Koloni ini terletak di sebuah gedung tua yang sepertinya adalah bekas dari perpustakaan. Bisa kulihat banyak buku-buku yang hancur berserakan sepanjang pintu masuk hingga ruang tengah kini ku berdiri. Cahaya matahari menembus masuk dari beberapa lubang di atapnya yang sudah tak utuh di beberapa bagian.
"Tunggu sebentar di sini." Perintah Ell seraya meninggalkanku.
Aku mengangguk sambil memperhatikan keadaan sekitar, anak remaja yang tadi membukakan pintu masih terus melihatku lekat-lekat dari kejauhan dengan beberapa teman sebayanya. Aku melepas ranselku yang cukup berat dan duduk di salah satu kursi kayu yang sebagian badannya sudah hancur dimakan api.
Untuk ukuran sebuah koloni, bisa dibilang koloni satu ini sepertinya bukan koloni besar seperti tempat tinggalku dulu. Mengingat tempatnya yang tersembunyi, sepertinya mereka sengaja tidak menerima terlalu banyak orang asing untuk bergabung dengan mereka. Tempat ini terlalu— sepi.
Tak lama kemudian Ell datang dengan beberapa orang yang kuanggap adalah tetua dari tempat ini, satu orang nenek dan dua orang wanita dewasa. Aku berdiri dari dudukku untuk menyambut mereka.
"Selamat datang di Alexandria!" sahut nenek itu membuka percakapan sambil merentangkan kedua tangannya lebar=lebar. Aku bingung apa aku harus memeluknya atau bagaimana.
"Te— terima kasih," jawabku gugup. "Namaku Evan, Ell tadi menolongku di tengah perjalanan."
"Iya, dia sudah bercerita singkat barusan." Nenek itu lalu duduk di kursi yang baru saja ditarik oleh seorang wanita yang berbadan besar. "Aku Abby pemimpin di tempat ini. Tolong jangan sungkan selama kau berada di sini, anggaplah seperti tempat tinggalmu sendiri. Ell sudah meyakinkan kami, kalau kamu bukan orang yang ja—" Abby terbatuk cukup lama sebelum meneruskan kalimatnya, "—hat. Jahat. Kalau kau berani berbuat jahat pun, Leo di sini yang akan menanganimu dengan cepat."
Wanita yang di tunjuk Abby menganggukkan kepalanya tanda setuju, badannya besar hampir-hampir seperti lelaki yang berotot, kedua lengan tangannya dipenuhi dengan bekas luka bakar dan jahitan yang terlihat sudah lama. Rambutnya di potong French crop menambahkan aksen kuat bahwa sepertinya titan ini, eh maksudku wanita ini mungkin semacam militer di tempat ini. Membayangkan kepalaku dijitaknya saja sudah membuat keringat dinginku muncul.
Aku hanya tersenyum canggung. "Ha— hai ..."
"Aku Gea, mungkin Ell sudah sedikit bercerita— aku yang merawatnya dari kecil." Ujar wanita yang satunya lagi, dia tampak lebih bersahabat dan terlihat lebih seperti wanita sungguhan. "Evan, ada beberapa hal yang ingin kami tanyakan padamu." Tambahnya dengan serius.
Aku mengangguk, meskipun aku tidak yakin apa yang akan ditanyakannya padaku.
"Apa yang kamu ketahui tentang bendera merah berbintang enam?" tanya Gea.
"Aku tidak tahu apapun selain mengetahui bahwa merekalah yang bertanggung jawab atas terbunuhnya keluarga dan teman-temanku."
"Jadi sepertinya kau pun tidak tahu apapun mengenai pemimpinnya?" tanyanya lagi.
Aku menggeleng.
"Terakhir, apa yang kamu tahu tentang satu berbanding lima puluh?"
Aku mengernyitkan alisku tidak mengerti. "Aku juga tidak tahu apapun tentang itu." aku melirik ke arah Ell yang hanya memandangku diam dari pojokan.
"Sepertinya banyak hal yang akan kita bicarakan malam ini anak muda, Ell— tolong antarkan dia ke kamarnya. Biarkan dia beristirahat sejenak sebelum kita berbincang lagi." Ujar Abby menutup percakapan, setiap dia berbicara aku khawatir dia akan kehabisan napasnya dan mati tiba-tiba. Karena dulu, di koloniku ada seseorang yang sama tua dengannya. Namanya Old Ben. Dia langganan tempatku mencukur rambut, sayangnya— dia mati seketika ketika sedang mengobrol seperti ini. Semoga kau beristirahat dengan tenang Ben.
Ell membantu dengan menggendong ranselku dan memberi isyarat padaku untuk mengikutinya, aku menurut saja. Kami berjalan menyusuri koridor panjang yang di kedua sisinya dipenuhi dengan pintu-pintu bernomor, aku tidak tahu apakah di dalamnya ada penghuninya atau hanya ruangan kosong. Ell seolah menjadi orang yang berbeda selama di dalam sini, dia lebih banyak diam dan tak banyak berbicara seperti sebelumnya.
"Hei, boleh aku bertanya sesuatu?" tanyaku memecah keheningan.
"Nanti saja, sekarang istirahatlah dulu," Ell berhenti di depan sebuah pintu bernomor 91. "Ini kamarmu, jangan lupa untuk mengunci kamarnya setiap saat. Aku akan kembali menjemputmu beberapa jam lagi ketika makan malam tiba— untuk sementara, ganjal perutmu dengan ini." Ia menyerahkan ranselku sambil memberikan dua buah apel yang terlihat sangat lezat.
"Thanks." Jawabku singkat sambil menutup pintu.
"Jangan lupa kunci pintunya, Evan." Tambah Ell dari balik pintu sambil berlalu.
Kamar ini bisa dibilang cukup nyaman, sebuah kasur berukuran sedang dibungkus dengan seprai putih yang terlihat sangat halus. Di sudut kamar ada meja yang dihiasi dengan ornamen antik, lalu di atasnya ada lilin merah yang menyala, membuat suasana kamar ini sedikit lebih romantis.
Aku melemparkan tubuhku ke atas kasur yang sudah menungguku, sesuai ekspektasi— badanku terasa seperti tidur di atas awan. Jujur saja, aku cukup terkesan dengan kamar ini, aku tidak menyangka kalau aku masih bisa beristirahat pada tempat yang nyaman dan rapi seperti ini.
Sambil menggigit apel yang Ell berikan, aku banyak berpikir dan segudang pertanyaan melintas di pikiranku. Mulai dari perkataan Ell di gerbang tadi, sikapnya yang berbeda, sampai pertanyaan dari Abby dan Gea. Aku tak dapat menjawab satu pun pertanyaan-pertanyaan tadi dan berakhir tertidur lelap.
***
"Hei! hei! Jangan mengintip!" Sebuah suara di luar kamar membangunkanku dari tidurku. Sesaat kemudian aku mendengar suara cekikikan tawa dari beberapa anak perempuan sambil berlarian.
Aku duduk di kasur, berusaha mengumpulkan kesadaranku yang masih belum sepenuhnya kembali. Entah berapa lama aku tertidur, tapi rasa sakit di punggungku terasa lebih baik dan tidak sengilu tadi. Mungkin efek tidur di kasur yang empuk meregenerasi tubuhku dengan lebih cepat.
Pintu diketuk, aku berdiri lalu mengintip dari balik lubang pintu, ternyata Ell yang berdiri di balik sana. "Waktunya makan malam." Ujarnya.
Aku membuka pintu, "Aku ingin buang air kecil, di mana toiletnya?"
Ell memberi isyarat dengan kepalanya untuk mengikutinya. Setelah berjalan sebentar dan belok kiri, aku tiba di ujung koridor, Ell menunjuk pintu di pojokan dengan simbol toilet di depannya. "Kalau kau sudah selesai, ikuti saja lorong ini dan turuni tangga. Nanti kau akan sampai di ruangan utama, di sana kita akan makan malam lalu berbincang."
"Oke," jawabku singkat.
"Jangan terlalu lama. Banyak orang yang sudah menunggumu." Tambahnya.
Aku mengangguk lalu menutup pintu di belakangku dan segera mencuci mukaku yang terlihat lelah. Sudah lama sepertinya aku tidak berkaca seperti saat ini. Ternyata rambutku yang coklat sudah cukup panjang juga. Aku teringat sudah hampir enam bulan yang lalu aku mencukurnya habis. Semenjak Old Ben mati, aku jadi mencukur rambutku sendiri dan aku tidak bisa mencukur gaya lain selain cepak.
Ketika aku sedang buang air kecil, aku dikejutkan dengan pintu toilet yang terbuka dengan perlahan di belakangku, aku menoleh dan di sana aku melihat seorang wanita berdiri sambil memperhatikanku dalam-dalam. Ia lalu mengacungkan tangan ke depan mulutnya, mengisyaratkan untuk tak bersuara padaku.
Aku menelan ludah yang terasa sangat berat, seketika butiran keringat memenuhi dahiku. Siapa wanita ini, apa dia tidak tahu kalau aku sedang menggunakan toilet ini?
***