"Suatu saat nanti tak lama lagi, bumi ini akan meledak hancur tak tersisa. Aku berharap tak satu pun dari kita yang masih hidup untuk menyaksikannya." Dad mengelus rambutku seraya mengecup dahiku lembut. "Kita hidup di penghujung zaman, sebuah akhir dari bumi ini yang sudah renta. Dan aku yakin, usianya tak lama lagi."
"Lalu, apa kita semua akan mati?" tanyaku pada saat itu yang berusia tujuh tahun.
Dad menatapku dengan sedikit berkaca-kaca lalu mengangguk lemah.
***
Mati.
Satu kata yang terus menghantuiku sejak saat itu, kata itu juga yang paling tepat untuk menggambarkan suasana di kota ini. Tidak ada lagi kehidupan seperti dulu yang ramai, bising dan sesak. Di mana pada saat itu, sepertinya keadaannya jauh lebih baik dari sekarang. Katanya, bumi ini begitu aman untuk ditinggali. Entahlah, aku juga tidak tahu kehidupan dulu seperti apa, aku hanya pernah mendengar ceritanya dari orang-orang di koloni tempat tinggalku dulu. Sekarang mereka semua juga sudah mati. Hanya aku yang tersisa dan masih hidup. Berusaha bertahan di dunia yang benar-benar sudah tak layak untuk ditinggali dan juga berbahaya.
Namaku Evan. Aku terlahir 21 tahun yang lalu, tepat seratus tahun setelah perang dunia ketiga berakhir. Jujur saja, ini bukan waktu yang tepat untuk memulai sebuah fase kehidupan. Karena sekarang, semua ramalan dan kekacauan yang dulu sudah pernah diramalkan oleh orang-orang yang taat, sedang terjadi saat ini. Karena itulah, sudah menjadi sebuah rahasia umum bahwa tak lama lagi dunia ini akan berakhir. Tak ada yang tahu berapa lama lagi bumi ini masih bisa dihuni oleh makhluk hidup.
Peperangan nuklir antar Negara yang berlangsung hanya selama dua hari tidak meninggalkan apapun selain kehancuran.
Sayang sekali, satu-satunya hal baik yang tersisa dari dunia terdahulu hanya cuaca cerah seperti pagi ini. Meskipun begitu, sepi yang menyelimuti kota ini tetap saja membuat suasananya begitu mencekam. Sepanjang mataku memandang, mobil berkarat yang parkir sembarang memenuhi jalanan yang akan kulalui, bahkan beberapa di antaranya sudah tertutup dimakan tanaman rambat. Gedung pencakar langit yang bentuknya sudah tak karuan berhasil menggambarkan kengerian dari hasil ledakan nuklir yang begitu hebatnya. Aku selalu bergidik membayangkan sebesar apa ledakannya hingga bisa membuat baja-baja itu meleleh sampai ke jalan.
Semua orang yang kukenal sudah mati lima tahun yang lalu. Koloni tempatku tinggal dibumihanguskan oleh kultus pemuja iblis. Kau tahu? Ketika semua Negara sudah hilang dan hancur, kultus semacam ini banyak muncul ke permukaan. Selalu saja ada orang-orang gila yang haus akan kekuasaan. Dan orang-orang gila yang menghancurkan koloni tempatku tinggal adalah salah satu dari koloni yang paling berbahaya.
Koloni yang sedang aku cari keberadaannya untuk membalaskan dendamku.
Semenjak hancurnya tempat tinggalku, aku berusaha bertahan hidup di jalanan sambil mencari koloni lain yang bisa kutinggali. Tapi selama aku mencari, aku belum menemukan koloni yang dihuni oleh orang-orang yang waras. Kebanyakan dari mereka sangat berbahaya, kalau bukan pemuja iblis, bisa dipastikan mereka adalah kanibal. Dan aku belum ada rencana untuk ikut gabung dengan salah satu dari mereka.
"Sudah hampir satu minggu aku berjalan tapi belum menemukan tempat singgah," gumamku sambil duduk kelelahan di bawah rimbunnya pohon ek yang menjulang besar di sisi trotoar. "Sepertinya aku harus bermalam di atas pohon lagi."
Aku memang sering berbicara dengan diriku sendiri, ini merupakan kebiasaan yang biasa kulakukan untuk tetap mempertahankan kewarasan otakku. Bertahan di dunia yang tak lagi ramah mengharuskanku untuk bisa berpikir dengan sehat.
Sunyi. Angin pun seolah berhenti. Aku melambatkan langkah dan meraih parang yang kuselipkan di belakang punggungku. Instingku sudah terlatih begitu tajam hingga menjadi waspada setiap saat adalah sebuah keharusan agar aku bertahan di dunia ini. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling, mencoba menangkap setiap gerakan dan suara sekecil apapun.
"Kawk! Kawk! …"
Tiba-tiba kumpulan burung gagak terbang berhamburan dari pohon yang ranggas tidak jauh dari tempatku beristirahat.
Dengan sigap aku bergeser bersembunyi ke belakang sebuah mobil di samping kiriku sambil menggenggam erat parang dengan tanganku. Bersiap akan hal yang tak terduga. Percayalah, di masa hidupku saat ini, hal yang tak terduga itu bisa ada lebih dari seratus macam. Mulai dari badai pasir, komplotan orang jahat, gempa bumi, gunung meletus, bahkan sampai hujan meteor. Seperti yang kubilang tadi, keadaan di bumi tempatku tinggal ini sudah tak layak huni.
Aku berusaha mencari tahu penyebab berhamburannya burung-burung tersebut, aku mengintip perlahan dari balik sebuah mobil tua yang sudah dipenuhi lumut,
Hening ...
Aku tidak mendengar apapun selain suara memburu dari napas yang keluar melalui masker militer yang kukenakan. Banyaknya mobil yang terbengkalai dan tanaman liar yang tumbuh setinggi pinggang orang dewasa benar-benar membuatku tidak nyaman, apa pun bisa bersembunyi di balik itu semua. Aku terpaksa melalui jalan ini karena ini satu-satunya jalan yang terpapar sinar matahari secara langsung. Hal ini membuat situasi perjalananku sedikit lebih aman. Iya, sedikit. Karena seringnya, perjalananku memang tidak begitu aman.
Sudah sekitar sepuluh menit berlalu, aku masih diam mengamati situasi sekitar. Aku tidak beranjak, karena aku yakin ada sesuatu yang menakuti burung-burung tersebut. Tidak bereaksi sampai tahu apa yang ada di sana adalah hal paling logis yang bisa kulakukan saat ini. Aku mengLeo napas panjang, berusaha menenangkan jantungku yang berdebar tak karuan. Sambil menyenderkan punggungku pada balik mobil ini, aku melepaskan ransel yang kukenakan dan meletakkannya di sampingku.
Tak lama, aku melihat di ekor mataku ilalang liar bergerak perlahan dengan teratur. Menandakan sesuatu bergerak dengan sangat hati-hati di dekatnya. Aku menelan ludah dan menahan napas, dengan tangan yang sedikit gemetar aku berusaha meraih parang yang kuletakkan di samping tempatku duduk. Aku menyesal, kenapa tadi aku menyimpannya terlalu jauh dari jangkauan tanganku. Di saat seperti ini, suara sekecil apa pun bisa membuatku terjerumus dalam situasi yang berbahaya dalam seketika.
Benar saja, saat tidak sengaja suara logam parangku beradu dengan aspal …
"GRROOOWWLLL!!" Tiba-tiba seekor makhluk hitam mengaum menerjangku dengan dua cakarnya yang besar!
Untungnya aku masih bisa bergerak lebih cepat darinya, aku berguling ke sisi kananku untuk berdiri waspada. Kini, aku melihat sosok yang kuhadapi dengan jelas, anjing— bukan, itu serigala. Tubuh hitamnya berukuran dua kali lipat dari ukuran serigala biasa. Ia menderum, memamerkan giginya yang semuanya runcing dengan liurnya yang menetes berlebihan. Ia menatapku penuh amarah dengan matanya yang berwarna merah pekat.
"Si ... siaal! Hampir saja …" Aku bersiap melawan monster ini dengan detak jantung yang kini meningkat tiga kali lipat lebih cepat.
Asal kalian tahu, setelah perang nuklir banyak hal yang berubah. Binatang ini salah satunya, efek jangka panjang dari radiasi nuklir membuat ukuran tubuhnya menjadi lebih besar, belum lagi dengan madness effect yang menjangkiti hampir semua makhluk hidup membuatnya selalu lapar dan berkali lipat lebih berbahaya.
Seolah menikmati setiap waktunya, serigala itu berjalan dengan perlahan, kukunya yang entah setajam apa mengeluarkan bunyi kasar setiap dia melangkahkan kakinya di atas aspal ini.
Aku bergerak menyerang, menerjang dengan parang yang kutebas ke arahnya. "Mati kau! Pergii!!"
Serigala itu melompat mundur menghindari parangku yang cukup panjang. Seranganku tadi membuatnya menggeram marah. Sejurus kemudian, dengan kecepatan penuh serigala itu kembali menyerbu ke arahku. Aku yang lengah terpaksa harus merelakan tubuhku ditabrak oleh serigala itu. Parang yang kugenggam terlempar ke belakang, ia mengempaskan tubuhku dengan kasar. Aku terjatuh terlentang dengan posisi serigala itu berdiri di atas dadaku. Bisa kurasakan kukunya yang tajam berusaha menembus plat kulit yang melindungi dadaku.
Sekarang, serigala itu mendekatkan moncongnya ke wajahku dengan perlahan, memamerkan taring dengan liurnya yang kental menetes di dahiku. Seolah menantangku, ia melolong dengan suara keras yang melengking. Sementara aku sedang kewalahan berusaha mendorong tubuh berbulunya yang beratnya bukan main.
Sebenarnya aku sudah capek. Aku ingin pasrah saja dengan keadaan semacam ini, membiarkan taringnya mengoyak tubuhku menjadi bagian-bagian kecil lalu berakhirlah hidupku. Tapi lagi-lagi aku masih melawan. Semangat untuk bisa tetap bertahan hidup dan melawan maut selalu tiba-tiba datang di saat terakhir seperti saat ini. Padahal tidak ada yang bisa diharapkan lagi hidup di tengah dunia yang kacau ini.
Jadi aku bersiap, aku tidak lagi mendorong tubuhnya, lalu mengendurkan tanganku. Sepertinya aku sudah memutuskan hidupku berakhir sampai sini saja. Kalau dipikir-pikir, mati diterkam serigala terdengar lebih keren daripada mati dimakan kanibal kan?
***