Kania menatap Devan terlebih dahulu sebelum mengatakan keputusan yang telah diambil oleh dirinya kepada laki-laki tampan yang kini berada di hadapan dirinya itu. Sementara Devan yang juga sedang menatap ke arah Kania sembari mengerutkan kening yang menandakan jika Devan sedang memikirkan sesuatu saat ini.
"Saya menerima pernikahan ini Pak Devan," ucap Kania.
"Alhamdulillah." Devan mengucapkan rasa syukur dengan megusap wajah menggunakan kedua telapak tangannya.
Ya. Devan telah dapat menerka jika Kania akan menerima pernikahan dengan dirinya sejak Kania memberikan tiga syarat kepada Devan sebelum Kania sepenuhnya menerima pernikahan yang ditawarkan oleh keluarga besar Devan. Walaupun keraguan itu masih tampak dalam pendar netra Kania. Namun Devan merasa lega setelah Kania benar-benar menyetujui pernikahan mereka.
"Aku akan memberi tahu papa dan mama, Kania. Terima kasih kamu telah bersedia untuk menerima pernikahan ini. Jika nanti cinta itu tidak hadir di hati kita, aku akan siap dengan segala kemungkinan terburuk yang akan kita ambil nanti. Tapi aku berharap semoga pernikahan kita akan langgeng sampai mau memisahkan kita nanti Kania. Bahkan langgeng sampai surga Allah. Aamiin..." Devan mengucapkan kalimat itu dengan tegas dan penuh keyakinan sembari mengaminkan apa yang telah diucapkan oleh dirinya.
'Aamiin.." Kania mengaminkan apa yang diucapkan oleh Devan dalam hatinya.
"Iya Pak Devan. Saya yang seharusnya mengucapkan terima kasih atas segala kebaikan Pak Devan selama ini kepada saya. Jangan lupa iya Pak Devan besok saya boleh masuk kuliah," balas Kania dengan cengiran khasnya kepada Devan.
Deg..
Senyuman atau cengiran khas Kania selalu dapat menggetarkan hati Devan. Namun Devan selalu berusaha menutupi perasaan jika sedang berada di hadapan Kania. Wanita pertama yang mampu mencuri hatinya itu. Bahkan pikiran Devan selalu di penuhi oleh Kania dan Kania. Lagi-lagi Kania. Itulah yang selalu Devan ucapkan pada dirinya sendiri jika sedang memikirkan Kania.
"Saya akan menghubungi ayah, papa dan mama terlebih dahulu iya Kania." Devan meraih ponsel yang berada di atas meja lalu membuka kode akses masuk ke ponsel untuk mencari nomor kontak orang tuanya.
Kania menganggukan kepala menanggapi apa yang diucapkan oleh Devan kepada dirinya saat ini. "Iya Pak Devan."
Devan menghubungi orang tuanya memberi tahu jika Kania menerima tawaran pernikahan dari mereka. Devan dengan sengaja menghubungi orang taunya di depan Kania. Bahkan Devan juga dengan sengaja mengaktifkan pengeras suara agar Kania dapat mendengarkan pembicaraan di antara dirinya dengan orang tuanya saat ini.
Ada perasaan tenang dalam diri Kania saat orang tua Devan menerima dirinya dengan tangan terbuka tanpa memandang asal usul atau status sosial Kania. Bahkan Kania masih mengingat ucapan mama Nayra siang tadi tentang Devan dan keluarganya.
'Bagi mama kebahagiaan Devan lebih penting daripada status sosial itu. Devan itu tipe laki-laki yang dingin dan menjauh dari kaum hawa. Devan sangat berbeda jauh dengan adiknya, Samuel. Mama sangat bahagia saat mendengar Devan menolong kamu setelah tanpa sengaja menabrak kamu tempo hari. Bahkan mama tidak percaya jika Devan akan membawa kamu ke apartemen sebagai bentuk dari tanggung jawab Devan dengan apa yang telah dilakukan oleh Devan.'
Apa yang diucapkan oleh mama Kayra siang tadi masih terngiang dalam benak Kania. Setelah mama Kayra meninggalkan apartemen Devan kembali ke rumahnya, Kania benar-benar berpikir dengan jernih sebelum membuat keputusan ini. Kania menerima tawaran menikah dengan Devan bukan demi harta Devan atau numpang hidup dan biaya kuliah Devan. Tidak. Kania bukan wanita seperti itu. Bahkan Kania telah merencanakan untuk mencari pekerjaan sampingan setelah kuliah Kania selesai agar dapat meneruskan hidup di ibu kota yang terkenal kejam oleh banyak orang itu.
Kania tersadar dari lamunan saat suara bariton yang tidak asing di indera pendengarannya mwngakun dengan merdu itu. Kania menoleh ke arah Devan yang sedang meletltajab ponsel di atas meja.
"Besok aku, ayah dan papa akan mendaftarkan pernikahan kita di KUA. Aku boleh meminjam berkas kamu untuk data?" ucap Devan.
"Besok?" bukan menjawab pertanyaan Devan. Namun Kania melontarkan pertanyaan kembali kepada Devan.
"Iya Kania. Orang tua minta kita menikah lusa. Kamu juga tadi mendengarkan apa yang diucapkan oleh orang tau aku kan Kania?" balas Devan.
Duarrrr..
Kania membolakan kedua bola mata mendengar apa yang diucapkan oleh Devan. Menikah lusa? Kania menggelengkan kepala dengan apa yang ada dalam benaknya saat ini. Ah.. Tapi Kania mana mungkin bisa menolaknya. Sudahlah lebih baik Kania menerima saja daripada berdampak panjang.
***
Pagi yang indah dengan matahari yang bersinar cerah menghangatkan bumi dan makhluk hidup yang tinggal di bumi dilewati dengan oleh Kania dengan segala aktivitas paginya di apartemen Devan. Kania telah selesai bersiap untuk menikmati sarapan pagi sebelum menuju ke kampus bersama dengan Devan yang akan beenagkat ke kantor. Kantor dan kampus tempat Kania menempuh pendidikan berada di arah yang sama sehingga Devan tidak harus bolak balik di jalanan ibu kota yang terkenal pada jika pagi dan sore hari itu.
"Pak Devan apa mau membawa bekal hari ini?" tanya Kania sembari mengambil nasi ke atas piringnya.
"Apa kamu juga akan membawa bekal ke kampus?" bukan menjawab pertanyaan Kania, seperti biasa Devan melontarkan pertanyaan balik kepada Kania.
"Iya Pak Devan. Kania akan membawa bekal tiap hari ke kampus biar irit Pak Devan. Kania kan belum banyak uang Pak Devan. Kania kuliah juga dapat beasiswa Pak Devan," balas Kania dengan cengiran khasnya.
Ada yang berdesir di dalam hati Devan setelah mendengarkan apa yang diucapkan oleh Kania. Ya. Devan tidak ada maksud menyinggung Kania. Devan seketika merasa tidak enak kepada Kania setelah mendengarkan apa yang diucapkan oleh wanita cantik yang sederhana itu. Disaat Devan bergelimang harta dan ingin membeli apa saja bisa, disaat yang sama juga ada wanita yang berjuang demi masa depan dan hidupnya. Ah.. Devan benar-benar merasa bersalah dengan Kania saat ini. Devan menatap dengan lekat ke arah Kania yang sedang menuangkan minuman di gelas dirinya saat ini.
"Mari makan Pak Devan. Saya akan menyiapkan bekal setelah ini," ucap Kania memecah kecanggungan di antara dirinya dan Devan.
Devan menyadarkan diri dari lamunan saat suara lembut Kania terdengar di gendang telinga nya. Sontak Devan tersenyum lalu menganggukan kepala membalas ucapan Kania.
Devan dan Kania menikmati hidangan sarapan dengan suasana hening. Hanya suara sendok dan garpu yang berdenting di atas piring memecah keheningan di antara Devan dan race saat berada di meja makan.
Devan memutar kemudi mobil sporty mewah berwarna merah kesayaangannya meninggalkan apartemen tepat pukul tujuh tiga puluh menit dengan kecepatan sedang menembus jalanan ibu kota setelah menikmati sarapan. Kania duduk dengan manis di samping Devan yang sedang fokus terhadap jalanan pagi ini. Dua kotak bekal makan siang tertata rapi di kursi penumpang bagian belakang. Jalanan ibu kota yang tidak terlalu padat memudahkan Devan dan Kania tiba dalam waktu yang cepat di kampus Kania.
"Nanti aku jemput kamu pulang kuliah. Kamu jangan pulang dulu ke apartemen. Kamu tunggu aku di pos security itu nanti," ucap Devan setelah berada di depan kampus tempat kuliah Kania.
"Iya Pak Devan. Saya kuliah dulu Pak Devan. Hati-hati di jalan Pak Devan." Kania turun dari mobil Devan seetakh berpamitan kepada Devan, calon suami Kania.
Devan meninggalkan kampus tempat Kania kuliah setelah Devan memastikan Kania masuk ke dalam kampus dengan aman. Senyuman terbit di wajah tangan Devan saat mengingat tentang Kania, Devan tidak mengerti dengan hatinya saat ini yang selalu menyebut nama Kania saat dirinya sedang gelisah seorang diri. Bayangan wajah Kania selalu menari dan benak Devan. Ah.. CEO muda itu sepertinya sedang benar-benar jatuh cinta saat ini.