar dari bibir Kania. Devan menatap Kania dengan tatapan yang sulit untuk diartikan dengan ekspresi Kania saat ini.

"Kalau kamu menolak tidak apa-apa. Nanti akun yang akan bilang ke ayah. Tapi aku tetap tidak bisa melepaskan kamu sebelum kamu sembuh. Bahkan aku tidak ingin kamu keluar dari apartemen walaupun kamu sudah sembuh nanti," ucap Devan memecah keheningan di antara mereka.

Kania diam seribu bahasa setelah mendengar ucapan Devan. Kania tidak tahu harus mengatakan apa kepada Devan kali ini. Bingung. Itulah satu yang tepat untuk menggambarkan apa yang sedang dirasakan oleh Kania saat ini.

"Apa saya memiliki pilhan lain Pak Devan?" Akhirnya Kania memberanikan diri bertanya kepada Devan.

Devan terkekeh dengan ucapan Kania. "Kita sedang tidak diminta untuk membuat pilhan Kania. Tapi kita sedang diminta untuk menentukan salah satu dari dua pilihan yang ada. Satu hal yang harus kamu ingat Kania. Aku tidak akan membiarkan kamu pergi dari sini sebelum luka kamu itu sembuh." Devan berucap dengan tegas dan tanpa penolakan sedikitpun saat ini.

Huft..

Helaan nafas berat keluar dari bibir Kania. Sejenak Kania berpikir apa yang akan dikatakan kepada Devan, laki-laki yang telah menabrak dirinya tanpa disengaja dan telah menolongnya bahkan menampung dirinya tinggal di apartemen Devan sehingga Devan harus menentukan pilihan yang sulit saat ini.

"Berikan saya waktu untuk berpikir Pak Devan. Saya ke ibukota untuk kuliah Pak. Bukan menikah Pak. Tapi jika hanya ada dua pilhan yang harus saya pilih salah satunya, saya minta berikan waktu untuk saya berpikir Pak Devan. Saya mohon maaf maaf Pak Devan. Pak Devan harus mengalami hal sulit ini hanya gara-gara saya," ucap Kania dengan wajah penuh rasa bersalah.

"Ini semua bukan salah kamu. Ini semua salah saya yang tidak hati-hati di jalan sehingga saya hampir mencelakakan kamu, Kania." Devan dengan sengaja menjeda ucapannya untuk melihat ekspresi Kania saat ini. "Saya akan memberikan waktu kepada kamu untuk berpikir Kania. Tapi saat berharap kamu tidak terpaksa dengan semua ini. Saya janji jika kami bersedia menikah dengan saya, kamu tetap akan saya ijinkan untuk kuliah seperti apa yang telah kamu cita-citakan. Bagi saya ilmu itu nomor satu dan penting Kania," terang Devan dengan kesungguhan dengan apa yang diucapkan oleh dirinya.

"Baik Pak Devan. Saya permisi terlebih dahulu Pak Devan," sambung Kania.

"Iya Kania. Selamat beristirahat Kania," balas Devan.

Kania beranjak dari duduknya lalu melangkahkan kaki menaiki anak tangga menuju ke kamar dengan langkah perlahan dan tertatih karena luka di kakinya belum sembuh. Kania menolak bantuan yang Devan tawarkan kepada dirinya untuk mengantarkan Kania masuk ke dalam kamar dengan alasan ingin melatih berjalan sendiri. Devan menerima alasan yang diberikan oleh Kania dengan sedikit berat hati dan kecewa.