Aku memejamkan mataku, menunggu terkaman dari serigala itu yang bisa mendarat kapan pun di wajahku. Kata orang-orang, ketika kau akan mati semua kilas balik kehidupanmu akan berputar kembali dalam pikiran. Semua ingatan yang kau miliki juga akan muncul dalam gerakan slow motion. Aku menunggu, tapi tidak terjadi apa-apa. Tidak ada raungan yang mencabik wajahku, tidak ada kilas balik slow motion dalam pikiranku. Hingga sebuah suara siulan panjang yang nyaring dan melengking mengagetkanku dan si serigala.
Aku menoleh ke arah sumber suara yang ada jauh di belakangku, samar aku bisa melihat seseorang sedang berdiri mengamatiku sambil kedua tangannya menggenggam sesuatu membidik ke arahku dan serigala. Sesaat kemudian suara lengkingan itu kembali terdengar, tapi kali ini diikuti dengan suara serigala itu yang tiba-tiba saja terkaing-kaing kesakitan, ia melompat dari atas tubuhku dan berusaha meraih sesuatu pada matanya yang kini mengeluarkan darah.
Melihat situasi yang menguntungkanku, aku segera mengambil kembali parang yang tadi terjatuh sekaligus berdiri dan menjaga jarak dengan serigala itu. Kini aku bisa melihat sosok misterius itu dengan jelas, perawakannya tidak jauh berbeda dariku, hanya saja dia terlihat sedikit lebih kurus. Sama sepertiku, dia juga mengenakan masker militer. Tangannya menggenggam semacam senjata yang belum bisa aku lihat dengan jelas.
Sosok itu memberi isyarat kepadaku dengan kepalanya agar aku bergeser atau menyingkir. Tanpa menunda aku langsung menurutinya. Untuk ketiga kalinya lengkingan itu kembali terdengar, dan aku baru sadar, suara itu ternyata berasal dari senjata yang ditembakkan sosok misterius itu.
Rambutku sampai tertiup angin ketika benda yang mengeluarkan lengkingan itu melesat di sampingku, lalu telak mengenai serigala itu yang langsung berlari meninggalkan kami sambil melolong kesakitan.
Aku menggendong tas ranselku dan berjalan mendekati sosok misterius yang sudah menolongku.
"Terima kasih," ujarku membuka percakapan.
Sosok itu menggantungkan senjata yang tadi digunakan di pinggangnya. "Maaf jika rencana bunuh dirimu sudah aku gagalkan. Masih terlalu pagi bagiku untuk melihat seseorang dicabik serigala."
"Bu— bunuh diri? Siapa yang mau melakukan hal bodoh itu? aku tadi sedang berjalan dan tiba-tiba saja serigala itu menyerangku," dalihku padanya.
Dia tersenyum kecil, hampir-hampir seperti meremehkan. "Please. Aku sudah memperhatikanmu selama setengah jam terakhir. Apa namanya kalau kau tiba-tiba saja pasrah dan tidak melawan lagi selain bunuh diri?" Sosok itu melepaskan masker militer yang menutupi seluruh wajahnya lalu menjulurkan tangannya. Rambutnya yang terikat tali masker tergerai bebas "Namaku Ell Starstorm."
Aku tidak menyangka sosok dibalik masker itu adalah seorang wanita berambut hitam panjang, mata coklatnya memancarkan ketegasan yang kuat, kalau kutaksir usianya tak jauh denganku, mungkin sekitar 19 tahunan. Aku lalu menyambut menjabat tangannya. "Ev— Evan, Evan Feuge."
"Feuge? Nama yang aneh."
"Well, ya kedua orang tuaku sangat suka dengan coklat fudge. Makanan ringan yang terbuat dari mentega dan coklat yang dilelehkan. Sepertinya mereka begitu terobsesi dengannya hingga menamaiku dengan nama kue coklat," jelasku padanya. "Nama belakangmu sendiri juga aneh, Starstorm."
Oke, namanya sebenarnya keren, aku hanya tidak ingin terdengar takjub saja.
Ell tertawa kecil. "Benarkah? Padahal kukira namaku keren. Bukan nama belakangku yang sebenarnya sih, Starstorm itu nama senjata kesayanganku ini." Ujarnya sambil menepuk senjata di pinggangnya.
Aku baru bisa melihat dengan jelas senjata yang mengeluarkan suara lengkingan itu adalah sebuah ketapel. Ukurannya sedikit lebih besar dari ketapel-ketapel yang pernah aku lihat sebelumnya. "Senjata yang bagus, tapi kenapa ketapel itu bisa mengeluarkan suara seperti barusan?"
Ell merogoh salah satu saku celananya lalu mengeluarkan sesuatu, "Ini yang dinamakan Starstorm. Peluru besi yang aku buat sendiri dengan lubang-lubang di tengahnya." Ell menyerahkan peluru itu pada genggamanku dengan bangga. "Selain membuat peluru ini melesat lebih cepat, lubang di tengahnya juga menghasilkan suara lengkingan yang kau dengar tadi. Sangat efektif untuk mengusir hewan buas yang mengandalkan pendengarannya untuk berburu, seperti serigala tadi."
Di luar dugaanku ternyata peluru-peluru yang berukuran mini itu cukup berat, tak heran serigala tadi langsung kabur setelah terkena dua kali tembakan Ell. Dipikir-pikir anak perempuan ini keren juga.
"Dengar, aku tidak bermaksud untuk bunuh diri, aku hanya—"
"Sudahlah, tak apa. Aku juga pernah mengalami fase sepertimu, di mana waktu itu aku juga sudah kehilangan semangat untuk bertahan hidup. Sampai seseorang juga menolongku, seperti yang barusan aku lakukan padamu." Ell mengikat lagi rambutnya ke belakang, "Ini, tiga tahun yang lalu." Terlihat dengan jelas pada lehernya ada bekas luka yang terlihat sudah cukup lama.
Aku tidak berani bertanya dan hanya bisa mengasumsikan bahwa perempuan ini mungkin saja dulu pernah berusaha menggantung atau mengiris lehernya sendiri. Sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak pernah berani untuk memikirkannya.
"Kau mau pergi kemana?" tanya Ell memecahkan lamunanku.
"Entahlah, aku juga tidak tahu, hanya berusaha bertahan hidup dan mencari koloni yang dihuni oleh orang-orang vegetarian."
Ell tertawa. "Kalau begitu ikutlah denganku, koloniku mungkin tidak besar, tapi kami sangat bersahabat. Tenang saja, aku dan koloniku bukan kanibal kok."
Aku sedikit ragu untuk menerima ajakannya, ingat tadi apa yang sudah kubilang? Di dunia tempatku hidup saat ini, akan selalu ada hal yang tak terduga untuk terus terjadi secara konstan. Dan maksudku, hal yang tak terduga itu sembilan puluh sembilan persennya adalah hal buruk. Kejadian semacam ini bagiku terlalu indah untuk bisa terjadi di kehidupan nyata.
Saat ini aku hanya bisa menyimpulkan dua hal: satu, perempuan ini mungkin saja hanyalah umpan dari klan kanibal dan aku mangsanya yang akan dijebak, dibunuh lalu disate dan berakhirlah petualangan Evan Feuge di novel ini. Atau dua, aku sedang tertidur lelap di sebuah pegunungan dan ini semua hanya mimpi.
Tapi rasanya, kemungkinan pertama tidak mungkin terjadi karena cerita ini baru saja dimulai, dan yang kedua juga tidak mungkin, karena sampai saat ini punggungku masih terasa ngilu akibat berbenturan dengan aspal setelah ditabrak siluman serigala sepuluh menit yang lalu. Kedua kemungkinan tadi ternyata tidak ada yang masuk akal, terlebih sekarang perutku benar-benar lapar minta ampun.
Ell sepertinya menyadari keraguanku untuk ikut dengannya. "Aku kan sudah bilang, aku dan koloniku bukan orang jahat. Kalau aku ingin membunuhmu, dengan mudah sudah aku lakukan sedari tadi dengan ini." Dia menunjuk ketapel andalannya.
Aku tidak mau naïf, semua yang sudah dilakukannya untukku pasti memiliki motif tersembunyi. Hanya saja aku belum tahu apa motifnya hingga berani mengajakku datang ke koloninya. Biasanya setiap koloni yang ada akan sangat merahasiakan keberadaannya dan menolak semua pendatang baru yang hidup bertahan dari jalanan sepertiku. Wajar sih, kondisi bumi yang brutal seperti saat ini secara tidak langsung membuat manusianya juga hidup dalam ketakutan berlebih.
Seolah tahu aku sedang kebingungan, tiba-tiba perutku berbunyi dan aku berharap Ell tidak mendengar betapa merdunya suara keroncong perut yang sudah tidak makan selama dua hari ini.
Baiklah sepertinya aku sudah memutuskan, aku akan ikut dengannya dan minta makan, lalu pergi dari koloninya.
"Sepertinya aku harus ikut denganmu selama kamu berjanji tidak akan memakanku saat aku sedang tidur, oke?"
"Deal," Ell tersenyum sambil menjabat tanganku. "Kau lapar ya?" tanyanya sambil tertawa.
"Sialan."
***