"Ines!"
Semua orang menoleh ke arah suara itu. Bahkan Ines pun terkejut dengan suara lantang yang sarat akan kekhawatiran.
"Nes, kenapa? Mana yang sakit, hm? Bilang sama aku mana yang sakit?" Nada suara kecemasan itu berasal dari Saga.
Ya, setelah aksi terbang nendadak dari Bandung, ia langsung menuju rumah Ines untuk menjenguk pujaan hatinya. Sementara Ines betul-betul tak menduga akan apa yang dilihatnya saat ini. Saga berdiri sedikit membungkuk, wajahnya kusut sekali. Nampak guratan pertanda letih terpahat di dahinya.
Seolah sadar akan kebingungan bosnya, Disha menyeletuk. "Mas Saga kok bisa di sini? Yang di Bandung sudah selesai?"
Si pria malah menggeram rendah."Ya mana bisa aku urus kerjaan aku kalau aku belum tau kondisi Ines yang katanya sakit. Baru juga ditinggal belum ada sehari, udah sakit aja."
"Dokter Elma, gimana keadaan Ines? Baik-baik aja, kan?"
Saga mengabaikan Disha yang hendak menjawab ucapannya. Alih-alih memberi waktu bicara, pria itu malah bertanya langsung ke sang dokter.
"Iya, sebentar. Saya izin mengecek keadaan Ines dulu ya."
Saga menyingkir, memberi ruang bagi dokter pribadi keluarga Ines yang sedari dulu menanganinya. Dokter Elma pun mengenal Saga. Pria yang selalu ia lihat kala dirinya dipanggil untuk memeriksa Ines. Dulu Dokter Elma pikir Saga adalah calon suami atau bahkan sudah menjadi suami Ines. Nyatanya bukan, Ines bilang sekedar teman.
Yah, siapa yang tak menebak suami bila di tiap kesempatan pria itu selalu berada di samping si wanita?
Saga menatap dalam-dalam seseorang yang tengah berbaring tak berdaya itu. Bahkan Ines tadi hanya sanggup berkedip ketika dirinya tiba. Ia menatap cintanya dengan perasaan cemas yang membuncah. Entah apa kiranya yang dilakukan wanita itu hingga demam tinggi seperti ini.
"Demam Ines cukup tinggi memang. Sebelumnya saya mau tanya, apakah Ines berada dalam temperatur udara dingin terlalu lama? Pergi ke daerah dingin tanpa penghangat misalnya? Atau main hujan? Atau mungkin berendam terlalu lama di kamar mandi?"
Saga bingung, ia tak tahu menahu soal ini. Sontak ia tatap tajam Disha yang terpekur di ranjang seberang. Dan si asisten itu kelabakan sendiri.
Saga tak boleh tau soal ini. Apalagi kalau sampai ia tau bahwa kemarin Ines double date bersama Disha. Serta demamnya hari ini yang diakibatkan oleh Reinal.
Bisa perang badar susulan kalau sampai itu terjadi.
"Iya kemarin kami pergi ke- em-" mata Disha kesana kemari mencoba mencari alasan yang logis. "Itu- kami jalan-jalan ke Malioboro, dan pulangnya hujan. Terus- ya gitu hujan-hujanan deh, hehe." Cengirnya di ujung penjelasan.
Disha bicara dengan mata mengarah ke Dokter Elma. Ia tak berani menatap mata elang Saga yang ia yakini akan keluar dari tempatnya itu. Horror sekali bak hantu jadi-jadian.
Dokter Elma mengulas senyum tipis. "Baik, untuk selanjutnya, dimohon agar Ines tidak main hujan dulu ya. Hal ini lantaran kehujanan bisa melemahkan imun seseorang. Nah pada kasus Ines ini, ia memiliki kondisi daya tahan tubuh yang kurang baik. Sehingga hal itu langsung menurunkan sistem kekebalan tubuhnya."
"Oiya, untuk resepnya sudah saya tuliskan ya, bisa ditebus di apotek terdekat." Imbuhnya.
Disha menerima salinan resep tersebut. Sementara Saga langsung mendekati ranjang, menggantikan posisi dr. Elma. Pujaan hatinya masih setia memejamkam mata. Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan berkeliaran di kepalanya tentang bagaimana bisa Ines sakit seperti ini. Namun Saga mengalah, ia akan tanyakan itu nanti ketika kondisi Ines membaik. Ia akan fokus pada penyembuhan wanita itu lebih dulu.
"Mas, kamu masih mau di sini?"
Saga mendongak ke arah Disha. "Obatnya mana?"
Haha rasanya ingin sekali Disha menggeplak kepala si model tampan itu. Ditanya malah balik nanya, tanya A jawabnya B.
"Lagi ditebus sama maid."
"Aku pulang nanti kalau Ines udah minum obatnya."
Disha mengalah. Percuma juga berdebat dengan pria kolot ini. Ia lantas menerima semangkok bubur yang baru saja diantar Mbok Sum.
Belum juga Disha membangunkan bos cantiknya, Saga lebih dulu menarik mangkok bubur dari tangannya. Disha cengo di tempat. Apa-apaan?
Lebih cengo lagi ketika Saga memanggil Ines lembut. Kemudian membantunya duduk bersandar di headboard dengan hati-hati seolah tubuh Ines adalah barang antik yang akan retak bila salah letak.
Wanita yang wajahnya pucat itu menatap Saga dalam-dalam.
"Tak usah memikirkan aku. Kamu sembuh dulu, besok baru tanya-tanya, ya? Sekarang buka mulutnya, kamu harus makan habis itu minum obat biar cepat sembuh."
Ines menurut. Beberapa suapan sudah masuk ke mulutnya dan berhasil ia telan. Ines tak heran, Saga memang selalu seperti ini sejak dulu. Berlebihan namun selalu tulus menolongnya.
Sementara sang asisten merutuki dirinya sendiri seolah ia menjadi makhluk hidup paling tak berguna di alam semesta. Di kamar itu, Disha menjadi obat nyamuk antara Ines dan Saga. Menyaksikan keromantisan keduanya yang tengah merawat salah satunya. Mungkin bila asisten memiliki kasta, Disha yakin dirinya menempati urutan kacung dengan kasta paling rendah di muka bumi.
Kalau ia keluar kamar, pasti Ines dan Saga akan menerkamnya, sebab keduanya bukan muhrim jadi butuh pengawasan orang lain. Namun jika di dalam kamar terus-terusan, c'mon, siapa yang kuat menyaksikan keuwuan dua sejoli ini padahal ia sendiri jomblo?
Asisten itu menguatkan dirinya sndiri. 'Disha, kamu pasti bisa bertahan dengan kejombloan di tengah gempuran pamer ayang.'
Disha mematung di sofa. Tak ingin beranjak dari sana. Diliriknya Ines yang tampak baik-baik saja dengan tatapan Saga. Mereka masih nyaman dengan suasana saling tatap tanpa percakapan apapun.
"Sekarang obatnya minum." Saga menyodorkan beberapa obat yang sudah ditebus oleh maid kemudian memberi Ines segelas air.
"Habis ini tidur, jangan mikir macam-macam." Pria itu mengusap kepala Ines. "Semoga panasnya cepat turun. Besok aku ke sini lagi."
Disha mulai panas dingin dengan sajian keuwuan di hadapannya.
"Sleep tight, sweetie. Good night." Dikecupnya puncak kepala Ines sepersekian detik.
Help! Disha butuh oksigen sekarang.
Di tengah pemandangan yang menguras emosi itu, Disha mengalihkan atensinya ke arah ponsel Saga yang menyala. Bukan bunyi ringtone yang ia tangkap, namun hanya getaran benda pipih di atas nakas di samping ranjang. Panggilan dari seseorang bernama... Clara? Disha yakin ia tak salah baca nama yang tertera di sana. Lalu, siapa Clara?
Melihat ada yang meneleponnya, Saga segera menarik diri dari ranjang lalu mengisyaratkan Disha untuk menggantikan posisinya semula. Pria itu berniat pulang ke rumahnya dulu sebelum besok kembali lagi ke sini untuk mengecek keadaan Ines. Oh- bukan mengecek. Tapi memastikan bahwa kondisi wanita itu sudah membaik.
Disha menurut, meski di benaknya masih terpatri jelas apa yang baru saja ia lihat. Ia tatap nyalang punggung sosok yang keluar dari kamar bosnya. Tak luput pula dari pandangannya bahwa Saga mereject panggilan itu. Batin Disha bertanya-tanya, kenapa direject? Apa ada sesuatu yang disembunyikan Saga dari Ines?
By the way, Ines sendiri tak tau bahwa telepon Saga bergetar.