"Nes, mendung nih kayaknya mau hujan. Aku nggak bawa jas hujan. Gimana dong?"
Reinal sedikit berteriak saat mengatakannya. Takut bila Ines tak mendengar ucapannya lantaran gemuruh petir dan deruman kendaraan lain. Belum juga jam 5 sore, tapi jalanan sudah ramai saja.
Tampaknya orang-orang tergesa agar cepat sampai rumah lantaran takut kehujanan. Langit berwarna kelabu pekat, menandakan sebentar lagi semesta akan menumpahkan airnya.
"Nggak pa-pa. Terjang aja."
Hening sejenak, Reinal berdecak.
"Jangan! Kalau kamu kehujanan sakit nanti. Aku nggak mau."
Ines tersenyum simpul menatap pantulan wajah Reinal di kaca spion. Pria itu tak tau saja, sedari tadi Ines sibuk mengamati rahang kokohnya. Reinal masih sibuk dengan jalanan ramai di depan sana hingga tak memperhatikan kaca spion.
"Dibilangin nggak pa-pa. Aku suka main hujan kok dulu. Tenang aja."
Ines seakan tau kekhawatiran si pawang ombak itu terhadap kesehatannya. Sebetulnya ia bohong, Ines kecil tak pernah main hujan. Dilarang soalnya.
Tanpa menggubris ucapan si model, Reinal menepikan motornya di salah satu angkringan kosong yang tak dipakai. Disha dan Jason ada di sana. Keduanya berniat memakai satu jas hujan untuk berdua. Sebab Jason hanya membawa mantel kelelawar, untungnya cukup lebar sehingga bisa untuk 2 orang.
So sweet sekali, bukan? Sayangnya Jason sengaja membawa mantel kelelawar agar seandainya turun hujan, ia bisa modus dan uwu-uwuan sama Disha.
Hhh, pria dan otak cerdiknya.
"Loh, Rei, kok diam? Mantel kamu mana?"
"Nggak bawa."
"Lah terus Mbak Ines gimana? Kehujanan dong nanti dia."
Ines memutar bola matanya. "Ck. Santai aja kali, terjang aja. Hujan masih air, belum juga duit."
Wanita itu terkekeh di akhir kalimatnya. Masih bisa melawak disaat suasana genting seperti ini.
Setelah memastikan Ines aman, Disha dan Jason jalan duluan dengan sebuah mantel kelelawar yang melingkupi keduanya. Reinal yakin, pasti Jason sedang kesengsem sekarang. Sohibnya itu pasti melancarkan aksi modus dengan gombalan-gombalan maut yang Reinal yakin akan membuat Disha klepek-klepek.
Mengingat, Jason adalah buaya ulung yang kemampuannya dalam menaklukkan wanita tak bisa diragukan lagi, sudah kelas kakap.
"Nggak dingin?" Tanya Reinal saat keduanya melanjutkan perjalanan tanpa jas hujan. Pria itu berinisiatif memberikan jaket bomber light cream miliknya.
"Nggak Rei. Nggak pa-pa kok. Baru juga gerimis kecil."
Reinal sejenak mendongak menatap langit yang tak kelihatan awan lagi. Semuanya rata, putih semi kelabu disertai kilatan pertir. Harum petrikor mulai merasuki indra penciuman keduanya.
"Makin kesini kayaknya gerimis makin besar deh, Nes. Yakin bakal nerjang?" Tanya Reinal lagi memastikan.
"Yakin," jawabnya mantap. "Tuh harum petrikor aja enak banget. Kita nikmati aja hujan-hujanan ini."
Reinal membenarkan perkataan Ines. Makin ke sini bau tetesan hujan yang mengenai tanah makin tercium. Dan ia suka itu. Apalagi menikmatinya dengan Ines di belakang. Hatinya berbunga-bunga dua kali lipat.
Deruman triumph itu menggema, beradu dengan motor-motor lain yang juga kebut-kebutan. Tetesan hujan makin sering terasa mengenai raga. Deras memang, seperti perkiraan Reinal.
Setelah diyakinkan Ines, pria itu menurutinya. Ia betul-betul menerjang derasnya hujan sore ini. Semakin deras hujan, semakin kencang pegangan Ines di perutnya, semakin merapatkan diri pula pada tubuhnya.
"Di pinggiran jalan banyak genangan air ya, Rei?"
"Memang. Selain bikin genangan, hujan juga jago bikin kenangan, loh."
Mantap, teruskan saja rayuanmu kisanak.
Ines terkikik membenarkan. "Iya tau. Kayak kita sekarang, kan?"
Reinal merasakan suara Ines tepat di telinganya. Wanita yang dia bonceng itu mendekatkan diri dengan wajahnya. Mungkin agar suaranya tak kalah oleh hujan sore ini.
"Ya. Kamu nggak kedinginan, Nes?"
"Nggak. Atau mungkin belum." Ines menjeda kalimatnya sejenak. "Kamu juga apa nggak dingin? Kemeja kamu jadi basah semua nih, gara-gara jaketnya aku pakai."
"Tak apa basah, tak apa dingin, asal berdua. Sama kamu."
****
Satu jam lamanya Ines dan Disha gunakan untuk sekedar mereview liburan mereka kali ini. Dan topiknya selalu ada saja, saling cerita pengalaman masing-masing dengan pasangan masing-masing. Biasalah wanita, kalau lagi kumpul-kumpul emang suka makan waktu lama.
Wanita itu spesies ribet. Ngerti kan?
Pukul 7 malam dan keduanya masih sibuk berceloteh panjang adu kisah. Untuk makan saja sepertinya lupa. Sejak sampai rumah jam 5 sore tadi, mereka hanya bersih-bersih badan lalu duduk manis di kamar Ines sambil tersipu-sipu menceritakan kisahnya.
Kalau lagi jatuh cinta, wanita suka gitu, kan?
"Sebelum pulang tadi aku dikasih bunga sama Jason. Beli di jalan katanya."
"Oya? Mana bunganya? Perasaan tadi pas sampai rumah aku nggak lihat kamu bawa buket bunga tuh."
Disha merebahkan diri di ranjang bos cantiknya. "Ya bukan yang gede, Mbak. Cuma setangkai mawar kok. Tapi aku suka, lumayanlah buat ngisi hari-hariku setelah si kunyuk Nino." Ia tersenyum kecut di sela kalimatnya.
Bagaimanapun, yang namanya perpisahan tak ada yang indah. Apalagi Disha tak mengharapkan hal itu terjadi di hubungannya sama Nino.
Tapi mau bagaimana lagi? Kita nggak bisa memaksa seseorang untuk stay sama kita. Karena beberapa hal yang berawal dari terpaksa, kadang berakhir tidak baik-baik saja.
"Hatchi!"
Belum sempat merespon Disha, Ines lebih dulu diserang hasrat geli yang muncul dari dalam tubuh lalu menggelitik hidungnya.
"Kenapa, Mbak?" Disha bangun dari baringannya.
"Bersin."
"Ya udah tau kalau itu. Maksud aku, kamu ngerasain apa?"
"Nggak tau. Kayak dingin aja."
Disha berinisiatif memakaikan selimut ke tubuh bosnya yang kini selonjor. Asisten itu turun ke dapur untuk membuatkan teh hangat.
Ines menyenderkan punggungnya ke headboard dengan bantal sebagai tumpuan. Tiba-tiba ia merasa kurang fit setelah bersin. Salahnya juga sih, sejak pulang dalam keadaan basah kuyup, dirinya berendam lama di bathup. Setelahnya ia tak minum apapun yang bisa menghangatkan tubuh.
"Nih minum dulu." Disha menyodorkan secangkir teh ke bosnya. "Kamu sih dari tadi malah ngajak ngobrol bukannya ngurusin diri sendiri. Aku masih mending pakai mantel. Lah kamu hujan-hujanan loh, Mbak." Omelnya.
"Oiya, tadi Mas Saga telepon aku berkali-kali. Ngirim pesan spam juga yang sampai sekarang belum aku balas. Nanyain kamu, suruh ngasih kabar katanya. Aku tau karena baca lewat notif sih."
Ines memejamkan matanya sejenak. Ia memang sengaja dari pagi belum menghidupkan data seluler. Kalau pesan atau telepon Saga masuk, ia susah mengelak jika tak diangkat. Bisa-bisa acaranya dengan Reinal diganggu oleh pria itu. Ternyata Saga malah tanya kabar lewat Disha. Pria itu memang tak bisa kalau sehari saja tanpa tau kabar dari Ines.
"Muka kamu kok jadi pucat?" Disha mendekatkan diri ke arah Ines lalu menyentuh jidat bosnya. "Lah tubuh kamu kok jadi panas gini. Tadi belum loh."
Asisten itu gelagapan sendiri karena tak pernah menangani orang sakit. Ia berniat memanggil Mbok Sum saja untuk mengurus ini semua. Sebelum ponselnya berdering dengan ringtone panggilan. Dari Saga.
"Halo, Dis. Kenapa nggak angkat telepon aku dari pagi, hah?! Ines juga nggak bisa dihubungi, aku--"
"Mbak Ines sakit, Mas."
Setelahnya panggilan dimatikan oleh Disha. Ines terkekeh melihat kelakuan asistennya yang seenak jidat.
Ines yakin, Saga pasti sedang uring-uringan saat ini. Mengingat pria itu tak bisa menjenguknya lantaran masih sibuk di Bandung.