Devan membaringkan Kania di atas tempat tidur dengan perlahan lali menutupi tubuh Kania dengan selimut hingga ke batas leher. Tak lupa Devan menyalakan pendingin kamar dan mengatur suhu agar Kania tidak merasa kedinginan. Devan duduk di kursi yang berada di samping tempat tidur Kania.
"Jangan mencoba untuk kabur lagi. Kabur itu tidak enak. Kamu masih jadi tanggung jawab saya selama kamu masih belum sembuh. Saya akan mengizinkan kamu ke kampus besok. Surat keterangan dari dokter juga sudah ada di tangan saya. Kamu hanya istirahat untuk saat ini. Jangan berpikir dan bersikap aneh. Apalagi kabur," ucap Devan dengan nada dingin
Deg..
Hati Kania terasa sakit saat Devan berbicara kepada dirinya dengan nada dingin. Bahkan tatapan tajam Devan layangkan kepada Kania. Sikap Devan tidak seperti ketika Kania belum pergi meninggalkan apartemen Devan tanpa memberitahu Devan. Kania memilih menutup mulut tanpa membalas apa yang diucapkan oleh Devan. Kania tidak ingin menambah masalah baru. Lebih baik diam. Itulah yang berada dalam benak Kania saat ini.
Devan menghela nafas kasar dengan sikap Kania yang tidak berbicara kepada dirinya. Kania sama sekali tidak menjawab apa yang diucapkan oleh Devan. Tatapan Kania tertuju ke arah lain saat Devan sedang berbicara kepada Kania. Devan merasakan serba salah saat ini. Apalagi Devan membentak Kania malam tadi saat Kania memaksakan diri pergi menuju ke kamar mandi tanpa meminta tolong kepada Devan sehingga Kania terjatuh kembali di atas lantai. Luka di kaki Kania kembali terbuka setelah peristiwa itu. Apalagi Kania memaksakan diri untuk berjalan dengan cukup jauh saat meninggalkan apartemen Devan pagi ini.
"Kamu tunggu di sini dulu. Saya akan mengambil sarapan untuk kamu. Jangan kemanapun. Jangan turun dari atas tempat tidur," titah Devan sebelum meninggalkan kamar yang ditempati oleh Kania.
Kania menghela nafas kasar setelah Devan pergi meninggalkan kamar. Perasaan tenang dalam hari Kania seketika mendera saat Devan pergi dari hadapan Kania. Devan. Laki-laki yang telah menabrak Kania hingga kaki Kania terluka. Namun Kania menyadari jika bukan hanya kesalahan Devan smwua peristiwa ini dialami oleh Kania. Kesalahan juga terjadi dengan diri Kania yang kurang mawas diri saya menyeberang jalan saat itu.
"Ayo makan.. Saya sudah panaskan makanan ini," ucap Devan sembari mengambil nasi untuk disuapkan kepada Kania.
Dengan cepat Kania mengambil alih piring dan sendok yang berada di tangan Devan tanpa berucap selatan katapun kepada Devan. Helaan nafas terdengar dari bibir Devan dengan sikap Kania pagi ini. Ya. Devan menyadari jika perubahan sikap Kania itu karena kesalahan Devan malam tadi. Devan juga menyadari jika sikap dinginnya hari ini memberikan rasa takut kepada Kania. Tidak ingin banyak berdebat yang pasti akan berujung emosi, Devan memilih mengalah dengan memberikan piring yang berisi nasi dan lauk kepada Kania.
Setelah menerima piring dari Devan, Kania menguapkan sendok demi sendok nasi dan lauk ke dalam mulut dan mengacuhkan keberadaan Devan yang sedang duduk di samping Kania. Sikap tenang Kania dalam menikmati sarapan tidak luput dari tatapan Devan yang tidak lepas dari wajah cantik alami Kania yang tanpa riasan. Kania menyadari nikah Devan sedang menatap lekat ke arah racek sedari tadi, namun Kania masih tetap mengacuhkan Devan.
"Kamu mau kemana?" tanya Devan saat melihat Kania hendak beranjak dari atas tempat tidur
Kania tersentak mendengar suara bariton yang mulai tidak asing masuk ke dalam indera pendengarannya. Ya. Kania mengetahui jika Devan tengah menghubungi seseorang untuk membahas pekerjaan kantor di balkon kamar Kania. Namun Kania tidak menyadari nikah Devan telah menutup sambungan telepon dengan asistennya beberapa saat yang lalu. Devan dengan sengaja tidak kembali masuk ke dalam kamar dan memperhatikan gerakan Kania dari pintu pembatas balkon dan kamar Kania. Devan mengayunkan kaki ke dalam kamar saat melihat Kania hendak beranjak dari atas tempat tidur.
Kania menoleh ke arah Devan yang telah berdiri di samping dirinya lalu menunjuk ke arah kamar mandi dengan jadi telunjuk tanpa berbicara sepatah katapun kepada Devan. Helaan nafas kembali terdengae dari bibir Devan dengan sikap Kania yang masih mendiamkan Devan saat ini. Dengan sigap Devan menggendong Kania ala bridal style menuju ke dalam kamar mandi. Tidak ada penolakan atau pekikan Kania seperti biasa. Kania masih mengatupkan mulut tanpa menatap ke arah Devan yang kini sedang menatap ke arah Kania dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.
"Bapak kenapa menunggu di situ?" Kania membuka mulut sembari mengernyitkan dahi melihat Devan berdiri di samping wastafel yang berada di dalam kamar mandi.
Devan tercengang saat mendengar suara Kania. Dngan tatapan yang sulit untuk diartikan Devan menatap Kania yang sedang menatap ke arah Devan.
"Saya akan menunggu kamu di sini. Saya takut kamu nanti jatuh lagi," balas Devan
Kania mendengus kesal dengan jawaban Devan. Satu ide jahil terlintas dalam benak Kania kepada Devan.
"Apa bapak akan tetap menunggu saya yang ingin membuang air besar? Bau lho pak," imbuh Kania disertai ledekan kepada Devan.
Sontak Devan langsung keluar dari dalam kamar mandi tanpa membalas ucapan Kania. Sedangkan Kania tergelak kencang di dalam kamar mandi setelah menjahili seorang Devan Atmaja.
"Puas kamu menjahili saya?" tanya Devan dengan wajah tidak bersahabat setelah menurunkan Kania di atas sofa yang berada di dalam kamar seperti apa yang diminta oleh Kania.
Kania membelalakan mata tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya dari Devan. Bagaimana Devan bisa mengetahui jika Kania sedang menjahili Devan tadi? Apa Devan cenayang? Banyak tanya dalam benak Kania tentang Devan yang mengerti jika Kania telah menjahilinya.
"Jangan berbicara di dalam hati karena saya bukan cenayang seperti apa yang ada dalam pikiran kamu," tukas Devan.
"Siapa yang bicara dalam hati pak? Bapak terlalu percaya diri sekali jadi orang," kilah Kania mengalihkan tatapan ke arah lain tanpa berani menatap ke arah Devan.
"Iya kamu. Masa saya. Apa saya harus mengecup kamu dulu baru habis itu kamu mengaku?" seloroh Devan dengan senyuman penuh arti.
Kania bergidik ngeri melihat senyuman penuh arti dari Devan, "Sembarangan kalau bicara iya bapak ini. Memangnya bibir saya ini apaan? Tidak bisa bapak asal main kecup saja bibir saya yang masih tersegel ini Pak," balas Kania sembari menutup mulut dengan menggunakan telapak tangan.
Bibir?
Tersegel?
Bibir tersegel?
Devan menakutkan kedua alis mendengar apa yang diucapkan oleh Kania. Sungguh. Devan belum dapat mencerna dengan sempurna apa yang telah diucapkan oleh Kania beberapa saat yang lalu. Bahkan Devan harus memutar otak untuk dapat mencerna apa yang diucapkan oleh Kania tadi.
Bibir tersegel apa sama saja dengan masih perawan? Eh.. Belum pernah first kiss..
Firts Kiss?
Satu kata yang berhasil Devan dapatkan setelah memutar otak cukup lama dengan apa yang diucapkan oleh Kania yang cukup menguji kemampuan Devan dalam hal yang cukup awam bagi seorang Devan Atmaja. Laki-laki yang dingin dan datar terhadap makhluk yang bernama kaum hawa ini.