Ibu mertua Adelia menghampiri Nathan yang begitu setia duduk menemani Adelia yang masih belum sadarkan diri.
Ibunya banyak berharap saat Nathan mengatakan jika istrinya sempat muntah-muntah tadi pagi.
"Bagaimana keadaannya? Apa yang dokter katakan?" tanya ibunya setelah meletakkan parsel buah di atas nakas samping ranjang pasien Adelia.
Nathan mendongak dengan tatapan mata sendu membuat ibunya mengernyitkan dahinya bingung.
"Kenapa kamu terlihat sedih? Memangnya Adelia kenapa? Dia hamil 'kan Nathan?" ucapan ibunya justru membuat Nathan terkejut, dari mana ibunya bisa menafsirkan jika Adelia hamil.
"Maksud Mama apa? Adelia hamil?" Nathan malah bertanya karena tidak mengerti tentang ucapan ibunya yang mengatakan jika Adelia hamil, padahal baik dia maupun Adelia tidak pernah sekalipun membicarakan soal anak untuk beberapa waktu kebelakang, mereka berdua menjalani kehidupan rumah tangganya dengan bahagia.
"Bukankah kamu sendiri yang mengatakan jika tadi pagi Adelia muntah-muntah?" tanya ibunya sedikit sewot karena dirinya pikir jika anaknya tersebut tidak peka dengan keadaan istrinya.
"Iya memang benar Adelia muntah-muntah tadi pagi, lalu salahnya di mana?" tanya Nathan dengan sedikit bingung.
"Itu gejala hamil, Nathan." Ibunya gemas sendiri karena kepolosan anaknya.
Nathan terperanjat kaget mendengar ibunya menyimpulkan sendiri keadaan Adelia.
"Adelia belum hamil Ma, dirinya mengalami muntah-muntah karena asam lambungnya naik dan tensi darahnya rendah juga terlalu stress yang membuat kondisinya drop, itu yang dokter sampaikan pada Nathan bahkan tadi pagi Adelia juga bicara kemungkinan asam lambungnya kambuh, bukan bicara jika dia hamil," tutur Nathan sukses membuat ibunya menahan kesal karena ternyata tebakan salah dan harapannya harus pupus.
"Jadi wanita ini tidak hamil? Mama fikir dia hamil ternyata penyakitan," sinis ibunya.
"Maksud Mama apa mengatakan jika Adelia penyakitan?" Nathan tidak terima ketika istrinya dihina bahkan oleh ibunya sendiri.
"Iya, dia pasti penyakitan makanya sudah tiga tahun lebih kalian menikah, tapi dia masih belum juga hamil. Padahal anak teman Mama yang beberapa bulan lalu baru menikah sekarang dia sedang hamil, sedangkan Adelia? Sudah tiga tahun Nathan, tiga tahun dirinya belum juga hamil!" ucap ibunya menekan kata tiga tahun dan memperagakannya dengan jari.
"Ma, Mama tidak boleh berbicara seperti itu pada Adelia, mengatakan jika dia penyakitan. Dia sehat Ma, hanya saja kondisinya saat ini memang sedang drop," sanggah Nathan masih berusaha menjaga kesopanannya pada sang ibu.
"Jika dia sehat harusnya dia sudah hamil sejak lama, ini pasti karena rahimnya bermasalah makanya dia belum memberikan Mama cucu. Daripada kamu tidak mempunyai keturunan lebih baik kamu menikah lagi dengan wanita yang benar-benar sehat, Nathan!" ujar ibunya menekan setiap kalimat yang membuat Nathan menganga tidak percaya jika ibunya bisa bicara jahat seperti itu.
"Mama tega berucap seperti itu, Mama tahu sendiri jika Nathan sangat mencintai Adelia jangankan mengkhianatinya berpikir untuk melakukannya saja tidak pernah ada dalam pikiran Nathan, Ma. Apa karena ini Adelia mengalami stress hingga keadaannya drop? Sebab Nathan perhatian Adelia sering melamun dan terlihat sedih." Nathan curiga jika inilah penyebab istrinya sering melamun, menangis saat tengah malam tapi Adelia tidak pernah mau bercerita karena mungkin wanita itu merasa tidak enak hati pada Nathan.
"Oh, jadi perempuan itu mengadu padamu?" sinis ibunya.
"Jadi benar? Ma, Adelia tidak pernah sekalipun bercerita tentang perlakuan Mama seperti ini, bahkan dirinya tidak mau bercerita ketika Nathan bertanya padanya." Nathan menahan emosi terhadap ibunya sendiri yang tega melukai hati wanita yang dia cintai.
"Ceraikan saja dia! Toh wanita ini juga tidak bisa memberikan cucu padaku," ujar ibunya yang mana membuat emosi Nathan semakin meluap.
"Mama jangan berkata hal yang tidak-tidak, jangankan menceraikan Adelia jauh darinya saja Nathan tersiksa." Nathan mendebat ibunya untuk pertama kali selama hidupnya.
Selama ini Nathan selalu menuruti apa yang ibunya perintahkan tapi untuk yang satu ini dirinya tidak akan pernah mau menurutinya.
"Baiklah jika kamu tidak ingin bercerai dengannya, minimal kamu madu saja dia dengan Marissa wanita yang tadi pagi Mama ajak ke rumah, Mama yakin jika kamu menikah dengan Marissa pasti kalian akan segera mempunyai anak dan memberikan mama cucu," ucap ibunya sambil berdiri hendak pulang karena ternyata berita bahagia yang dia bayangkan tidak didapatkannya.
"Pikirkan ucapan Mama, Nathan!" Ibunya menepuk bahu Nathan sebelum pergi.
Nathan menjambak rambutnya frustasi dengan perkataan ibunya yang memberikan ide gila menyuruhnya untuk menceraikan Adelia, bahkan dengan teganya ia menyuruh menikah lagi jika tidak ingin menceraikan istrinya sementara dia begitu mencintai Adelia.
Memang mereka juga menginginkan hal yang sama seperti ibunya tapi jika tuhan belum memberikan mereka kepercayaan lalu mereka bisa apa?
Tangan Adelia yang ada di genggaman Nathan bergerak kecil, perlahan kelopak mata wanita itu terbuka membuat senyum Nathan terbit.
"Sayang, kamu butuh sesuatu?" tanya Nathan yang dijawab gelengan kepala oleh istrinya.
Nathan memencet tombol yang ada di sebelah brankar Adelia, tak lama dokter dan perawat masuk untuk memeriksa keadaan istrinya.
"Keadaan Nyonya masih lemah dan masih memerlukan istirahat yang cukup, saran saya lebih baik Nyonya dirawat untuk beberapa hari kedepan," ujar dokter setelah memeriksa Adelia.
Setelah dokter dan perawat keluar, Nathan membelai wajah sayu istrinya.
"Apa yang membebanimu hingga membuatmu stress dan berakhir kondisimu drop?" Natahan bertanya dengan lembut tapi Adelia masih saja bungkam.
Dirinya sudah sadar sejak mertuanya datang, tapi dia tetap memejamkan matanya karena ingin mendengar apa yang dibicarakan oleh mertuanya tersebut.
Perasaan Adelia bercampur antara terharu dan juga sedih, dirinya merasa begitu dicintai ketika Nathan membelanya di hadapan mertuanya meski Adelia sedang tidur, sementara di sisi lain hatinya terluka ketika mendengar mertuanya menyuruh suaminya untuk menikah lagi karena mereka masih belum di karuniai seorang anak.
Bukannya Adelia menunda atau tidak ingin, hanya saja mereka masih belum di beri kepercayaan dari sang pencipta.
Perlahan bulir bening yang sejak tadi menggenang di kelopak mata Adelia akhirnya luruh saat wanita tersebut memejamkan matanya. Nathan dengan lembut mengusap air mata istrinya, dirinya tidak menyangka jika sang istri memendam beban seberat itu karena tidak ingin bercerita kepadanya.
"Aku sudah tahu kenapa kamu tidak ingin menceritakan apa yang menjadi beban pikiranmu, kenapa harus kamu tutupi jika itu membuat hatimu sakit dan terluka? Biar bagaimanapun kamu adalah istriku," ucap Nathan yang mana malah membuat tangis Adelia pecah.
Wanita itu sesenggukan di pelukan suaminya, Nathan bahkan ikut berkaca-kaca mendengar suara tangisan istrinya.
"Jangan pernah menyembunyikan apapun lagi dariku, mengerti!" Adelia tak menjawab, wanita itu hanya semakin mengeratkan pelukannya.
"Tapi dia ibumu, Mas," ujarnya di sela isakannya.
"Iya, dia memang ibuku, tapi kamu juga istriku. Jadi jangan pernah sekalipun kamu menyembunyikan sesuatu yang membebani mu, hmm?" Nathan mengecup singkat puncak kepala istrinya.
Adelia mengangguk dalam dekapan hangat suaminya, meskipun dirinya tidak yakin akan seperti apa rumah tangga mereka kedepannya jika sang ibu mertua terus saja merecoki keharmonisan yang mereka ciptakan selama menjalani pernikahan.
Karena masih lemas dan pengaruh obat Adelia kembali tertidur setelah lelah menangis, bahkan dirinya tertidur dalam dekapan hangat suaminya.
Nathan mencium seluruh wajah istrinya, dirinya merebahkan kepalanya di sisi ranjang Adelia karena tak ingin berjauhan dari istrinya kecuali saat bekerja. Tak butuh waktu lama Nathan terlelap karena efek lelah meskipun dirinya tidak masuk kantor.