Perasaan Casey hari ini begitu senang karena impian yang selalu ia idam-idamkan akhirnya terwujud. Berkuliah di jurusan arsitektur. Selama kelas ia sangat memperhatikan apa yang dosen jelaskan. Berbanding terbalik saat ia ada di jurusan manajemen. Ternyata memang jika sesuatu yang memang kau inginkan, pasti saat menjalaninya pun akan terasa lebih mudah dan menyenangkan. Ia jadi terpikirkan, apa setelah dirinya bisa kembali ke dunia nyata bisa mengulang masa perkuliahannya. Tidak peduli harus mengulangnya dari awal pun Casey tidak masalah.
Yang bermasalah mungkin ibunya.
Kelas kedua berakhir yang artinya perkuliahan hari ini juga berakhir karena memang hanya ada dua mata kuliah yang Casey ambil untuk hari ini. Casey memasukkan buku-bukunya kembali ke dalam ransel. Ia belum mau pulang, ada sesuatu yang harus ia lakukan.
Yaitu mengembalikan sweater pinjaman dari gadis itu.
Casey memandang sweater tersebut yang tersimpan rapi di goodybag berwarna coklat. Sebenarnya ia juga tidak tahu harus mencari ke mana sang pemilik sweater ini. Ia tak memiliki nomor ponselnya, dan tak tahu berada di kelas apa. Untuk sekarang ia lebih baik keluar kelas menuju kantin, mungkin saja selama perjalanan dirinya bisa bertemu dengan Erica. Mengingat gadis tersebut selalu terpancar auranya, pasti mudah ditemukan.
Bukannya bertemu Erica, ia malah melihat Eric dan segerombolan laki-laki sedang berjalan berlawanan arah dengannya dan sudah pasti akan berpapasan. Sebelum itu terjadi, Casey akan berbelok ke arah kanan tetapi naas.
Ia berpapasan dengan Erica. Gadis itu juga bersama teman-temannya.
"Gwen?"
"Oh ... hai?" sahut Casey seraya tersenyum paksa.
"Kau mengenalnya?" tanya salah satu teman Erica.
"Ya ..., kita—"
"Ah, selamat siang Senior!"
"Halo, halo, siang semua~"
Casey tahu perempuan itu sedang menyapa kepada siapa. Jika Casey berbalik ke belakang, ia bisa berpapasan dengan Eric dan segerombolan temannya. Sebenarnya dia hanya perlu memberikan goody bag ini kepada Erica dan setelahnya bisa langsung pergi menjauh dari mereka. Namun, situasinya sedikit tidak mengenakkan.
"Senior, sudah ke kantin? Kita baru saja akan ke sana!"
"Silahkan, Eric baru saja mentraktir kita, haha!
"Wah, kita juga mau ditraktir oleh senior Eric~" ujar gadis yang bersurai pendek bergelombang.
"Uh ... kau mau sampai kapan di sini? Menghalangi kita," tegur gadis lain sedikit berbisik dengan tatapan merendahkan. Erica menyikut lengan temannya, seolah tak setuju dengan perkataan itu.
"Jangan seperti itu. Gwen, kau mau ke mana? Ayo ke kantin bersama kami!" ajak Erica dengan nada suara sedikit kencang.
Eric yang sedari tadi sibuk meladeni perkataan yang lain, akhirnya teralihkan kepada Erica dan Casey. Eric mulai menghampiri Casey, memastikan apakah betul gadis yang sedari tadi membelakanginya adalah orang yang ia kenal.
"Gwen—"
"Aku hanya ingin mengembalikan ini, terima kasih untuk bantuan kemarin," ujar Casey seraya menyodorkan goody bag tersebut kepada Erica.
"O—oh terima kasih kembali." Erica menerimanya dengan sedikit kaget. Tatapannya sulit diartikan apalagi setelah melihat Casey tersenyum.
"Kalau begitu aku permisi." Casey berbalik dan langsung bertatapan dengan pria yang tadi pagi ia bangunkan. Casey ingat bahwa dirinya sudah sepakat dengan Eric untuk bersikap biasa saja, ia akhirnya mencoba untuk tersenyum manis pada Eric di hadapan teman-teman Eric maupun Erica.
"Saya permisi, senior."
Tanpa menunggu respon yang lain, Casey langsung bergegas pergi menjauh dari mereka menuju kantin.
Setelah akhirnya berhasil kabur dari lingkaran setan tersebut, Casey bisa menarik napas lega seraya meneguk mojito yang baru ia pesan. Urusan mengembalikan sweater sudah ia lakukan, semoga tidak ada hubungan lagi dengan gadis yang namanya mirip dengan Eric itu. Memang harapan yang sulit untuk dikabulkan.
Casey berdoa sebelum menyantap risotto apel yang sudah ada di depannya ini. Namun sebelum sendok kayu penuh nasi itu masuk ke dalam mulutnya, seseorang menarik kursi di sampingnya, bahkan tidak hanya itu, tiga orang tiba-tiba duduk berdekatan dengannya.
"Kita boleh duduk di sini kan, Gwen?"
"Untuk apa bertanya jika kalian sendiri sudah duduk," batin Casey.
"Silahkan," jawab Casey setengah hati. Di dalam hatinya sudah mengumpat berbagai macam makian kasar untuk orang-orang tersebut.
"Untuk yang tadi aku minta maaf, ya. Aku tidak tahu kau teman Erica. Namaku Mora, salam kenal Gwen," ujar gadis dengan kunciran kuda yang tadi berkata sinis pada Casey.
Lagi. Casey tersenyum palsu pada mereka. "Tidak apa-apa. Salam kenal, Mora."
"Aku Hanna, mulai sekarang kita berteman, ya! Teman Erica teman kami juga!"
"Senang sekali akhirnya teman-temanku bertambah! Kita bisa makan bersama-sama seperti ini seterusnya!" seru Erica tak lupa senyuman manis tak pernah hilang dari wajah cantiknya. "Ngomong-ngomong, sweater yang kau kembalikan jadi lebih wangi dari sebelumnya! Terima kasih, Gwen!" Erica memeluk Casey dari samping membuat gadis yang sedari tadi mencoba menyantap makanannya kembali gagal karena pelukan itu.
"Ahaha ... sama-sama. Erica, aku sulit bernapas ...," lirih Casey mencoba lepas dari pelukan maut Erica.
"Maaf! hehe."
"Anyway, kupikir tadi kita bisa makan bersama dengan Eric." Mora membuka topik setelah memesan makanan. Casey yang sedari tadi tak mau menghiraukan keberadaan mereka, kini sampai berhenti mengunyah. Sesekali ia meminum mojitonya sedikit demi sedikit, agar terlihat sibuk.
"Huh, bahkan tadi aku sudah bersikap manis pada mereka. Tapi ternyata Eric sangat sibuk, yang senggang hanya teman-temannya," sahut Hanna.
"Lagipula nanti akan sangat canggung jika kita satu meja dengan mereka, kan? Sepertinya aku lebih baik satu meja dengan Gwen saja. Kalian bersama dengan Eric dan teman-temannya, aku terlalu malu," ujar Erica ikut masuk pembicaraan.
"Hei, apa-apaan itu! Padahal kau pernah satu diskusi dengan Eric, kalau dipikir-pikir bukankah kalian cocok?" Mora menaikkan alisnya seraya tersenyum, bermaksud menggoda Erica.
"E-eh! Itu tidak mungkin! Darimananya yang cocok? Bagaikan langit dan bumi, haha," elak Erica merendah.
"Jangan merendah, dari nama saja kalian mirip. Hanya beda satu kata saja! Eric begitu tampan, ramah, dan selalu dikelilingi orang-orang, lalu kau juga sama. Bukankah kau adalah versi perempuan dari Eric?" timpal Hanna.
"Aku setuju Hanna! Ah, tapi, bukankah Erica juga cocok dengan Alan?" Mora masih betah dengan topik tersebut.
"Oh! Alan pria tertampan di angkatan kita? Bahkan nilainya tertinggi saat ujian!"
Mora mengangguk setuju sedangkan Casey ingin cepat-cepat menyingkir dari meja itu.
"Beruntung sekali Erica, wajah cantik jelita cocok disandingkan dengan siapa pun," keluh Mora merasa iri, menangkup sebelah pipinya dengan tangan.
"Kalian juga cantik, kok! Aku bahkan iri dengan Gwen karena memiliki rambut dan mata yang indah, kulitnya pun sangat putih," puji Erica seraya meraih lengan Casey untuk dibandingkan dengan lengannya. Mau dilihat bagaimana pun warna kulit Erica lebih terang dari Casey. "Lihat, kan? Warna kulit Gwen seputih salju!"
"Mulai merendah, gadis ular ini," umpat Casey dalam hati.
Mora dan Hanna hanya bisa saling bertatapan, karena tak enak hati untuk mengatakan yang sebenarnya. Casey langsung menarik lengannya karena tak nyaman. Sedangkan Erica hanya tersenyum manis tak sadar jika perkataannya membuat orang lain tak nyaman, entah tidak sadar atau memang sengaja.
"Oh, Gwen juga lebih dekat dengan Eric! Saat hari pertama mereka makan bersama di sini, aku benar kan, Gwen?"
Casey hampir tersedak ludahnya sendiri. Tak menyangka Erica akan berkata seperti itu. Mora dan Hanna juga sampai terbelalak kaget.
"Apa kau serius, Erica?" tanya Mora. Erica mengangguk semangat.
"Kau dekat dengan Eric, Gwen?" kini Hanna bertanya, tubuhnya sampai condong ke depan Casey bahkan hanya tinggal beberapa centi jarak keduanya.
"Tuhan, situasi seperti ini yang kubenci ...." Casey meringis dalam hati.
Casey tersenyum paksa. Ia ingat dengan kesepakatan dengan tuan mudanya pagi tadi. "Kami memang teman tapi tidak sedekat itu, kok."
"Eh? Sungguh? Teman dari SMA?"
"Um ... hanya teman online sebelumnya, dan baru bisa bertemu karena satu kampus."
"Wow, kau beruntung sekali!"
"B—begitulah ...." Casey tertawa pelan tetapi tak berani menatap mata mereka, telapak tangannya mulai berkeringat. Berharap kebohongannya tidak tercium oleh mereka.
"Ah, ternyata kalian sungguh berteman ya," sahut Erica seraya tersenyum manis. Namun, tatapannya sulit diartikan, seolah tidak menyukai apa yang dikatakan Casey tadi.