"Thank you ya, Yos. Udah nganterin gue balik terus juga segala beliin gue gelang couple sama Devika," ucap Fiona.
"Ya, sama-sama, Fi. Kapan-kapan lo mampir ke rumah gue ya, ditunggu sama kakak."
Fiona hanya tersenyum. Lagi dan lagi Yoseph kembali terhipnotis. Ia berbalik badan dengan wajah jutek lalu berkata,
"Fi, lo nggak boleh senyum ke cowok lain kayak gitu ya?"
Fiona yang bingung dan hanya melongo. Apa maksudnya mengatakan hal ini? Namun, karena takut terlalu percaya diri, dia menganggap ucapan Yoseph hanyalah angin lalu.
"Gue enggak lo tawarin masuk nih?" tanya Yoseph.
"Fiona!" sapa Fandi yang tiba-tiba muncul.
"Lo dari mana? gue cariin dari tadi. Mama ngajakin lo masak-masak kayak yang waktu itu. Sekarang bisa kan?" lanjut Fandi.
"Hmm? bisa kok," sahut Fiona panik. Ia sadar bahwa Fandi menyelamatkan dirinya.
Sementara Yoseph telah pamit saat Fandi memegang tangan Fiona menuju rumahnya.
Setelah memastikan Yoseph pergi, Fiona mengelus dadanya.
"Gue lupa, yaampun! makasih banget ya Fan."
"Cakep-cakep pelupa! untung gue dateng sebelum lo terlanjur biarin Yoseph masuk. Kalau dia ketemu Fania kan bisa berabe," ujar Fandi lagi.
"Balik lo sono. Udah ditungguin orang tua lo, kasihan tuh," imbuh Fandi.
Selain karena ingin menolong Fiona, dia juga ingin hanya dirinya lah satu-satunya cowok yang tahu rahasia Fiona.
***
Fiona menarik napas panjang sebanyak tiga kali sebelum masuk ke rumah. Dia mengendap seperti maling. Wajar. Untuk pertama kalinya ia kembali ke rumah selarut ini.
Pikirnya semua orang pasti sudah tidur, terutama ayahnya. Apalagi saat dilihatnya tidak ada cahaya penerang di ruang tamu.
Saat Fiona menutup kembali pintu dengan sangat hati-hati. Namun tiba-tiba saja lampu menyala.
"A-ayah? belum tidur?" tanyanya deg-degan.
"Duduk kamu!" seru ayahnya.
"Siapa laki-laki tadi?" tanya Simon mulai menginterogasi.
"Yang mana? kalau yang nganterin Fio itu temen sekelas Fio. Terus yang ngajak Fio kesebelah tadi tuh, tetangga kita, Yah. Tapi dia juga temen sekelas Fio kok," tutur Fiona mencoba tenang. Padahal dalam tubuhnya jantung berdegup kencang karena gugup.
"Ayah baru tahu kalau kamu dikelilingi banyak laki-laki. Fio, Ayah tahu kamu tomboi tapi jangan membuat diri kamu jadi murah!" ucap Simon. Fiona terkejut mendengar pernyataan sang ayah. Bibirnya menggeram.
"Murah? ayah bilang murah? Fio nggak percaya ayah bisa bilang kayak gini sama Fio? apa Fania pernah ayah perlakuin kayak gini, nggak kan? kenapa cuma Fiona? Fio sama Fania tuh sama, Yah!"
Fiona tidak bisa menahan kekecewaannya pada ayahnya. Akhirnya kata yang dia pendam selama ini keluar juga dari mulutnya.
"Beda! Fania lebih baik dari kamu, dia nggak pernah sama sekali pulang selarut ini!" bentak Simon tidak mau kalah.
"Fania pernah! tapi ayah aja nggak tahu. Yang ayah tahu, Fania baik dan Fiona buruk. Yang ayah tahu cuma kerja, kerja, kerja dan kerja. Ayah nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi antara kami, ayah sama sekali nggak tahu apa-apa!" ujar Fiona setengah teriak hingga membuat sang ibu keluar
dari kamarnya.
"Kamu kira enak kerja melulu tiap hari? haa? kamu enak masih sekolah dan nggak pernah ngerasain kerja sama sekali! ayah seumuran kamu, sudah cari uang sendiri buat sekolah ayah. Tahu kamu!" sang ayah semakin menggeram.
"Fio, masuk kamar, nak," saran sang ibu dengan lembut.
Fiona menuju kamarnya dengan menepuk-nepuk dadanya mencoba memberi kekuatan pada dirinya. Agar amarah tidak mengusai dirinya. Dia masih tidak percaya atas perkataan kejam yang diucapkan sang ayah padanya.
Sementara Fania mendengar pintu kamar berbunyi lalu berpura-pura tertidur.
Setelah mengerjakan tugas matematika, ia bergegas menuju tempat tidurnya bahkan tanpa mengganti pakaian apalagi mandi.
"Fio seburuk itu ya, dimata ayah? apa Fio harus cari kerja juga?" lirih Fio seraya meringis meratapi dirinya.
Ringisan Fiona terdengar hingga ke telinga Fania.
"Maafin gue, Fi. Gara-gara sering nolongin gue, ayah jadi sering ngebandingin gue sama lo. Tapi lo tetap jadi orang yang paling berharga dalam hidup gue, Fi. Gue sayang banget sama lo cuma gue nggak pernah bilang aja sama lo," gumamnya pelan seraya terduduk.
"Kebiasaan banget nih anak, kalau tidur lupa pakai selimut eh kalau subuh kayak udang kedinginan," ucap Fania seraya menyelimuti saudara kembarnya. Lalu kembali tidur setelah memandangi saudari kembarnya cukup lama. Wajah yang sama, cantik yang sa ma, namun orang-orang memperlakukan dengan cara yang berbeda. Tidak bisakah orang-orang saling menghargai apa yang ada dalam diri kami saja? ─lirih Fania.
***
Keesokan harinya Fania mengajak Fiona untuk sekadar menghibur rasa sakit hatinya pada perkataan ayah semalam.
"Fi, gue bosen. Ke bioskop yuk? gue yang izin sama ayah deh," ajak Fania.
"Gratis nggak nih? lo kan nggak pernah ngasih gue cuma-cuma."
"Syaratnya cuma satu. Lo harus pakai baju yang sama kayak gue, titik!" ujar Fania.
"Ih, males banget sih Fan! yang lain ah, gue nggak mau kalau gitu," tolak Fiona.
Sang mama memasuki kamar kedua gadisnya tanpa mengetuk pintu.
"Punten, gadis-gadis cantiknya mama. Pada mau ke bioskop ya?"
"Iya, ma. Tapi Fiona nggak mau pakai dress masa. Nggak mau samaan sama Fania dia," ujar Fania memanyunkan bibir.
"Iya, iya. Terserah lo deh, tapi jangan yang kekurangan bahan ya? malu," Fiona mengalah lalu kembali setelah mengganti dress pilihan saudarinya.
"Mama jadi inget, zaman mama dulu tuh nggak ada bioskop yang ada layar tancep. Mama sama papa suka nonton bareng, mulai dari film India sampai Melayu. Tapi kalau sudah hujan, hmm udahlah. Pasti filmnya nggak habis," ucap sang ibu sambil tersenyum seolah merekam kembali kenangan yang lama.
"Papa siapa ma?" tanya Fiona.
"A-aah? oh, nggak. Maksud mama, ayah," tuturnya.
"Fioooo... Fio...." suara teriakan dari depan rumah menghentikan keheningan mereka. Fania antusias menyambut dua sahabat saudari kembarnya ─Devika dan Elea. Dia sengaja mengajak mereka berdua untuk nonton bioskop yang sama.
"Astaga! lo nggak bilang-bilang. Yaudah
cepetan! Mama, kita pamit ya," pamit Fiona terburu-buru.
"Hai ... " sapa Fiona dan Fania bersamaan.
***
Mereka begitu menikmati film bioskop malam itu. Bahkan untuk pertama kalinya, Fiona berkali-kali menitikan air mata.
"Gue pertama kalinya loh, lihat Fiona nangis. Mana berkali-kali lagi, Fan," bisik Devika pada Fania.
"Fiona tuh lembut dan baik banget aslinya. Dia cuma enggak suka pakai dress kayak gue. Ini aja tadi kalau bukan gue yang paksa dia nggak bakal pakai," tutur Fania.
"Lo berdua bisa berenti gosipin gue nggak sih? nonton noh filmnya," protes Fiona.
Setelah film usai mereka duduk di kafe sekitar bioskop untuk sekadar mengobrol.
"Gue boleh gabung kan?" tanya Yoseph tiba-tiba saja muncul di hadapan mereka. Lalu disusul oleh Fandi.
"K-kok lo?" ucap Fiona membelakakan mata.
Ekspresi yang sama dari Devika dan Elea.
"Sorry, Fi. Tadi gue lagi ngobrol sama Yoseph depan rumah. Terus dia lihat lo sama Fania dan maksa gue buat ikutin kalian. Sorry banget," jelas Fandi.
"Jadi lo kembar? dan rahasia lo sama Fandi tuh ini?" tanya Yoseph.
"Hmm," gumam Fandi.
Belum Yoseph puas menginterogasi Fiona tiba-tiba saja Firda muncul meneriaki nama Yoseph.
"Ini lagi ubur-ubur laut ngapain sih pakai muncul segala," keluh Yoseph.
Sementara Fandi segera menutupi Fiona dengan hoodie hitamnya seraya terus memegang pundaknya.
"Lo tenang aja ya, lo pasti aman kok sama gue," bisiknya mendekatkan bibir dekat telinga Fiona.
"Ini Fiona? cantik banget, tumben!" sinisnya melihat Fania.
"Emang gue cakep, baru nyadar lo?" sahut Fania sinis.
Firda berdecih tidak menyangka Fiona akan merespon setajam itu, tidak seperti saat terakhir kali mereka bertemu. Ia beralih lalu melirik sinis ke arah Fandi.
"Ini kenapa lagi si Fandi? segala nutup-nutupin tuh cewek pakai hoodie. Udah kayak lemper aja," komentar Firda nyinyir.
"Ini cewek yang gue sayang, tadi wajahnya merah-merah alergi. Dia malu jadi gue tutupin," ujar Fandi beralasan.
"Oh, cewek lo? pasti nggak secantik gue lah ya."
"Lo denger ya, Fir. Dia jauh lebih cantik dari lo luar dalem!" bentak Yoseph.
"Jangan suka ngerendahin orang, Fir. Di luar sana banyak kok yang lebih dari pada lo," sahut Fandi.
Yoseph mulai semakin muak dengan tingkah Firda yang makin hari makin menjadi-jadi.