Sakha dan Naraya duduk di depan televisi, menonton kartun yang kalau Sakha ingat-ingat tidak pernah ada episode baru.
Menonton televisi di siang hari sepertinya sudah menjadi kegiatan rutin yang mereka lakukan bersama, ditambah Poppy tentunya.
Setelah sarapan tadi pagi, Sakha hanya diam di samping Naraya. Tidak berkata apa-apa dan hanya duduk menemani, seolah ingin menyampaikan bahwa dia akan selalu berada di samping Naraya meski hanya menjadi pendengar.
"Kamu nggak ada yang mau diceritakan?" tanya Naraya tiba-tiba. Dan dari pertanyaan itu Sakha tahu kalau perempuan di sampingnya tidak benar-benar menonton televisi.
Sakha tersenyum, "Banyak, Naraya."
"Biar adil, kamu juga coba cerita tentang keluarga kamu."
"Oke, setuju." Sakha kemudian berputar menghadap Naraya sepenuhnya. Sakha menumpu wajahnya dengan tangan yang ia letak di sofa. "Aku bukan anak kandung Mama ku yang sekarang."
Naraya terbatuk karena tersedak air liurnya sendiri. Perempuan itu langsung melihat Sakha, untungnya pria itu masih tersenyum. Eh, apa itu perlu disyukuri? Bukankah malah aneh kalau Sakha tersenyum di situasi ini?
"Aku udah ikhlas kok, cuma teringat aja sesekali." jelas Sakha, seolah mengerti arti tatapan Naraya. "Waktu aku kecil, aku diajak ke wahana permainan. Langit mendung pas ibu kandung aku ninggalin aku di depan komedi putar. Dia janji mau balik, tapi nggak balik-balik. Malah hujan lebat turun ada petir juga. Petirnya gede-gede. Makanya kalau ada petir aku ingat kejadian itu."
Hati Naraya terasa sesak melihat Sakha yang terus tersenyum mengingat kenangan pahitnya. Jadi sebab itu dia sangat takut ditinggalkan, juga karena itu Sakha trauma dan menjadikannya sebagai mimpi terburuknya.
"Mama aku yang sekarang itu janda, dia bercerai, tapi ingin memiliki anak laki-laki. Kebetulan, dia ketemu aku di wahana permainan itu, dan dia yang rawat aku sampai sekarang." Sakha diam sejenak, pria itu memainkan telapak tangan Naraya. "Ya, gitu cerita tentang keluarga aku."
"Hidup kita drama, ya."
Sakha tertawa kecil mendengar itu.
Sejenak, mereka hanya diam dengan pikiran yang memenuhi benak masing-masing.
"Sakha?"
"Hm?"
Naraya membasahi bibirnya, "Kamu nggak mau cerita kenapa kamu bisa masuk rumah aku?"
Naraya dapat melihat Sakha yang tiba-tiba menjadi gugup. Dia dapat melihat Sakha mengerjap-ngerjapkan matanya meski dia terus menatap telapak tangan Naraya yang ia mainkan.
"Naraya, kalau aku bilang aku belum mau cerita, boleh?" tanya Sakha takut-takut.
Naraya tersenyum tipis. Dia mengangkat tangan yang Sakha mainkan, berganti menjadi dia yang memainkan rambut tebal Sakha. "Boleh,"
"Aku belum mau cerita. Tapi aku janji suatu saat aku bakalan cerita."
"Iya,"
Suara televisi kembali mengisi kekosongan mereka. Saling diam dan menikmati rasa hening yang nyaman. Masing-masing hati mereka menghangat, karena memiliki seseorang yang mau mendengarkan cerita-cerita kelam mereka.
"Naraya?" Kali ini Sakha yang memanggil. Matanya terpejam menikmati sentuhan tangan Naraya di rambutnya.
"Ya?"
"Boleh..." Sakha terdengar ragu dan ujungnya malah diam.
Naraya tampak begitu penasaran, "Kenapa?"
"Boleh kamu elus aku kayak gini pas tidur?" tanya Sakha cepat membuat Naraya tertawa.
"Kenapa? Suka dielus kayak gini?"
"Iya, suka." Sakha membuka matanya, menatap Naraya yang ternyata menatap dirinya dalam. "Sejujurnya aku nggak bisa tidur di ruang tamu. Banyak nyamuk, Poppy juga suka gangguin aku tidur."
Lagi, Naraya tertawa.
"Ya udah. Nanti tidur sama aku."
***
Hari siang itu berganti malam dengan begitu cepat, membuat Sakha resah sendiri.
Dia sedikit menyesali permintaannya pada Naraya, sedikit saja karena dia juga senang Naraya mengabulkan permintaannya.
Sejak Naraya mengiyakan ajakan tidur bersama tadi siang, jantung Sakha langsung berdegup kencang dan tegang sepanjang hari. Apa dia harus menyesalinya? Tidak, tidak, Sakha senang tidur bersama Naraya, dan alasannya bukanlah sebuah kebohongan.
"Udah malam, mau tidur?"
Sakha terbatuk kencang, tak menyangka Naraya akan sesantai ini. Lagipula kenapa Sakha harus seresah ini? Mereka hanya akan tidur bersama, bukan melakukan hal lain.
"I-iya," gugup Sakha. Pria itu mengeratkan pelukannya pada bantal.
Naraya tak sadar Sakha gugup, dan membuka pintu kamarnya. "Ya udah, masuk."
Sakha menganggukkan kepala patah-patah. Kakinya berjalan kaku memasuki kamar Naraya, persis seperti robot. Naraya yang melihat itu langsung tertawa kencang.
"Apa sih, Sakha? Kok kamu yang takut?" tanya Naraya retoris.
"N-nggak! Aku nggak takut."
Naraya terus tertawa, padahal dia sendiri sudah deg-degan tak karuan. Beberapa kali dia menyesali ucapannya tadi siang, tapi dia juga meyakinkan dirinya agar bisa melangkah lebih jauh bersama Sakha. Dia harus bisa, pelan-pelan melangkah. Lagipula ini Sakha, Naraya percaya kalau Sakha itu pria baik dan penyabar.
Naraya terlebih dahulu merebahkan tubuhnya ke atas kasur. Satu hal yang ia syukuri, yaitu kasurnya berukuran king size jadi tubuh besar milik Sakha pasti bisa bergerak secara leluasa.
Perempuan itu menepuk bagian kosong kasur, mengisyaratkan Sakha untuk tidur di sampingnya. Pria itu mengikuti perintah Naraya dan berbaring di samping perempuan itu.
Kini mereka tidur berhadap-hadapan dengan jarak sejauh mungkin yang Sakha buat.
"Gimana bisa aku ngelus kamu kalau mau di ujung sana?" protes Naraya sebal. Perempuan itu kembali menepuk kasur. "Sini, deketan."
Sakha menggeser tubuhnya lebih dekat ke Naraya. Seluruh tubuh Sakha rasanya langsung rileks ketika Naraya menyentuh rambutnya, refleks Sakha memejamkan matanya.
"Kamu itu suka megang dan dipegang ya Sakha?"
"Kenapa kedengarannya ambigu?" celetuk Sakha, masih dengan mata terpejam.
"Bukan gitu. Tapi kamu selalu pegang tangan, suka peluk, sekarang minta dielus."
Sakha tersenyum simpul, "Aku juga milih-milih tahu. Nggak semua orang boleh nyentuh aku."
Pipi Naraya memanas. Untung saja mata Sakha tertutup, mungkin kalau dia melihat wajah Naraya yang memanas bisa saja dia menggoda Naraya habis-habisan.
Tak ada obrolan lagi, hanya ada suara jangkrik dari luar yang menemani. Lagi, Sakha dan Naraya merasa nyaman berdiam bersama seperti ini.
Perlahan-lahan Sakha tertidur berkat sentuhan Naraya di kepalanya. Tapi tidak dengan Naraya, perempuan itu masih terus menatap Sakha. Bibirnya tersenyum saat sadar sudah benar-benar tertidur pulas.
"Good night, Sakha. Semoga kita bisa melangkah lebih jauh."