Kini Casey dengan balutan sweater berwarna coklat tua dan celana jeans panjangnya. Mengikuti Eric kemana pun yang pria itu tuju sudah seperti anak bebek mengikuti induknya.
Setelah Eric menariknya untuk pergi ke pusat perbelanjaan, dirinya hanya diberi waktu sepuluh menit untuk berganti baju pelayannya terlebih dahulu. Bahkan Casey tak sempat untuk berdandan, hanya menyemprotkan parfum sekilas setidaknya tubuhnya tidak mengeluarkan bau tidak sedang di hadapan tuan mudanya itu.
"Kau ingin laptop seperti apa, Gwen?" tanya Eric. Tatapannya masih berkutat dengan laptop-laptop mahal yang berjejeran di meja putih itu. Mereka kini memang berada di salah satu store merk terkenal. Sedangkan gadis yang ditanya tak merespon, tetapi tatapannya sama sekali tak berpaling dari laptop gaming dengan spesifikasi tinggi yang bahkan di dunia nyata dirinya belum mampu membelinya.
Karena merasa tak mendapat jawaban, Eric menoleh. "Gwen?" Eric akhirnya mengikuti arah pandang gadis itu. "Kau ingin laptop gaming, Gwen?" tanya Eric lagi.
"E—eh? Sama sekali tidak, Tuan! Aku hanya—"
"Eric," koreksi Eric.
Casey menghela napasnya pelan. "Iya, Eric."
"Kau ingin laptop gaming, ya? Aku memanggilmu berkali-kali, loh. Tapi sepertinya laptop lebih menarik daripada aku," cibir Eric pura-pura bersedih.
"Bukan begitu, Eric, tapi ...." Casey malah kembali menatap laptop tersebut dengan tatapan berbinar.
"Ah! Kau beralih padanya lagi!" protes Eric.
"M—maaf!"
"Aku akan membeli laptop ini, jadi jika kau ingin, kau harus menatapku dulu dengan tatapan berbinar seperti tadi!" Eric memeluk laptop gaming tersebut, mimik wajahnya yang cemberut begitu menggemaskan. Sedangkan Casey tak sanggup berkata-kata, apalagi orang-orang melihat mereka dengan penuh tanda tanya.
Casey tersenyum kikuk. "K—kau tidak sungguhan, kan?"
"Kata siapa? Kau pikir aku tidak bisa membeli laptop ini?"
"Bukan begitu, um ... lebih baik kita fokus dengan yang sudah direncanakan. Takut terlalu malam," usul Casey.
Eric mendengus. "Bukankah kau yang sedari tadi mengalihkan fokusnya?"
"M—maaf, Tuan ... aku hanya berpikir laptop itu terlihat keren dibanding yang lainnya." Casey menundukkan kepalanya merasa bersalah telah membuat tuan mudanya kesal. Memang tidak seharusnya ia malah memikirkan diri sendiri untuk barang dengan spesifikasi yang tak begitu penting untuk kebutuhannya. Harusnya Casey bersyukur Eric ingin membantu mempersiapkan perkuliahannya nanti. Bahkan dari jauh-jauh hari.
Sebuah tangan mengusak surainya begitu lembut, "Aku tidak marah, Gwen. Tenang saja. Kalau kau mau, aku akan membelinya, tapi harus persetujuan Kak Noel," ujar Eric.
"Tidak perlu, Tuan. Mengagumi bukan berarti ingin memilikinya."
Eric menyentuh hidung mungil Casey sekilas. "Eric, bukan Tuan," koreksi Eric tak henti-hentinya.
"Ugh ... iya, Eric."
Eric terkekeh pelan karena tingkah Casey. "Kalau begitu kembali ke topik awal. Selain laptop gaming tadi, laptop seperti apa yang kamu inginkan?"
"Aku terserah padamu saja. Karena tidak tahu laptop seperti apa khusus untuk jurusan arsitektur," jawab Casey.
Eric mengangguk seraya mengelus dagunya, ia memanggil salah satu karyawan. Menanyakan rekomendasi laptop khusus untuk arsitek, karyawan itu mengajak mereka untuk mengikuti arahannya. Laptop berwarna putih elegan yang kini menjadi fokus utama mereka. Karyawan tersebut dengan cekatan mempromosikan produk mereka. Bahkan Casey langsung melupakan laptop gaming yang tadi, berganti dengan laptop mewah di depannya ini.
Eric sesekali mencuri pandang pada Casey yang sama sekali tak berkedip menatap laptop tersebut. Pria itu memalingkan wajahnya dan melipat mulutnya ke dalam, berusaha menahan tawa yang bisa saja pecah jika ia terus melihat tingkah Casey.
"Kalau begitu aku beli ini," pungkas Eric membuat Casey terbelalak dan langsung menoleh ke arah Eric. Sedangkan karyawan tadi izin untuk mengambil keperluan lainnya.
"Eric, bukankah ini terlalu mahal?"
"Betul, lalu?"
"Untuk siapa?"
"Untukku."
Casey menghela napasnya lega. Dia terlalu percaya diri bahwa Eric akan membelikan laptop semahal ini untuknya.
"Kau tidak mau?" tanya Eric.
Casey menatapnya kembali. "Bukankah itu untukmu?"
"Kalau kau mau, aku beli dua."
Netra Casey langsung melebar mendengar perkataan yang keluar tanpa beban itu dari mulut tuan mudanya. Dia tahu keluarga Wilson sangat kaya, bisa membeli apa saya yang mereka inginkan. Namun, Casey masih benar-benar tak bisa percaya, Eric membeli laptop yang baru rilis tahun ini seperti membeli permen di sebuah kedai!
Ah, keluarga Wilson bahkan bisa membeli semua yang ada di Mall ini. Casey terlalu heboh untuk terkejut.
"Gwen, ini untukmu, bukan aku. Jadi jangan menolak."
"Aku merasa tak enak. Untuk seorang pelayan sepertiku, seharusnya yang sederhana saja," ujar Casey berusaha sopan.
"Agar kau merasa enak, aku juga akan membelinya, bagaimana?" tawar Eric dengan santai. Casey hanya menatapnya datar, pria di depannya tidak mengerti apa yang ia katakan.
Belum sempat Casey jawab, Eric sudah berlalu menuju kasir. Sungguhan membayar dua buah laptop untuknya dan Eric. Entah Casey harus senang atau tidak, tapi perasaan tak enak masih mendominasi hatinya.
Tak lama Eric kembali menghampiri dirinya dengan membawa kedua laptop tersebut. Raut wajahnya begitu senang membuat Casey ikut tersenyum melihatnya. Entah apa yang akan dikatakan oleh Noel, jika tahu seorang pelayannya membeli laptop mahal bahkan melebihi gajinya 6 bulan.
"Ini."
"Sini biar saya bawakan keduanya," tawar Casey.
Eric malah kembali mengambil paper bag milik Casey membuat gadis itu bingung. "Tidak jadi, biar aku saja yang membawa keduanya. Aku tidak mau terlihat sedang memperkerjakan seorang wanita."
Casey mengerjapkan matanya. "... tapi aku memang bekerja untukmu?"
"Untuk sekarang jangan, nanti aku terlihat tidak gentle," sahut Eric dengan tatapan serius. Casey hanya menggelengkan kepalanya, mengalah dengan Eric.
Tuan muda satu ini memang benar-benar unik. Sedari tadi tak henti-hentinya membuat Casey gemas.
Mereka keluar dari store untuk ke tempat selanjutnya.
Di waktu sebelumnya ...
Pria dengan setelan jas berwarna hitam sedang asik berkutat pada tumpukan kertas yang harus ia tandatangani hanya dalam waktu sehari itu, kini mengalihkan perhatiannya pada ponsel yang sedari berbunyi. Ia mendorong kursi direktur tersebut agar bisa meraih ponselnya yang lumayan jauh dari tempatnya tadi. Melihat pesan paling atas yang mengiriminya sebuah foto.
Dari adik pertamanya.
Eric mengirim sebuah foto berisi Casey yang tak berkedip saat menatap laptop berwarna putih tadi.
Ya, Eric memang sudah niat dari awal untuk memotret tingkah Casey yang menurutnya begitu lucu.
Noel terkekeh melihat foto tersebut. Jarinya aktif mengetikkan sebuah pesan untuk Eric.
[Dia ingin yang itu?]
[Menurutmu bagaimana? Haruskah aku membelinya?]
[Kalau dia ingin, dan memang cocok untuk nanti. Beli saja.]
[Aku juga ingin.]
[Bukankah laptopmu baru dipakai sebulan?]
[Iya, tapi ini keluaran terbaru.]
[Aku bahkan tidak membelinya.]
[Jadi aku boleh ikut beli atau tidak?]
[Terserah kau saja.]
[Kau tidak akan jatuh miskin kan, kalau aku membelinya?]
[Pertanyaan macam apa itu? Kau meremehkanku? Bahkan jika nanti anak dan cicitmu memiliki cucu lagi, aku tidak akan jatuh miskin.]
[Memang tidak miskin, tapi kau sudah tidak ada di dunia ini lagi.]
[Sepertinya kau tidak perlu membelinya, Eric. Aku berubah pikiran.]
[TIDAK AKU BERCANDAAAAA!]