Ketika Naraya mengajak Sakha membeli pakaian tadi pagi, maka Sakha mengira mereka akan belanja ke sebuah pusat perbelanjaan besar atau ke toko-toko branded. Lalu kemudian memilih baju sesuai dengan keinginan dan selera Sakha.
Tapi Naraya menghancurkan ekspektasi Sakha menjadi berkeping-keping dengan mengajak pria itu berbelanja di pasar. Tempat yang kalau Sakha pikir-pikir tidak pernah dia sentuh itu tampak kotor dengan berbagai macam aroma yang menyatu menjadi bau tak sedap.
Belum lagi dengan ramainya orang-orang yang mengunjungi pasar pagi ini, benar-benar membuat Sakha tak suka.
"Naraya! Tunggu saya!" Sakha berteriak panik saat tertinggal beberapa langkah dari Naraya yang sudah berjalan di depan. Mungkin ini karena dia berjalan dengan bersungut-sungut, belum lagi badannya yang besar sulit untuk menyalip. Tidak seperti Naraya yang badannya kecil dan ramping, gampang menyelip.
Naraya memutar bola matanya malas. Lagi dan lagi Sakha tertinggal di belakangnya. Mau tak mau dia menunggu Sakha menyusul dirinya yang berhenti di tengah-tengah perjalanan.
"Kenapa dari tadi ketinggalan terus, sih?"
"Habis rame banget."
Naraya mencibir, "Itu nggak bisa dijadiin alasan."
Tapi memang benar, pasar hari ini lebih ramai daripada biasanya. Mungkin karena hari libur, pikir Naraya. Mata perempuan itu melirik Sakha yang wajahnya kusut.
"Kenapa mukanya kusut kayak baju yang belum disetrika?" Naraya bertanya dengan nada yang dibuat-buat sok garang. Dia sebenarnya tahu kalau Sakha pasti berpikir mereka setidaknya akan pergi ke toko baju, bukan pasar. Tapi ya namanya sudah dibelikan, jadi jangan banyak tingkah.
Sakha menipiskan bibirnya sambil memainkan tangan. "Enggak, kok." Elaknya.
Beberapa orang mulai menabrak tubuh Naraya dan juga Sakha karena mereka berhenti di tengah-tengah jalan yang sedang ramai-ramainya.
"Kalau mau ngobrol tuh di warung kopi! Bukan tengah jalan!" Sindir seorang bapak-bapak kepada mereka berdua.
Naraya buru-buru berjalan ke depan, takut akan ditegur orang lain lagi. Tapi Sakha menahan ujung lengan baju Naraya. Saat Naraya berbalik menatap Sakha dan hendak memarahinya, tiba-tiba emosinya menjadi surut saat melihat wajah tampan Sakha yang seperti takut kalau akan Naraya tinggalkan. "K-kenapa?"
"Nanti saya ketinggalan lagi." Ujarnya pelan.
Naraya tahu sedari awal, wajah tampan Sakha itu memang senjata paling berbahaya milik pria itu. Mungkin sebenarnya dia tahu dan memanfaatkan wajahnya untuk menyerang Naraya seperti ini?
Perempuan itu berdehem kecil dan mengerjapkan matanya dengan cepat. Sadar! Batinnya berteriak. Tapi kalau dia melepaskan tangan Sakha dari bajunya, pria itu pasti akan benar-benar hilang di tengah keramaian ini. Maka untuk sekali ini saja...
"Ya udah. Pegang tangan saya."
Tanpa berkata apa-apa, Sakha langsung menggenggam tangan Naraya. Perempuan itu berjengit kaget saat tangan besar dan hangat milik Sakha membungkus tangannya yang mendadak menjadi kecil di dalam genggaman tangan besar Sakha.
Kapan terakhir kali Naraya menyentuh tangan seorang laki-laki? Apa memang senyaman ini? Biasanya kalau dia menyentuh laki-laki sedikit saja, dia akan gemetaran dan ketakutan. Tapi kenapa kali ini hanya ada rasa nyaman disaat Sakha memegang tangannya?
"Ayo kita jalan."
Ucapan Sakha itu menyadarkan Naraya dari lamunannya. Perempuan itu mengangguk kaku dan berjalan berdampingan bersama Sakha.
Rasanya waktu menjadi lambat. Setidaknya itu yang Naraya rasakan ketika berjalan berdua bersama Sakha. Sautan orang-orang yang memanggil untuk mampir ke gerai mereka tidak lagi Naraya dengar sangking gugupnya ia sekarang.
Tangan Sakha itu rasanya berbeda. Bukan membuatnya takut atau gemetar, tapi membuatnya nyaman. Rasanya persis seperti Naraya menggenggam tangan ayahnya dulu. Besar dan hangat.
"Itu ada yang jualan baju." Ujar Sakha sambil menunjuk sebuah gerai baju pria.
"Oke, kita ke sana."
Naraya melihat-lihat sementara Sakha hanya diam saja disamping gadis itu. Andai badannya tidak tinggi, mungkin dia akan dianggap orang-orang sedang menunggu ibunya yang sedang berbelanja.
Tanpa melepaskan tautan jari mereka, Naraya mengambil salah satu baju polos berwarna hitam dan mengarahkannya pada Sakha.
"Suka nggak?"
"Saya terserah saja,"
Jawaban yang paling bisa membuat darah manusia meninggi hanya itu, 'terserah'.
Ya, apa sih yang Naraya harapkan dari cowok lempeng kayak Sakha ini? Sudahlah, dia memilih sendiri saja. Itu sudah paling tepat.
Naraya melongok kan kepalanya ke dalam gerai, mencari si pemilik toko. "Mas, ada kamar pas nggak? Mau coba bajunya."
"Oh, ada mbak. Di sebelah sini."
Naraya mendorong Sakha untuk masuk ke dalam kamar pas yang hanya ditutup dengan kain panjang. Tautan tangan mereka terlepas, dan Naraya baru menyadari kalau mereka masih berpegangan tangan.
"Ini dicoba sekalian sama celananya." Perintah Naraya dengan tangan yang menyodorkan celana pendek jins dan kaos hitam polos.
Sakha yang masih berharap untuk belanja di mall hanya menerima perintah Naraya dalam diam. Mungkin dia tidak sadar kalau bibirnya sudah tertekuk ke bawah.
Naraya tahu itu, tahu kalau suasana hati Sakha buruk karenanya. Dia tahu, kok. Tapi dia tidak ingin peduli, karena dia harus berhemat untuk menghidupi dirinya dan dua makhluk hidup lain yang tinggal di rumahnya. Ah, Poppy pasti bermain keliling RT lagi hingga tidak tampak batang hidungnya.
Disaat Naraya sedang asik memilih baju lain yang ia rasa cocok untuk Sakha kenakan, Sakha keluar dari kamar pas. Celana training hitam beserta kaos Polo jelek milik seseorang yang Naraya pinjamkan pada pria itu sudah berganti menjadi pakaian yang Naraya suruh dia coba.
Tingkat ketampanannya bertambah berkali-kali lipat, padahal cuma mengenakan baju kaos hitam dengan celana jins hitam selutut. Bahkan Naraya merasa ada cahaya yang menyinari Sakha, alias dia sangat menyilaukan sekarang.
"Bagus," komentar perempuan itu berusaha cuek. Padahal aslinya dia sudah ketar-ketir.
"Ini coba yang ini juga."
Setelah mencoba beberapa pakaian dan sudah kelelahan barulah Naraya berhenti menyuruh Sakha mencoba baju-baju itu.
Naraya tak memperdulikan tampang kelelahan Sakha dan berjalan ke arah mas-mas pemilik gerai yang sedang duduk di mejanya. Dia sudah puas melihat pria itu bolak-balik dan menjadi berkeringat karena ulahnya. Hitung-hitung ini bagian dari balas dendamnya.
"Berapa mas?" Tanya Naraya sambil meletakkan 4 buah kaos polos berbagai warna serta 3 celana pendek berbahan jins yang berbagai warna pula.
Tangan si mas memasukkan pakaian itu ke dalam kantung plastik hitam sambil menghitung belanjaan Naraya di kalkulator. "350 ribu, mbak."
Sakha melotot mendengar harga yang diucapkan pria pemilik gerai. Murah banget, batinnya berkata.
Mendengar itu, Naraya mengeluarkan senyum terbaiknya dan bersiap untuk merayu. "Kurang dong, mas. Saya kan ambil banyak."
Sakha menoleh kepada Naraya, matanya masih melotot kaget. Harga itu sudah sangat murah dan Naraya ingin meminta pengurangan harga?
"Enggak bisa, mbak. Itu aja saya dapet untungnya cuma sedikit."
"Kurang deh, mas. 300 ribu aja, ya?"
"Enggak bisa, mbak."
Naraya meletakkan kembali kantong plastik yang sudah ia pegang, wajahnya yang tadi tersenyum kini berganti menjadi datar. "Ya udah deh, mas. Nggak jadi. Yok kita pergi cari toko lain aja." Naraya menarik lengan Sakha yang masih terkaget-kaget di tempatnya.
Apa gunanya dia mencoba berbagai pakaian hingga kelelahan tadi?! Tapi mulut Sakha terkunci rapat, tidak bisa mengatakan suara hatinya. Takut adalah alasannya.
Naraya dan Sakha baru selangkah keluar dari gerai pakaian khusus pria itu. Namun tiba-tiba panggilan dari pemilik toko menghentikan langkah mereka.
"Ya udah deh, mbak. 300 ribu aja semuanya." Terdengar nada pasrah dari perkataannya.
Naraya tersenyum senang yang mana itu membuat Sakha merinding. Si pemilik toko menangkap perangkap buatannya!