Chereads / Venganza The Twins / Chapter 12 - Pasangan Millenial

Chapter 12 - Pasangan Millenial

Fiona dan Elea mengerjakan tugas matematika di rumah Devika.

"Akhirnya ya, ke rumah gue juga. Selama ini kan kita selalu ngerjain di rumah Fiona atau nggak rumah lo, El," tutur Devika.

Selama ini memang mereka belum pernah sama sekali berkunjung ke rumah Devika bahkan melihat orang tua atau saudaranya saja tidak pernah.

Di ruang tamu terpampang beberapa foto keluarga Devika berbaris rapi.

"Itu beneran orang tua sama kakak-kakak gue kok. Cuma emang gue kecil, beda sendiri aja," jelas Devika pada Fiona yang memperhatikan foto keluarganya.

Nampak kedua orang tuanya dan dua saudarinya lebih berisi, sangat berbeda dengan dirinya. Tak jarang, orang mengira dirinya bukan anak kandung.

"Lo pernah tanya nggak sih, lo anak kandung atau bukan?" tanya El.

"Jangankan lo, Fi. Saudara jauh papa dateng nanyain dong gue ini siapanya, gue dikira anak tetangga. Ya wajar sih, orang tua, sama saudara gue berisi semua, lah gue? ceking," imbuh Devika.

"Kakak lo udah nikah ya?" tanya El.

"Iya. Sekarang dia tinggal di Kalimantan ikut suaminya," tutur Devika.

Fiona masih tidak bersuara sama sekali sejak menginjak kaki di rumah Devika. Meski tidak secerewet Devika, namun tidak sediam saat ini. Raut wajahnya nampak muram sedari tadi.

Devika dan El saling pandang.

"Lo kenapa dari tadi diam aja sih, Fi?" tanya El.

Tiba-tiba saja Fiona menutup wajah dengan kedua tangannya. Menangis tanpa henti.

"Yaudah. Kalau lo emang lagi mau nangis, nangis aja yang puas," ujar Elea seraya terus mengusap punggung Fiona.

Hanya itu yang dapat dia lakukan. Wajar saja mereka terkejut, Fiona tidak pernah menceritakan kehidupan pribadinya pada siapapun. Dia memiliki saudari kembar saja, karena kepergok bukan karena Fiona yang berterus terang.

Setelah beberapa menit, Fiona mengusap wajahnya yang telah banjir oleh air mata.

"Gue mimpiin Fania, gue mimpi dia di kejar-kejar sama beberapa laki-laki dan akhirnya...," ujar Fiona terhenti lalu melanjutkan tangisnya lagi.

"Itu cuma bunga tidur, Fi. Lo jangan percaya gitu aja," ucap Devika berusaha menenangkan.

Tangis Fiona pecah. Ruangan itu senyap yang terdengar hanyalah suara tangis Fiona.

Tiba-tiba saja Fania muncul di hadapan mereka dengan membawa beberapa camilan.

"Gue nggak apa-apa, Fi. Itu kan cuma mimpi," ujarnya seraya menyenderkan kepala Fiona dipundaknya.

"Lo di sini?" tanya Fiona setelah mengangkat wajahnya.

"Gue izin bawa Fiona dulu ya, dia butuh buat nenangin dirinya. Nggak apa-apa kan?" izin Fania yang dijawab anggukan oleh El dan Dev.

Fania membawa Fiona ke rooftop sekolahnya. Untuk sesaat, dibiarkannya saudara kembarnya menikmati suasana sejuknya angin sore itu.

"Gue enggak kemana-mana dan enggak kenapa-kenapa," mulai Fania memecah keheningan diantara mereka.

"Siapa yang hubungin lo? dan kasih tahu tentang gue tanpa seizin gue?"

"Devika. Dia record suara lo yang nangis tadi. Mana jelek banget lagi suara lo kalau lagi nangis! Kayak macan lepas kandang," ledek Fania.

"Gue udah lama pingin ngomongin ini sama lo. Lo tahu kan kalau gue sayang banget sama lo? gue nggak mau siapapun tahu kalau kita kembar karena gue takut ada yang jahat sama lo. Banding-bandingin lo sama gue. Please, Fi. Lo tuh cantik jadi jangan pernah insecure lagi," tutur Fania.

"Lo nggak mau siapapun tahu kalau kita kembar? tapi kenapa lo ngebiarin Devika, Elea, Fandi bahkan Yoseph sampai tahu?"

"Mereka semua sayang sama lo. Gue bisa lihat itu dari matanya. Apalagi... Fandi."

"Kenapa nada lo kayak gitu waktu nyebut nama Fandi? gue nggak ada hubungan apa-apa kok sama dia," jelas Fiona.

"Ada juga nggak apa-apa kalik, Fi. Gue tahu kok lo suka sama dia."

"Nggak, ngarang banget sih!" jawab Fiona cepat.

Fania tertawa mendengar sanggahan gadis berambut cokelat tua itu.

"Lo bisa bohongin siapapun, tapi lo nggak bisa bohongin gue. Dia juga tulus kok sama lo," imbuh Fania lagi.

Fania masih membiarkan Fiona menikmati sore ini sembari saling curhat untuk melepas sejenak rasa gundah di hati.

Mereka lalu beranjak dari sana setelah cukup lama berbincang hingga Fiona juga merasa lebih baik dari sebelumnya.

***

Saat malam hari tiba, Fandi berkunjung ke rumah Fiona sembari membawa beberapa potong brownies panggang cokelat buatan sang ibunda.

"Fi, main game bareng yuk!" bisik Fandi pada Fiona.

"Wait!" ujar Fiona berlari mengambil ponsel lalu mengajak Fandi menuju teras belakang rumah.

Mereka bermain bersama dengan asyik. Saling melupakan fakta bagaimana perasaan masing-masing dari mereka.

tiga puluh menit kemudian, muncul Fania membawa beberapa camilan untuk mereka.

"Kenapa lo, Fan? mengsedih amat tuh muka," tanya Fiona.

"Berhenti main game itu dong. Kasihan banget nanti mati kalau habis ditembak," pintanya.

"Lo gila apa gimana sih, Fan? ini cuma game! lebay amat," sindir Fiona.

"Nggak apa-apa yang penting gue kalau punya perasaan sama orang nggak suka disembunyiin kayak lo sekarang!" timpal Fania lalu berlari meninggalkan mereka berdua.

Degh!

Bagaimana bisa dia mengatakan hal itu di sini, di tempat ini? di saat ada Fandi, astaga!

"Fania nggak kira-kira amat sih, astaga. Gimana kalau Fandi curiga kalau gue suka sama dia. Gue cosplay jadi burung hantu aja boleh nggak sih?" gumam Fiona sangat pelan.

Fandi terheran melihat Fiona.

"Maksud Fania tadi-" belum selesai Fandi berkata Fiona langsung memangkas.

"A-aah, anu maksud Fania tuh gini. E-emm kalau misalnya dapat duit kayak uang kaget gitu dia pingin beli segudang camilan, gitu," ujar Fiona berasalan. Fandi berdecih.

"Lo lucu juga ya, Fi!" imbuh nya tersenyum lebar.

Mereka menghentikan game sejak Fania mengacaukan. Hanya membicarakan hal-hal random yang sebenarnya tidak begitu penting.

"Fi, lo lusa ikut kamping kan?" tanya Fandi sebelum berpamitan.

"Kalau diizinin gue pasti ikut kok," sahut Fiona.

***

Beberapa hari kemudian...

Para siswa telah siap menunggu di sekolah lengkap dengan tas ranselnya. Sementara di depan gerbang sekolah telah tersedia sebuah bus untuk membawa mereka semua menuju tempat perkemahan.

Dari kejauhan nampak mobil taksi yang berhenti di depan gerbang sekolah.

Dari sana keluarlah Fiona dan Fandi

bersamaan layaknya pasangan milenial tahun ini.

Mereka terlihat akrab bahkan sesekali saling pandang dan tertawa layaknya film romansa seperti di televisi. Fiona melambaikan tangan pada kedua sahabatnya yang sedari tadi telah memperhatikan mereka dari jauh.

"Lo berdua pacaran ya?" to the point Elea, padahal Fiona dan Fandi belum satu menit berdiri di depan mereka.

"Nggak," singkat Fiona menyanggah.

"Bilang iya kek, Fi," canda Fandi.

Tidak jauh dari mereka ada Yoseph yang berbalik arah tidak jadi ikut nimbrung.

"Yoseph!" teriak Fiona yang terlanjur melihat Yoseph.

"Hai," sapa Yoseph menghampiri.

"Bisa juga lo kelihatan ganteng ya?" puji Fiona bergurau.

Yoseph nampak gagu salah tingkah.

"Pipi lo merah, Yos. Salting ya?" tanya Elea menunjuk pipi Yoseph yang tersipu malu.

Yoseph mendelik tajam seolah memberi kode pada Elea jangan berkata yang tidak-tidak.

***

Masing-masing siswa telah menduduki tiap ruang bus yang kosong. Fiona nampak bahagia di sisi Fandi, di seberang mereka ada Elea dan Devika yang terus memperhatikan.

"Lo kenapa, Dev?" tanya Elea pada Devika yang nampak tidak bersemangat.

"Nggak kok, nggak apa-apa. Aman," jawabnya meyakinkan.

Selama perjalanan para siswa bernyanyi riang. Bahkan ada seorang siswa yang dengan sengaja membawa microphone dan speaker membuat suasana bus kian heboh. Para guru hanya menatap sembari tersenyum tanpa ada kata protes sedikitpun dari keduanya.

"Nyanyi lah, Fi. Suara lo kan merdu saking merdunya kayak bisa mengusir burung-burung yang hinggap di pepohonan," gurau Fandi.

"Asem! lo lagi muji atau ngehina gue sih, Fan?" keluh Fiona seraya menatap kesal.

"Kalau bisa dua kenapa harus satu sih? ha ha ha," kata Fandi tertawa lepas.

Kali ini mereka kamping bukan karena pramuka. Namun karena janji wali kelas jika ada lima orang siswa saja yang mendapat nilai 90 dari kuis matematika. Dan mereka berhasil.

Berbeda dengan siswa lain, Fiona begitu menikmati setiap pemandangan yang mereka lewati.

"Lo suka travelling nggak, Fi?" tanya Fandi memperhatikan Fiona yang sejak tadi melihat keluar jendela bus.

"Suka sih. Tapi sering nggak boleh sama ayah," tuturnya.