[30 Juli 2013]
Bagi beberapa orang, sekolah adalah surga. Dan bagi sebagian lainnya, mungkin saja sekolah adalah neraka.
Bagi sebagian orang juga, sekolah adalah tempat mereka melepaskan stres dari rumah. Bertemu dengan teman, sahabat, atau bahkan kekasih yang mana semakin menambah kesan indah di masa-masa sekolah mereka.
Tapi yang pasti, bagi gadis yang kini sedang dikelilingi gadis-gadis lain seusianya, sekolah... Adalah neraka.
"Udah berapa kali sih gue bilang? Nggak usah ganjen deketin cowok gue!"
Suara gadis itu bergema di ruangan kosong yang berdebu ini. Dia mendorong-dorong kepala gadis yang ada di hadapannya dengan kasar.
"Jijik tahu gue lihat tingkah lo yang sok cantik itu!" Lanjutnya lagi masih dengan nada tinggi.
Gadis yang kepalanya masih dimainkan itu hanya menunduk dalam-dalam, tubuhnya sudah terlanjur membatu hanya untuk menepis dan melindungi dirinya sendiri.
"Gue lupa nama ni cewek, sangking nggak pentingnya. Terus daritadi diem aja! Apa jangan-jangan bisu ya lo?"
Gadis-gadis lain yang ada di ruangan itu tertawa. Gadis yang sedari tadi berbicara itu memiliki komplotan, sengaja membawa orang banyak-banyak agar dapat mengeroyoknya bersama-sama.
"Na. Ra. Ya! Dia juga deketin cowok gue!" Jawab gadis yang duduk di meja usang pada gadis yang tampak seperti ketua geng mereka.
"Naraya? Pfft! Kampungan banget!" Lagi, mereka kembali tertawa yang semakin membuat telinga Naraya berdengung. "Lagian, cewek kayak lo itu munafik tahu. Jijik gue!"
Walau tahu suaranya akan bergetar saat keluar, Naraya tetap mencoba untuk membela dirinya, "Aku... Aku nggak kenal sama dia! Dia yang---Akh!"
Tapi tampaknya Naraya salah mengambil langkah, gadis itu malah semakin marah padanya. Dengan bringas dia menarik rambut Naraya sampai gadis itu memekik kesakitan.
"Cewek nggak tahu diri lo!"
"Cewek munafik!"
"Katanya aja nggak kenal, tapi kok lo sok dekat gitu?"
Dan kemudian, suara-suara serta makian itu tidak dapat Naraya dengar. Karena... Semuanya sudah berubah menjadi hening dan gelap.
***
[3 Maret 2020]
"Naraya!"
Mungkin tenggorokan Sakha sudah kering karena sedari tadi siang memanggil nama Naraya.
Saat baru pulang dari masjid tadi, wajah Naraya tampak muram dan pucat, kemudian tanpa mengatakan apapun dia masuk ke dalam kamar dan mengunci dirinya meninggalkan Sakha dan Poppy di luar.
Sakha cemas, apalagi jarum di jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh malam dan perempuan itu masih juga belum keluar.
Beberapa kali juga terdengar oleh telinga Sakha bunyi barang-barang yang sengaja dihancurkan, dan juga suara tangisan dari dalam sana.
Alhasil Sakha yang cemas tidak beranjak satu inci pun dari pintu kamar Naraya. Untung saja Poppy mau menemaninya dengan duduk di atas pahanya, jadi Sakha tidak begitu merasa kesepian.
Tangannya yang sudah lemas itu dia paksakan untuk mengetuk pintu kamar Naraya, "Naraya... Buka pintunya. Ayo keluar..."
Kalau Sakha pikir-pikir, sepertinya Naraya itu memiliki beban hidup yang berat. Ah, Sakha tidak tahu dan tidak ingin menduga-duga. Tapi komunikasi mereka yang kurang serta satu demi satu kejanggalan-kejanggalan yang Naraya tunjukkan itu mau tak mau membuat Sakha memiliki persepsi sendiri.
Tadi juga, saat perjalanan pulang. Tangan Naraya yang Sakha genggam itu sangat dingin dan juga bergetar kecil. Dia juga selalu menunduk dan mengabaikan ucapan Sakha. Apa ibu-ibu itu membuatnya takut?
Bunyi decitan pintu membuat Sakha menoleh dengan cepat. Sakha langsung berdiri setelah menurunkan Poppy dari pahanya.
"Kamu--"
"Tolong," Naraya memotong ucapan Sakha dengan cepat, "Tolong pura-pura nggak dengar apa-apa."
Dari atas sini, Sakha hanya dapat melihat puncak kepala Naraya yang terus menunduk. Seharusnya sekarang Naraya menatapnya dengan raut wajah garang seperti biasa, tapi kenapa Naraya hanya menunjukkan puncak kepalanya pada Sakha?
Sakha membasahi bibirnya, "Aku..." Aduh, apa yang harus Sakha katakan? Dia terlalu bingung dan cemas di saat yang bersamaan. "Aku lapar." Sial! Kenapa Sakha malah bilang itu, sih?
Naraya berjongkok dan mengelus puncak kepala Poppy, "Poppy juga pasti lapar ya? Maaf ya mami di dalam terus."
Kemudian perempuan itu mendongak, "Ada yang mau kamu makan?"
Sakha semakin tidak tega melihat Naraya yang wajahnya tampak pucat. Suaranya juga terdengar tak bersemangat, seperti habis puasa berhari-hari. Sakha jadi merasa bersalah karena meminta makan disaat-saat seperti ini. Jelas sekali dia tidak tahu dirinya.
"Sakha?" Panggil Naraya lagi masih dengan suara lemah.
"Nasi goreng," Sakha pun membalas dengan lesu, "Kamu udah lama nggak masak nasi goreng."
Senyum tipis yang Sakha tahu itu dipaksakan terbit di wajah Naraya, "Katanya bosan?"
Tidak mendapat reaksi apa-apa dari Sakha, membuat Naraya mendongak menatap Sakha. Perempuan itu agak kaget karena Sakha menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca.
Naraya tidak suka. Dia merasa... Seperti dikasihani.
Sakha menjulurkan tangannya, ingin menggenggam tangan Naraya yang sedari tadi terus terkepal kuat. Dia ingin memberikan Naraya kekuatan, meski tak tahu apa masalah perempuan itu. Tapi Naraya malah menepisnya dengan kasar, membuat Sakha terdiam di tempatnya.
"Ma-maaf." Naraya terbata saat sadar apa yang telah dia lakukan, perempuan itu mundur satu langkah dengan kepala yang semakin menunduk.
Naraya tidak ingin membuat situasi yang sudah canggung ini semakin canggung. Tapi karenanya yang menepis tangan Sakha tanpa sadar, dia malah semakin membuat situasi ini menjadi dingin dan mencekik.
"Aku masakin kamu nasi goreng dulu. Tolong kasih Poppy makan, ya."
Sakha tidak menggeleng, tidak juga mengangguk. Dia hanya diam menatap punggung Naraya yang tampak lebih rapuh dari biasanya itu menjauh untuk pergi ke dapur.
Poppy mengeong, menandakan dia lapar. Sakha yang mengerti kode itu pun menggendong kucing itu untuk pergi ke dapur. Dia menuangkan makanan kering sesuai arahan Naraya tadi pagi.
Sakha yang asik menatap Poppy makan dengan lahap, dikagetkan oleh suara pisau yang terjatuh hingga menghasilkan suara kencang.
Pria itu pun berdiri dan mendekati Naraya yang menumpukan kedua tangannya di sisi luar wastafel, "Kamu nggak apa-apa?" Tanyanya dengan khawatir.
Tubuh Naraya yang bergetar hebat membuat Sakha semakin linglung. Dia mengulurkan tangannya untuk menyentuh pundak Naraya, tapi dengan cepat perempuan itu lagi-lagi menepisnya.
"Kamu kenapa?" Akhirnya pertanyaan itu keluar dari bibir Sakha. Dia tidak mengerti kenapa Naraya berusaha menghindarinya.
Naraya yang sedari tadi menunduk, kini menunjukkan sedikit wajahnya dengan menatap lurus ke depan. Dia menghindari tatapan kaget Sakha, mungkin dia kaget karena wajahnya lebih pucat daripada yang sebelumnya, juga pipi yang sudah dihiasi air mata.
"Aku..." Tenggorokannya terasa tercekat, "Aku nggak bisa masak sekarang."
Sakha maju satu langkah, tapi Naraya malah mundur selangkah.
"Jangan... Tolong biarin aku sendiri." Pintanya dengan suara lemah. Dia kembali menangis.
Sakha akhirnya tak dapat berbuat apa-apa selain menatapi Naraya yang merosot ke lantai dengan isakan kecil yang keluar dari bibirnya yang pucat.
"Naraya... Jangan begini..." Bisik Sakha. Dia tidak tahu apa yang terjadi, tapi yang dia tahu hatinya ikut sakit melihat Naraya yang juga tampak hancur dan begitu rapuh sekarang.