Sepasang anak manusia itu cekikikan di sebuah pusat perbelanjaan. Siapapun yang melihatnya pasti iri hati sebab mereka bertingkah layaknya sepasang kekasih yang sedang memadu kasih.
Ines dan Saga. Kedua sejoli itu berjalan beriringan memasuki outlet pakaian. Tak lupa, sebelah tangan Saga merangkul pundak wanita cantik itu.
"Tangannya bisa singkirin nggak? Dari tadi loh kamu giniin aku. Berat tau!" Cibir Ines seraya menyingkirkan tangan kekar pria itu.
Alih-alih menuruti perintah Ines, Saga malah semakin mengeratkan rangkulannya. Bahkan ia tak sungkan mencengkeram bahu Ines yang terbuka hingga keduanya tampak berhimpitan.
"Ih apasih?! Saga! Lepasin nggak?!" Titahnya berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Saga. "Saga ih. Malu dilihatin mbaknya."
Saga yang dasarnya keras kepala, tentu takkan menuruti ucapan gadis itu.
"Biarin. Biar semua orang tau kalo kamu milik aku."
"Dih, sejak kapan kita saling memiliki?"
Astaga! Iya juga. Saga tersadar akan ucapan wanita di sampingnya ini. Mendengarnya menyakitkan hati, tapi itulah kebenaran yang tak bisa ia sangkal.
Perlahan pria itu melepaskan tangannya dari bahu Ines. Setelahnya ia jaga jarak kemudian memilih menggenggam tangan wanita itu.
"Yaudah ayo. Pilihin kemeja casual yang cocok buat aku."
Wanita yang rambutnya diurai ke belakang itu bukannya tak paham sikap Saga barusan. Bukannya ia tak punya hati saat mengatakannya. Namun memang hal itu harus ia lakukan agar Saga tak bertingkah berlebihan. Agar pria itu tak menganggap dirinya menerima semua perlakuan manis itu. Ini demi kesehatan mental keduanya. Demi kelanggengan persahabatan Ines dan Saga.
"Ini bagus nggak?" Tanya Saga setelah keduanya memasuki salah satu outlet pakaian branded.
"No, no! Nggak cocok. Kamu itu pake baju apapun nggak bakal cocok kalo bukan aku yang pilihin."
Saga pun mencibir. "Hm sombong. Mentang-mentang ngerti fashion style."
"Ya wajar dong. Mayoritas model emang harus ngerti fashion style. Kamu doang tuh yang nggak paham dari dulu."
Saga memutar bola matanya jengah. "Ya gimana mau paham? Orang kamu nggak ngasih kesempatan aku buat belajar. Selama ini kamu terus yang milih. Ya aku bisa apa kalo bukan pasrah sama pilihan kamu?"
Memang begitulah adanya. Sejak mereka dekat sebagai partner model, tak sekalipun Saga membeli outfit hariannya jika bukan pilihan Ines. Wanita itu selalu menawarkan diri untuk memilihkan outfit Saga. Ralat- bukan menawarkan, namun lebih ke mengharuskan pria itu untuk membeli apapun yang dipilihkan Ines untuknya. Ya kecuali underwear.
"Jangan banyak komen deh." Lirik Ines tajam. "Ini kayaknya bagus buat kamu. Cobain gih! Pasti ganteng banget kamu pake ini."
Sebuah kemeja berwarna light grey lengan pendek dengan aksen garis tipis di samping kancing dan celana slimfit formal warna hitam, disodorkan Ines padanya.
By the way, bukan sekali ini saja Ines memuji Saga bahwa ia ganteng, cakep, tampan, atau apapun sejenisnya. Wanita itu acap kali mengutarakannya tanpa memikirkan perasaan Saga yang bedegup kencang mendengarnya.
"Ganteng doang, tapi nggak dipacarin."
"Ga, tolak ukur pacar itu bukan rupa." Jelasnya seraya menatap kedua bola mata Saga yang juga tengah menatapnya.
"Terus?"
"Tapi hati."
"Pffft, hahaha." Pria itu tertawa terbahak-bahak mendengarnya. "Sok-sokan bicara hati. Kamu jatuh cinta aja nggak pernah."
"Dih ngeledek ya. Udah sana cobain ih banyak omong kamu!" Ines mendorong tubuh tegap pria itu untuk memasuki kamar pas.
Ucapan Saga tak benar. Sama sekali tak benar. Ines memang tak pernah menceritakan ke Saga masa-masa SMA-nya. Ia bukannya wanita polos yang hingga kini belum pernah merasakan apa itu virus merah jambu. Semasa SMA kelas X, wanita ini pernah menyukai kakak kelasnya. Bahkan saking bucinnya, dia mengikuti kemanapun kakak kelas itu pergi.
Juan namanya.
Orangnya sih cuek, pendiam, kaku, nggak bisa cari topik, susah diajak ngobrol, kalo ditanya cuma mengangguk atau jawab sekenanya, pokoknya ribet deh. Oh ya satu lagi, dia kalo berangkat sekolah naik vespa warna biru.
Itulah alasan kenapa beberapa gantungan kunci di rumahnya berbentuk vespa biru. Sebab dulu ia pernah memesan jasa ke tukang ganci alias gantungan kunci, untuk dibuatkan bentuk vespa warna biru sebanyak 2 kodi. Iya, 40 buah. Padahal kunci di rumahnya tak sebanyak itu, bahkan sekarang pun masih sisa. Enam tahun sudah berlalu, namun tak kunjung habis juga. Pun wajah si pemilik vespa biru, tak kunjung ia lupa.
Dan selama itu pula, Ines tak pernah lagi menjumpai Juan. Sejak pria itu pindah SMA ke Bandung, ia tak tau lagi kabar terkini dari sosok yang pernah mengisi hatinya tersebut.
"Ekhem. Ada yang ganteng loh di sini, masa bengong dari tadi?"
Ines terperangah akan suara bariton itu. Siapa lagi pelakunya kalo bukan Saga?
"Ngagetin aja ih." Gerutunya sebal. Lantas mata indahnya memindai dari atas hingga ke bawah. "Tuh kan cakep. Emang bener aku nggak pernah salah milihin kamu outfit, tau nggak? Udah ambil aja ini, terus cari yang lain lagi."
"Ini aja satu setel. Cuma mau kontrol kafe besok."
Gadis itu mengernyit. "Tumben. Biasanya kamu beli banyak tuh. Kalo belum satu goodie bag penuh belum mau balik."
"Yaudah ayo cari lagi buat kamu. Aku nggak suka lihat kamu pake baju terbuka di tempat umum kayak gini."
Saga mendorong tubuh Ines, memasuki area baju wanita.
"Idih, emang situ siapa? Kok ngatur?"
Alih-alih menanggapi Ines, pria itu malah sibuk memilih blazer yang menggantung di outlet pakaian tersebut.
"Ini cocok buat kamu."
"Tap--," belum rampung satu kata, Saga sudah memotong omongannya.
"Udah nggak perlu bantah. Aku yang beliin. Abis ini bayar di kasir terus kamu pake, nggak usah babibu."
Oh ya satu lagi, pria yang sedang bersamanya ini memiliki jiwa bossy. Menyebalkan sekali bukan?
Setelahnya kedua sejoli itu berjalan mengitari mall sambil melihat-lihat. "Nes ada manekin lucu tuh, lihat!" Saga menunjukkan sebuah manekin di outlet seberang.
Pria itu pun berulah. "Eh fotoin dong Nes." Ia merangkul sebuah manekin wanita yang duduk di atas sebuah box. Seolah-olah sedang bermesraan, padahal itu adalah benda mati.
"Hah?" Ines hanya cengo dibuatnya.
Ayolah, ia masih waras. Tentu melihat partner sekaligus sahabatnya yang merangkul manekin seperti itu tampak seperti orang gila baginya.
"Udah ayo cepet fotoin." Bodohnya, Ines mengikuti permintaan konyol Saga lantas tertawa hingga keluar air mata.
"Gini amat jomblo, haha." Ines makin tak bisa menghentikan tawanya setelah memotret Saga yang merangkul manekin tersebut.
Si pelaku pun sama. "Efek dighosting kamu sih, ya nggak?" Kekeh Saga seraya menyenggol lengan Ines.
"Apa sih pake bawa-bawa ghosting?! Nggak ada ya sejarahnya aku ghosting seseorang. Kamunya aja yang baperan, ew." Semburnya tak terima.
Saga hanya diam tak berniat menyahuti. Memang ia saja yang baperan, karena sejak awal Ines sudah memperingati bahwa hubungan mereka sebatas teman kerja. Namun Saga tetap lancang membiarkan perasaan itu tetap ada.
"Udah dong ketawanya. Aku laper nih, ayo cari makan dulu!" Ujarnya lalu merangkul Ines.
"Makan sih makan, nggak usah rangkulan juga kali."
"Kemarin ada yang bilang 'So, make me yours' tapi sekarang dirangkul nggak mau. Gimana sih? Aneh."
"Kan aku kemarin udah bilang cuma bercanda, Arsaga Frezy. Masa nggak ngerti juga sih?!"
"Iya iya, kanjeng ratu. Bercanda aja terus." Saga menyudahi aksi rangkulan itu karena tangannya didesak Ines untuk menyingkir. Wajahnya ditekuk dan itu membuat Ines merasa tak enak hati.
What? Merajukkah pria ini? Hanya karena ia menolak untuk dirangkul di tempat umum? Batin Ines tak terima.
Sementara Saga menatap lurus ke depan. Tiap hari memang seperti ini. Sikap mereka yang berlebihan kalo untuk disebut teman. Intensitas bertemu dan berkunjung ke rumah satu sama lain, malah membuatnya merasa sedang membina rumah tangga dengan Ines.
Tolong berikan dia obat untuk menghalau halusinasi akut ini segera.