Chereads / Are you here? / Chapter 2 - Bab 2

Chapter 2 - Bab 2

"Sekarang kita kemana? Udah jam dua belas pagi, udah berganti hari. Kita mau tidur dimana? Masa iya kita terus-terusan sembunyi disini? Di bawah jembatan ini?"

Agatha akhirnya memutuskan untuk bertanya kepada Aaron dan Erick setelah mereka beristirahat cukup lama di bawah jembatan itu. Waktu pun semakin malam, sinar rembulan semakin terlihat jelas di langit-langit semesta. Mereka tidak sempat membawa harta benda, bahkan bekal makanan pun tidak ada. Panci, sapu dan wajan yang tadinya mereka bawa, entah bagaimana nasibnya. Persis saat mereka memutuskan untuk lari pontang-panting layaknya kancil yang kabur dari musuhnya, semua barang yang sempat mereka bawa langsung mereka tinggalkan tanpa pikir panjang. Sekarang kondisi mereka cukup sulit, tidak ada makanan, tidak ada air, tidak ada rumah untuk ditempati dan tidak ada kheluarga lagi selain mereka bertiga saat ini. Mereka benar-benar hidup seorang diri.

Disaat seperti ini mereka masih berharap akan ada keajaiban yang datang, walaupun itu terdengar tidak masuk akal dan sangat tidak mungkin. Apalagi pemerintah mereka sudah lepas tangan malah mereka terang-terangan menjadikan penduduknya sebagai sasaran empuk bagi musuh pemerintahan itu. Polisi pun sudah banyak yang mati, para penduduk pun juga sama. Semua mati di tangan para prajurit yang dipimpin Letnan Alden itu. Sudah benar-benar tidak ada yang tersisa, selain mereka bertiga.

"Aku nggak tahu harus kemana, aku udah nggak punya keluarga lagi. Ehm satu hal lagi, aku rasa lebih baik untuk sekarang kita hidup selayaknya keluarga. Karena kan kita udah sama-sama nggak punya keluarga. Bagaimana? Apa kalian setuju?" cecar Erick.

Agatha dan Aaron terdiam, lantas mengangguk mengiyakan. Hubungan mereka memang masih canggung, tapi sepertinya mereka harus mengesampingkan perasaan canggung itu agar mereka bisa hidup kompak saling melengkapi satu sama lain.

"Baiklah aku setuju, lagipula kita semua punya nasib yang sama. Jujur aku masih kesal dengan sikap pemerintahan kita yang sangat biadap dan kejam itu! Andai saja aku bisa membalas perbuatan mereka. Sudah pasti aku balas dengan balasan yang setimpal. Tapi sayangnya nggak bisa. Lagipula itu hanya akan menambah masalah." ujar Aaron berterus terang.

Yah, mau bagaimanapun mereka masih remaja belasan tahun. Melihat keluarga mereka harus mati dengan sia-sia hanya karena ambisi pemerintah yang sangat kejam itu cukup menyakitkan. Bahkan sangat-sangat menyakitkan. Ketika kita melihat orang yang kita sayang, orang yang peduli ke kita, harus mati persis di depan mata kita. Itu pasti sangat menyakitkan! Jadi sudah sangat wajar kalau mereka masih marah bahkan mungkin menyimpan dendam ke pemerintah dan orang yang sudah membunuh keluarganya tepat di depan matanya langsung.

"Ehm, aku tau ini memang menyakitkan untuk kita bertiga. Tapi aku ada sedikit pesan dari mendiang Ibu dan Ayahku. Bahwa sejatinya masa lalu dan masa depan akan selalu berkaitan, namun kita bisa memilih. Mau menerima dan berdamai dengan masa lalu itu atau mau memberontak dan mengikuti perasaan emosi yang disebabkan oleh masa lalu itu. Kalian mau pilih apa?" ujar Aaron bertanya.

Aaron mengerti dan sangat paham dengan perasaan Agatha dan Erick. Karena dia pun sebenarnya juga merasakan hal yang sama. Tapi kalau mereka masih terus menerus memikirkan hal-hal apa yang sudah terjadi maka imbasnya masa depan mereka akan terganggu karena sakit hati dan dendam yang mereka bawa sampai dewasa. Aaron tidak mau hal itu sampai terjadi. Penderitaan mereka saat ini sudah cukup sulit, jangan sampai ditambah lagi beban mereka.

Agatha terdiam, begitu juga Erick. Namun Agatha kali ini lebih banyak diam, tidak bertanya ataupun bersuara usai Aaron memberikan sepatah nasihat yang cukup bermakna untuk dirinya. Saat ini, ia memilih untuk menstabilkan perasaannya. Agatha hanyalah seorang wanita biasa yang umurnya baru saja menginjak angka remaja. Wajar kalau perasaannya rapuh seperti wanita pada umumnya. Terlebih dia dipaksa bersikap dewasa oleh keadaan di sekitarnya. Sementara Erick sedang mengakrabkan diri dengan Aaron. Kini mereka mau tidak mau harus berperan sebagai lelaki dewasa yang menjaga adiknya, Agatha.

Semakin larut ternyata mereka semakin akrab, begitu juga Agatha yang akhirnya bersuara kembali usai dihibur oleh Aaron dan Erick. Aaron dan Erick tidak tinggal diam ketika melihat Agatha mengasingkan diri dan sedikit menjaga jarak dari mereka berdua. Mereka membuat banyak lelucon agar Agatha bisa tersenyum dan mulai mengakrabkan dirinya dengan mereka berdua.

"Hahaha, udah cukup. Aku udah nggak kuat mau ketawa." ujar Agatha.

Agatha sangking tidak kuatnya menahan diri untuk tidak tertawa, ia sampai mengeluarkan air mata dari pelupuk indah bola matanya. It's so epic! Pertemuan ini benar-benar di luar ekspetasi mereka. Tidak ada dari mereka bertiga yang pernah kepikiran kalau suatu saat, takdir memanggil mereka untuk bersatu menjalin hubungan sebagai sebuah keluarga. Hubungan kekeluargaan ini  berawal sangat menyakitkan dan perlahan mulai bertransformasi ke arah yang lebih menyenangkan walau memang tidak mudah.

"Yaudah, sekarang kalian masih kuat jalan apa nggak?" tanya Aaron orang yang paling tua diantara mereka bertiga.

"Aku rasa iya. Daripada kita terus-terusan disini, takutnya para prajurit itu menangkap kita. Kita juga udah terlalu lama disini, tapi suara tembakan peluru dan bom masih aja terdengar. Aku rasa mereka belum selesai." jawab Agatha.

"Aku juga iya. Lagipula aku lakik!" timpal Erick dengan lelucon khasnya berusaha membuat suasana tetap berada dalam suasana yang menyenangkan.

Lelucon Erick mungkin memang terdengar garing bagi siapapun yang tidak memiliki frekuensi yang sama dengannya. Terlebih jika level humornya sangat tinggi. Untung saja, Agatha dan Aaron sudah sefrekuensi dengan Erick. Level humor mereka berdua pun sama dengan Erick, yaitu rendah. Hal sekecil atau bahkan seremeh apapun bisa saja membuat mereka tertawa! Random sekali memang.

Disaat mereka menertawai kerecehan Erick, disitulah mereka baru menyadari bahwa sedari tadi ada yang diam-diam memantau mereka. Di tubuhnya terselip pistol dan senjata lain untuk membunuh mereka kapanpun dia mau. Hanya saja gerakannya terhenti. Tadinya ia memang mau melayangkan tembakan peluru ke arah Aaron, Agatha dan Erick yang sedang bercengkrama ria untuk menguatkan diri mereka masing-masing, tapi itu tidak jadi ia lakukan. Hal itu disebabkan rasa kasihan yang terselip di jiwanya. Ia kasihan dengan tiga remaja itu. Yang harus hidup sendiri saat ini tanpa belas kasih orang tua, sementara seharusnya mereka masih perlu support dan belaian kasih dari orang tua. Tapi semua itu musnah akibat perbuatan para pemerintah di daerah yang mereka tempati. Perbuatan semena-mena yang mengakibatkan banyak korban jiwa.

"Siapa disana?!" seru Aaron dan Erick bersama.

Tubuh mereka langsung menegang. Aaron dan Erick bersiap siaga secepat yang mereka bisa untuk melindungi Agatha. Insting lakik mereka bekerja. Mereka harus melindungi Agatha. Disini Agatha yang paling muda dan sangat membutuhkan perlidungan. Sebab Agatha perempuan sendiri.

Tak butuh waktu lama untuk Alden keluar dari persembunyiannya. Ia tidak suka berlama-lama, waktu terus berjalan. Melihat yang keluar adalah Letnan Alden, wajah ketiganya pun semakin pucat pasi. Tubuh mereka melemas, mereka tidak memiliki perlindungan apapun selain tubuh mereka sendiri.

"Tolong, jangan bunuh kami!" pinta Agatha.

Raut wajahnya pias. Ia yang bersembunyi di balik bahu kokoh Aaron dan Erick hanya bisa membantu dengan cara itu.

Alden terdiam, kemudian bersuara.

"Tenang anak-anak. Saya tidak akan membunuh kalian. Justru saya akan membantu kalian. Saya minta maaf karena sudah membuat keluarga kalian mati. Tapi jujur saya tidak bisa melakukan hal lain kecuali melaksanakan perintah dari atasan saya. Saya juga terdesak sama kewajiban saya sebagai seorang Letnan." Alden berterus terang. Ia harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin.

"Apa? Letnan meminta maaf? Letnan mau menolong kami? Apa ini teknik pemerintahan lagi?"

Tidak ada yang mempercayai Letnan Alden. Mau membantu? Mustahil! Setelah apa yang ia dan prajuritnya lakukan, kini tiba-tiba datang dan berkata ingin membantu?! It's impossible!

"Nggak mungkin! Nggak mungkin Letnan mau membantu kami?! Nggak mungkin, hahaha!!" seru Erick.

Setelahnya Agatha juga menambahkan bahkan ia berteriak untuk meluapkan kekesalan dan ketakutan yang menyerang dirinya. Sementara Aaron berusaha berpikir dan menghiraukan teriakan Agatha dan Erick. Kira-kira apakah yang Letnan Alden katakan itu tipuan atau memang sebuah fakta. Ia menelisik raut wajah Letnan Alden lebih dalam. Memang sepertinya, apa yang Letnan Alden katakan itu adalah sebuah fakta. Ia melihat ada perasaan bersalah dan tulus yang terbaca di raut wajah Letnan Alden. Akhirnya Aaron pun mengeluarkan suara yang membuat Agatha dan Erick membelalakkan mata karena tidak memepercayai apa yang Aaron lakukan.

"Baik, kami percaya. Apa yang akan Letnan Alden lakukan sebagai upaya untuk membantu kita?"

"Hah? Aaron kamu serius?!!" ucap Agatha dan Erick spontan.