Semilir angin begitu lembut meniup helai surai hitam sang gadis yang akhirnya diterima di salah satu kampus terbaik di Amerika. Netranya tak lepas memandang gedung kampusnya yang megah dan tak luput dari sejarah terbentuknya bangunan itu. Masih tak menyangka kakinya bisa menginjak tempat tersebut. Kedua sudut bibirnya semakin tertarik ke atas saking senangnya. Tak pernah ia terbayangkan hal ini benar-benar akan terjadi dalam hidupnya.
Ia masih mengingat euforia saat menunggu pengumuman lulus atau tidaknya dirinya di kampus yang sama dengan Eric. Bahkan Eric dan Gabriel ikut mendampinginya menatap penuh harap layar dari laptop yang dibelikan oleh Noel. Saat tampilan layar tersebut berubah dan menampakkan nama dan statusnya yang lolos, Casey tak bisa menahan teriakan sama halnya dengan kedua pria itu.
"Aku diterima!" seru Casey yang langsung mendapat pelukan dari Gabriel.
"Huaa ... Gwen hebat!" Gabriel tak bisa menahan isak tangisnya.
Eric yang tak ingin kehilangan momen, dengan teganya memisahkan Gabriel dari Casey, lalu menarik lengan Casey untuk berputar bersama seperti anak kecil.
"Aku tau kau bisa! Karena aku yang mengajarimu," puji Eric sekaligus memuji dirinya sendiri. Gabriel mengusap air matanya kasar lalu melepas pegangan tangan Eric dan Casey, agar ia bisa ikut masuk ke dalam putaran tersebut. Mereka tertawa bersama, merayakan diterimanya Casey di kampus tersebut.
***
Casey mengeratkan tas ranselnya, melangkahkan kakinya untuk mengikuti hari pertama pengenalan kampus. Jujur saja ia sangat gugup, tak satu pun ada yang ia kenal. Terkecuali tuan mudanya itu, tetapi ia tak mungkin bersikap begitu akrab di kampus dengan Eric. Casey sudah berniat untuk terlihat seperti orang asing dengan Eric, ia juga yakin Eric pun akan melakukan hal yang sama.
Tapi mungkin jika tak sengaja berpapasan, ia bisa tersenyum dan menyapanya sedikit, sedikiiit saja.
Pengenalan hari pertama berjalan lancar, para senior memperlakukan juniornya dengan baik. Tidak ada senioritas sama sekali, benar-benar sebatas memperkenalkan kampus dan seisinya.
Netra Casey terus mencari sosok pria yang ia kenal itu, seharusnya tuan mudanya menampakkan batang hidungnya di sini, di depan semua mahasiswa baru.
"Hei, bukankah senior tersebut begitu tampan?!"
"Ya, tuhan. Mataku bahkan tak mau berpaling ke mana pun ...."
"Siapa namanya?"
"Shh, diam! Biarkan dia berbicara!"
"Sepertinya dia akan menjadi crushku."
"Oh, ya tuhan! Haha!"
"Perkenalkan aku Eric Wilson, salah satu senior kalian. Selamat karena kalian telah terpilih di kampus ini, kalian hebat. Dan aku sangat menjamin kalian tidak akan menyesali keputusan untuk mencari ilmu di sini. Jika ada sesuatu yang tidak kalian ketahui, feel free to ask me, atau para senior lainnya. Salam kenal semuanya!" Eric memperkenalkan dirinya dengan santai. Senyumnya tak pernah luntur dari wajah tampannya itu. Sebagian mahasiswi baru terus berbisik dengan teman barunya, membicarakan senior tampan tersebut.
Yap, benar. Eric adalah salah satu anggota organisasi mahasiswa di kampus. Tentu saja Casey sudah tak kaget lagi. Walaupun begitu dirinya tetap antusias karena kali ini bisa melihatnya langsung, tidak sebatas di depan layar komputer.
Casey menahan napasnya sekejap ketika netra Eric bertapapan langsung dengannya. Tuan mudanya itu tersenyum sekilas sebelum turun dari panggung.
"Kau lihat tidak Eric tersenyum kepadaku?"
"Jangan bermimpi! Itu padaku!"
Sedangkan perempuan-perempuan di sekitar Casey terus bertengkar memperebutkan senyuman Eric. Casey tersenyum seraya menggelengkan kepalanya. Ia tak bisa menyangkal bahwa jantungnya berdebar dengan kencang.
***
Casey menatap menu kantin yang terpampang di atasnya. Jujur jika terus ia pandang, kepalanya semakin pusing akibat harga makanan-makanan tersebut yang terbilang mahal untuknya. Ya, walaupun Casey mendapat uang saku tambahan dari para tuannya, tapi tetap saja ia merasa sayang untuk mengeluarkannya. Hanya saja, perutnya sedari tadi sudah meraung meminta makan. Masih sekitar tiga jam lagi acaranya usai, ia tak mungkin menahan selama itu demi menghemat pengeluaran. Casey akhirnya memesan menu termurah, tak menunggu waktu lama ia mencari kursi kosong di antara banyaknya orang-orang. Satu kursi pun sudah lebih dari cukup. Karena memang sedari awal dirinya belum memiliki teman.
Katakanlah Casey memang tak pandai bergaul. Di dunia nyata pun teman dekat yang ia miliki hanya Eleana.
Casey menghela napasnya lega setelah sedari tadi mencari kursi kosong, akhirnya ia menemukan di sudut ruangan dekat dengan jendela. Posisi yang sangat nyaman baginya. Sebelum ia menyantap makanan, Casey memandang ruangan kantin yang penuh dengan berbagai mahasiswa. Ia merogoh sakunya mengambil ponsel untuk mengabadikan momen tersebut. Ia tak boleh lupa dengan hobi fotografi sang heroine. Setelahnya, Casey berdoa terlebih dahulu baru menyantap makanan lezat itu.
Sedang fokusnya menyantap seraya memainkan ponselnya, kursi yang berhadapan dengan Casey ditarik oleh seseorang.
"Ke-te-mu!"
Casey mendongak menatap sosok di depannya, ekspresi terkejutnya tak bisa ia sembunyikan. Casey langsung menundukkan wajahnya kembali, lebih baik menatap makanan yang tinggal beberapa suap lagi.
Pria itu duduk di depan Casey dengan santai seakan tak menghiraukan banyak mata yang terus mencuri pandang terhadap dirinya.
"Sedari tadi aku mencarimu, ternyata kau di sini makan sendirian. Kau belum memiliki teman?"
Casey mengigit bibir bawahnya seraya menggelengkan kepala dengan pelan. "Tuan ... mohon maaf jika aku tidak sopan, tapi kenapa Tuan menghampiri saya?" bisik Casey masih menunduk.
Eris menaikkan sebelah alisnya, heran. "Memangnya kenapa? Kau merasa terganggu?" tanya pria itu merasa tersinggung.
"Bukan seperti itu, Tuan. Orang-orang melihat kita ...," lirih Casey.
Eric menoleh ke belakang, ternyata memang banyak mahasiswa yang memperhatikan mereka berdua. Ia lupa jika kehadiran dirinya selalu menarik banyak perhatian. Pria itu menatap Casey kembali seraya menggaruk pipinya yang tidak gatal. "Maaf, hehe."
Casey hanya bisa tersenyum pasrah. Memang seharusnya dari awal ia membuat kesepakatan terlebih dahulu dengan Eric.
"Lagipula memangnya kenapa? Tidak usah pedulikan apa kata orang nanti," celetuk Eric santai, seraya meneguk kopi yang sudah ia bawa.
Casey tak mempedulikan perkataan Eric, ia kembali melanjutkan makannya hingga tak tersisa sedikit pun. Ia ingin kesal tapi tak berhak. Tuan mudanya hanya ingin berbicara dengannya, walaupun tak sadar jika keberadaannya selalu diperhatikan banyak orang. Mau bagaimana lagi, Eric mahasiswa terbaik di angkatannya. Wajah tampan, pintar, kepribadian baik dan selalu menolong orang. Ia sama sekali tak membedakan siapa pun yang meminta bantuan. Selalu tersenyum tak pernah terlihat kesal apalagi marah. Eric bahkan dianggap seperti malaikat di kampusnya karena sama sekali tidak pernah berperilaku tak sopan pada siapa pun atau mencoreng nama baik universitas.
"Jadi bagaimana kesan pertamamu? Menyenangkan?"
Casey akhirnya menatap sosok pria tampan yang sama sekali tidak peka dengan keadaan sekitarnya saat ini. "Kita bisa bicarakan ini nanti, Tuan," bisik Casey karena tak mau ada orang yang bisa mendengar mereka.
"Huh? Kenapa begitu? Daritadi juga kau terus memanggilku 'tuan', sudah kubilang—"
"Eric! Ketemu! Sedari tadi kita mencarimu, ternyata kau ada di sini." Pria dengan model rambut mullet merangkul leher Eric seketika. Dua pria dan seorang perempuan pun ikut menghampiri.
"Sudah waktunya berkumpul, kau malah bersama— siapa ini?" tanya pria berbadan gemuk seraya menunjuk Casey.
"Kekasih Eric?"
"A—apa?! Eric, kau punya kekasih?!" tanya perempuan mungil dengan rok pendek tersebut seakan tak terima.
Eric melepas rangkulan temannya dengan jengah, kesal karena menganggu kebersamaannya dengan Casey. Walaupun di dalam hatinya kesal, Eric tetap tersenyum merespon teman-temannya. "Bukan seperti itu—"
"Maaf senior, saya bukan kekasih Eric. Saya permisi duluan," ujar Casey memotong perkataan Eric terlebih dahulu. Gadis itu tersenyum seraya membungkukkan badannya sedikit sebelum meninggalkan tempat itu.
Eric menatap punggung gadis bersurai hitam itu yang kian menjauh. Tatapannya sendu, mungkin merasa kecewa atas sikap Gwen. Tak lama dari itu, Eric kembali ditarik oleh teman-temannya karena istirahat telah selesai.
Tanpa mereka tahu, ada sesosok gadis yang tak jauh dari meja mereka menatap kebersamaan Eric dan Casey sedari awal.
***
Setelah merasa sudah lumayan jauh dari kantin, Casey menghentikan langkahnya menyenderkan kepalanya ke dinding koridor. Tak peduli dengan apa yang orang-orang pikirkan tentangnya saat ini. Gadis itu memejamkan matanya.
"Aku bisa mampus jika alur ceritanya tetep seperti ini ...."