Seperti keinginan Sakha saat itu, dan demi mempererat hubungan pernikahan mendadak ini, Naraya dan Sakha kembali tidur di satu kasur.
Bisa tidur? Tidak. Rasanya suasana malam ini lebih berbeda dari semalam. Suara deru napas halus, suara kulit bergesekan dengan kain seprai, bahkan suara jantung juga ikut terdengar dalam heningnya ruangan ini.
Apa karena kamar Naraya kecil? Atau karena mereka tidur di atas kasur yang sama? Entah, Naraya juga tidak tahu yang mana, tapi yang jelas dia gugup.
"Naraya?"
Naraya menoleh cepat dan membeku terdiam mendapati Sakha sudah menatapnya sedemikian rupa. "Y-ya?"
Tanpa sadar Naraya menarik selimut sampai menutupi separuh wajahnya.
"Ayo kita bercerita," usul Sakha. Sejujurnya dia sama dengan Naraya, gugup. Ingin tidur, tapi tak bisa. Alhasil muncullah ide 'bercerita' itu di kepalanya.
Naraya menatap Sakha heran. "Cerita apa?"
"Macam-macam. Mungkin makanan kesukaan kamu. Warna favorit kamu. Apa yang kamu benci. Yang kayak gitu. Selama ini aku nggak tahu soal itu."
Naraya meluruskan pandangannya pada langit-langit kamar. Dia terdiam karena sebelumnya tidak ada yang menanyakan hal itu padanya. Mungkin dulu ketika orang tuanya masih hidup akan menanyakan hal-hal remeh seperti yang Sakha tanyakan, tapi setelah itu? Tidak ada. Sekarang Naraya merasakan betapa menyedihkan dan kesepiannya dia.
"Aku suka coklat, apa aja yang ada coklatnya aku suka. Aku juga suka minum susu kemasan, minum yogurt, yang manis-manis aku juga suka. Tapi aku nggak bisa makan pedas, atau nggak nanti aku diare. Aku suka warna putih, karena terlihat bersih. Aku benci serangga, tapi karena aku hidup sendirian aku harus usir serangga itu sendiri. Emangnya siapa lagi yang bakalan usir serangga itu buat aku? Poppy terlalu malas buat kejar serangga-serangga."
Sakha tersenyum memperhatikan Naraya yang terus berceloteh. Ah, ini adalah kalimat terpanjang yang keluar dari mulut Naraya. Sakha suka sekali mendengar suara Naraya, suaranya lembut dan terasa candu untuk didengarkan. Minus kalau sedang marah-marah.
Senyuman puas tercetak sempurna di wajah Naraya setelah menyelesaikan ucapannya, perempuan itu kemudian menoleh pada Sakha. "Kalau kamu apa?"
Sakha bergumam panjang, terlihat berpikir. "Kalau aku nggak suka yang manis-manis. Aku suka makanan pedas, tapi aku bisa makan semuanya. Aku suka warna hitam. Aku nggak masalah ngusir serangga, karena aku nggak takut atau jijik. Jadi kamu harus bilang ke aku kalau ada serangga, biar aku yang usir."
"Beneran?" Mata Naraya dipenuhi binar antusias. Antusias membayangkan tangannya tak perlu repot-repot menjepit serangga-serangga itu lagi atau sapunya yang ternodai serangga.
Sakha mengangguk yakin. "Iya, aku yang usir."
"Terus ganti bohlam lampu yang rusak?"
"Iya, aku yang ganti. Aku janji nggak bakal pecahin lampunya."
Naraya senang sebab pekerjaan yang dirasanya sulit ia kerjakan sendiri kini sudah ada yang membantu. Perempuan itu langsung memeluk tubuh Sakha dari samping. "Kamu bakalan di sini aja kan?"
Meski sempat membeku sebentar, Sakha balas memeluk Naraya tak kalah erat. Pelukan Naraya adalah suatu candu baginya. "Iya, aku nggak kemana-mana. Kita kan udah nikah."
Dibalik dada Sakha, Naraya tersenyum senang. Rasanya seperti dia sudah memiliki teman dan tak perlu merasakan kesepian lagi. Di antara panjang dan sepinya hidup Naraya, akhirnya dia memiliki teman untuk bisa menemaninya sekarang.
Meskipun Naraya tidak tahu bagaimana hari esok, dia tetap senang memiliki seseorang yang bisa menemaninya. Kini dia punya Poppy dan Sakha, Naraya sudah tidak kesepian lagi.
***
Kapan terakhir kali pagi Naraya pernah begitu hangat dan nyaman? Ketika keluarganya masih utuh? Atau ketika masa-masa mudanya masih indah? Sepertinya sudah sangat lama.
Namun pagi ini Naraya kembali merasakan kehangatan dan kenyamanan itu. Bisa jadi berkat Poppy yang kini bergelung di atas kepalanya, atau bisa jadi karena pelukan Sakha yang super hangat dan nyaman.
Saat Naraya membuka mata, Sakha sudah bangun terlebih dahulu dan memainkan rambutnya. Pria itu tersenyum manis mendapati Naraya sudah bangun. "Selamat pagi,"
Naraya ikut tersenyum. "Pagi,"
Poppy ikutan mengeong, membuat kedua manusia yang masih berpelukan di bawah selimut itu tertawa.
"Mau sarapan?" tanya Naraya yang diangguki Sakha.
Sakha memang mengangguk, tapi di saat Naraya hendak bangkit untuk pergi ke dapur, pria itu malah mempererat pelukannya membuat Naraya keheranan.
"Lho, katanya mau sarapan?"
Sakha menyembunyikan kepalanya di ceruk leher Naraya, membuat perempuan itu harus menahan rasa geli serta sesuatu yang menggelitik perutnya. "Bentar lagi,"
Naraya mengedipkan matanya cepat. "Kamu..." Astaga, Naraya tidak mampu melanjutkan ucapannya saat menyadari ada sesuatu di bawah sana yang menegang. Yang jelas itu bukan dari Naraya.
"Hm?" Sakha memilih pura-pura tidak tahu tapi terus menghirup aroma Naraya.
"Kamu mau lakuin itu?"
Sakha langsung menjauhkan wajahnya dari leher Naraya. Matanya melotot kaget. "M-maksud kamu apa?"
"Duh, jangan sok polos deh. Kamu kira aku nggak tahu kenapa kamu kalau mandi suka lama?"
Astaga, Tuhan! Sakha menipiskan bibirnya. Apa secepat ini dia akan ketahuan? Kenapa harus sekarang! Ugh, ini memalukan! Dimana Sakha harus menyembunyikan wajahnya sekarang? Apa dia pesan tiket pesawat dan menenggelamkan diri di Segitiga Bermuda?
"Aku nggak apa-apa," Naraya berusaha meyakinkan Sakha sebab dia sendiri merasa kasihan pada pria itu.
Sakha hanya diam membisu. Dia ingin, ingin sekali melakukan itu, tapi rasa-rasanya dia akan melakukan sebuah dosa yang sangat besar karena tahu kalau Naraya sangat sulit melakukan hubungan intim ini. Memang Naraya tidak menceritakannya, tapi dengan gemetar yang Naraya tunjukkan saat hendak menciumnya sudah menceritakan segalanya pada Sakha.
Di antara delimanya Sakha, terdengar suara pintu yang diketuk, lebih tepatnya digedor kasar dari luar. Persis seperti penagih hutang.
Amarah menghampiri puncak kepala Naraya. Tentu saja dia kesal dan marah saat ada orang yang pagi-pagi mengetuk kasar pintu rumahnya. Buru-buru Naraya bangkit dari kasur. "Kamu tunggu di sini!" perintahnya pada Sakha.
Tapi karena insting yang kuat, Sakha tentu tidak akan membiarkan Naraya keluar sendirian kalau tidak ingin ada perang di pagi hari ini. Alhasil dia tak mengindahkan perintah Naraya dan mengikuti perempuan itu ke depan pintu.
Langkah kaki Sakha terhenti saat Naraya membuka pintu rumahnya lebar-lebar. Pria itu membeku saat melihat siapa yang berdiri di sana.
"Siapa, ya? Tahu sopan santun kan buat nggak gedor-gedor rumah orang pagi-pagi gini?" hardik Naraya kesal. Dia tidak tahu Sakha mengekorinya di belakang.
Perempuan yang menggedor-gedor pintunya itu datang bersama seorang pria bertubuh besar dan berkepala plontos. Dandanannya sangat nyentrik dengan lipstik merah menyala yang entah kenapa sangat cocok, serta kacamata hitam yang bertengger di telinga.
Naraya kira, wanita ini hanyalah orang gila. Tapi sebuah kalimat yang selanjutnya keluar dari bibir berpoles lipstik merah menyala itu mampu membuat jantung Naraya hampir jatuh ke perut.
"Saya tunangan Sakha Abimanyu!"