"Kalau kita berangkat sekarang, kita bisa sampai di koloniku sebelum matahari terbenam, letaknya sekitar setengah jam berjalan kaki dari sini ke arah utara." Ell menunjuk jalan di belakangku.
Aku yang baru saja selesai bersiap-siap, segera ikut bergegas bersamanya untuk pergi menuju koloni tempatnya tinggal, kuharap dia dan koloninya bukan orang jahat. "Kenapa kamu mengundangku ke sana? Selama ini kukira tidak ada yang berani mengundang orang asing untuk datang ke tempat tinggal mereka."
"Aku memerlukan sesuatu darimu, bukan hanya aku sih, tapi koloniku membutuhkan bantuan, dan semoga kamu bisa membantu kami, anggap saja bayaran atas pertolonganku barusan." Ujar Ell tanpa menoleh ke arahku.
"Selama aku bisa membantu sih tidak masalah, Cuma jangan terlalu banyak berekspektasi denganku, nanti kamu kecewa."
"Tenang saja Evan, aku sudah terbiasa dengan kekecewaan yang terjadi hampir setiap hari dengan hidupku," Jawabnya sambil tertawa. "Ceritakan sedikit tentangmu, perjalanan kita cukup jauh."
"Hidupku tidak menarik." Timpalku malas.
"Kalau begitu aku yang mulai duluan, ok?" ujarnya meminta persetujuanku "Dari kecil, aku sudah tinggal di koloni tanpa mengenal siapa keluargaku. Aku hidup dibesarkan dan dididik oleh keluarga angkatku hingga sekarang. Tidak ada yang tahu di mana keberadaan orang tuaku."
Aku cukup terkejut mendengar perkataan Ell, bukan apa-apa—aku dan dia baru betemu beberapa menit yang lalu, tapi dia sudah berani berbicara tentang hal pribadinya seperti ini.
"Pada saat aku berumur satu tahun, aku disimpan di depan rumah seseorang," Lanjutnya. "Dan sejak saat itu aku sudah tinggal bersama mereka selama delapan belas tahun lamanya."
"Jadi tidak ada yang tahu keberadaan keluarga aslimu hingga sekarang?" tanyaku.
Ell menggeleng lemah. Bisa kulihat sekilas tatapan matanya menyiratkan sebuah kerinduan dan kesedihan yang dalam.
"Setidaknya, kau bisa menjaga dirimu sendiri. Aku yakin orang tuamu juga tidak akan khawatir kalau mereka melihatmu sekarang." Ujarku sambil melirik ke arah senjata ketapelnya.
Ell tersenyum mendengar ucapanku, "Iya dong, aku sengaja berlatih setiap hari menggunakan senjata ini agar suatu hari nanti aku bisa berpetualang jauh mencari kedua orangtuaku."
"Kenapa tidak sekarang? Kamu sudah cukup dewasa dan sudah bisa dipastikan kamu bisa menjaga dirimu sendiri, belum lagi sepertinya peralatan dan senjata yang kau miliki bisa dibilang lebih dari cukup." Aku menepuk ranselnya yang ukurannya jauh lebih besar dari ransel milikku. "Kalau aku jadi kamu, aku pasti sudah pergi mencari mereka."
"Seandainya saja semudah itu, ada beberapa hal yang menahanku disini, karena itulah aku butuh bantuanmu. Lagipula apa yang ada di dalam sini bukan semuanya senjata kok, ini adalah ransel akhir zaman. Isinya cukup lengkap, dari tali hingga makanan darurat." Jawab Ell bangga sambil menunjuk ranselnya. "Bagaimana denganmu? Kamu pasti memiliki tujuan kan?"
Sebenarnya aku malas menjawab pertanyaan ini, pertanyaan yang jawabannya selalu membuat darahku mendidih, tapi entah mengapa aku merasa bersalah jika aku tidak menjawabnya. "Koloniku hancur, lenyap tak bersisa. Semua orang di sana telah mati, termasuk keluargaku."
Ell menatapku serius, "Lalu?"
"Lalu aku di sini, terjebak di ujung dunia dengan segudang kecemasan dan depresi yang berlebihan," aku mengLeo napasku panjang "Terkadang aku bingung, apa tujuanku dilahirkan di dunia ini. Menyadari aku hidup di mana dunia sudah berubah menjadi tempat yang berbahaya benar-benar membuatku tidak bisa menemukan jawaban yang tepat."
Ell diam sejenak sebelum menjawab "Mungkin belum saatnya, aku pun seperti itu— selalu berusaha mencari jawaban dari setiap hal yang terjadi. Lama-lama aku capek sendiri, dan akhirnya kubiarkan saja semuanya mengalir dan menemukan jawabannya sendiri."
Aku mengedikkan bahuku.
"Aku turut bersedih dengan apa yang terjadi padamu, lalu sejauh ini apa rencanamu?"
"Tadinya aku ingin mencari orang yang bertanggung jawab atas semua keluargaku yang mati dibunuh. Ternyata rencanaku tidak semudah yang aku bayangkan. Petunjuk yang aku punya hanya ini, koloni mereka membawa bendera merah berbintang enam. Kau tahu sesuatu tentang itu?"
Ell sedikit tercekat saat aku bertanya.
"Aku pernah mendengar koloni dengan bendera yang sama pernah datang dan menghancurkan salah satu koloni dari temanku. Di sana kau akan bertemu dengannya, yang aku tahu— mereka sangat berbahaya. Dan pemimpinnya …" Ell menggantungkan kalimatnya, seolah ragu untuk mengucapkan kalimat selanjutnya.
"Ada apa dengan pemimpinnya?" Selidikku tidak sabar.
Ell menghentikan langkahnya, ia melihat-lihat keadaan sekitar seolah takut ada yang mengawasi. Ia lalu berbisik, "Koloni itu dipimpin oleh seorang iblis."
Aku diam, berusaha mencerna apa yang baru saja Ell katakan, jika ini lelucon maka ini adalah lelucon yang buruk karena tidak lucu sama sekali, tapi kalau dia serius pun aku tak tahu harus bagaimana menyikapi ucapannya barusan.
"Tentu saja, dia sudah menghabisi keluargaku dan semua orang di koloniku. Bagian mana yang membuatnya tidak seperti iblis?" jawabku cari aman.
Ell menggeleng, "Tidak, kau salah paham. Maksudku dia benar-benar seorang iblis yang bukan berasal dari dunia ini." Ia kembali berjalan mendahuluiku dengan lebih cepat. "Ayo kita lanjutkan perjalanan, berbahaya berdiam diri di tempat terbuka seperti ini terlalu lama."
Melihat wajahnya diliputi kecemasan dan seserius itu membuatku jadi berpikir dua kali untuk mengabaikan apa yang baru saja ia sampaikan. "Tunggu— aku tidak mengerti maksudmu."
Ell membalikan badannya ke arahku, dengan mata coklatnya ia menatapku tajam. "Dia iblis bermata satu yang bisa melakukan hal-hal magis di luar nalarmu."
Aku tertegun mendengar ucapannya. Kalau diberi hal-hal yang mengharuskanku untuk berpikir secara ekstra secara tiba-tiba, terkadang otakku berfungsi lebih lambat dari biasanya. Seperti saat ini.
"Sebentar lagi kita sampai, di balik gedung ini ada jalan masuk menuju koloni tempatku tinggal. Simpan pertanyaanmu sampai kita benar-benar aman di sana."
Aku mengangguk lalu mengikutinya menyusuri jalanan, selama perjalanan tadi aku memperhatikan perempuan ini, matanya tidak berhenti mengawasi sekitar, sementara tangan kirinya selalu berada di samping ketapel andalannya. Aku bisa menebak jika sesuatu terjadi secara tiba-tiba, dia pasti lebih gesit dalam bereaksi dibandingkan aku. Aku harus belajar banyak darinya.
Akhirnya aku tiba di pintu gerbang koloni tempat Ell tinggal, letaknya cukup tersembunyi dari area terbuka. Kalau ada orang yang tiba-tiba tersasar ke sini pun pasti tidak menyangka bahwa ini adalah pintu masuk.
Ell mengetuk sebuah pintu yang disusun dari besi yang ditambal-tambal dengan ritme khusus. Tak berapa lama sepasang mata muncul di balik pintu tersebut dan melirik ke arah Ell lalu melihatku dengan mata yang sedikit terbelalak.
Sesaat kemudian pintu itu terbuka, memperlihatkan sosok pengintip tadi yang ternyata adalah seorang anak perempuan remaja, mungkin usianya berkisar antara dua belas tahunan.
"Si- siapa ini kak?" tanya remaja itu pada Ell.
"Calon suamiku." Jawab Ell singkat.
Aku menoleh sekaligus ke arah Ell yang berwajah serius. Tidak ada tanda-tanda ia sedang bercanda sama sekali. Perempuan ini benar-benar membuatku bingung.
***