Perdebatan antara Agatha, Aaron dan Erick masih terus berlangsung sampai saat ini. Tidak ada satupun dari mereka yang mau berhenti. Mereka sibuk dengan pembelaan diri masing-masing. Semua merasa kalau sudah melakukan yang terbaik. Perdebatan ini masih dengan topik yang sama. Permintaan maaf yang Aaron dan Erick layangkan untuk Agatha tapi ditepis langsung dengan beribu alasan cerdasnya.
Berbagai rayuan atau gombalan receh sudah dilontarkan dari masing-masing kedua mulut Aaron dan Erick. Namun sayangnya, tak satupun rayuan itu berhasil mematahkan sesi ngambek Agatha. Sampai akhirnya, keduanya frustasi karena tidak mengerti harus berkata bagaimana lagi. Usaha mereka seperti sia-sia.
"Ck, dasar wanita. Sulit sekali untuk di mengerti." cibir Erick kesal.
Agatha melebarkan matanya, saat mendengar gerutuan Erick, "Apa kamu bilang kak? Aku kenapa?"
Sebagai jawaban, Erick hanya mengangkat kedua bahunya pelan. Ia tidak mau ambil pusing. Ia malas berdebat nggak ada ujung kayak sekarang. Begitu juga Aaron, ia mulai malas meladeni sesi ngambek Agatha yang masih saja berlangsung. Harus dengan cara apa lagi agar Agatha mau memaafkan keduanya?
"Sekarang kamu maunya gimana Agatha? Kita udah minta maaf, tapi nggak kamu maafin. Terus kita harus apa? Semedi di kandang ayam?" tanya Aaron.
Agatha terkekeh pelan, "Yaudah iyaa aku maafin. Tapi jangan gitu lagi. Kalau emang nggak mau main yaa bilang. Kalau keberatan ya bilang wahai Kak Aaron dan Kak Erick terhormat. Biar akunya nggak ngerasa bersalah. Biar permainannya tetep seru. Nggak hambar." cecar Agatha panjang lebar.
Mendengar penuturan Agatha, akhirnya Aaron dan Erick bisa bernafas lega. Setidaknya Agatha tidak melangsukan aksi ngambek lagi.
"Oke fine, thanks sis." ucap Aaron dan Erick kompak.
"Oghey."
"Yaudah sekarang jadi main apa mau istirahat?" tanya Aaron mencoba mencari ujung pembicaraan.
Angela mencebikkan bibirnya kesal, "Tuh kan mulai. Kalau nggak niat mau minta maaf ya bilang aja sih. Yaudah sana, hus hus pergi. Bikin mood naik turun aja kayak naik roller coaster."
"Astaga, sarap." ungkap keduanya.
Dan ya.... Perdebatan mereka dimulai kembali. Ntah sampai kapan akan berhenti. Yang jelas lama-lama Aaron dan Erick mulai lelah menanggapi ocehan Agatha yang tidak ada habisnya merutuki mereka berdua. Padahal Aaron hanya bertanya, kenapa disalahkan kembali? Apa salahnya bertanya sih?
"Sampai kapan mau bikin drama kayak gini? Sampe berseries-series kayak di film-film series? Iya? Apa salahnya si Agatha kita tanya. Lagian cuman nanya aja, bukan berarti kita nggak tulus minta maaf. Itu kamu perspektif darimana sih? Capek lho, salah mulu perasaan." tutur Erick jujur.
Agatha pun terdiam dan akhirnya sadar, bahwa apa yang dia lakukan itu tidak sepenuhnya benar. Agatha tidak mengerti, Agatha hanya merasa sedikit sensitif. Mungkin imbas dari kejadian kurang mengenakkan satu hari yang lalu. Saat keluarganya mati dan meninggalkan dirinya sendirian. Walaupun untungnya saja, ia bertemu dengan Aaron dan Erick yang sudah ia anggap sebagai keluarga.
Agatha menghela napas pelan, "Hmm, aku minta maaf yaa Kak Aaron, Kak Erick. Aku rasa, aku agak sedikit sensitif semenjak kejadian kemarin."
Hati kecil Erick dan Aaron terenyuh tatkala mendengar penuturan Agatha. Mereka lupa bahwa Agatha berusia lebih muda diantara mereka bertiga. Terlebih Agatha seorang wanita, sudah pasti ada rasa trauma atau bahkan perasaan sakit yang ia derita. Dan itu semua sudah pasti ia pendam sendirian. Astaga, mereka benar-benar lupa akan hal itu.
Sejak menginjakkan kaki di rumah Bibi Lisa, mereka berdua sepakat untuk tidak membahas perihal kematian keluarga mereka lebih lanjut. Bukan berarti mereka tidak menyanyangi keluarganya. Hanya saja, mereka tidak mau menderita lebih lama. Jadi alangkah baiknya, jika mereka mulai menerima dan berdamai dengan itu semua. Benar bukan?
"Agatha, maafin kita ya. Maaf mungkin kita kurang ngerti sama kamu." ujar Aaron.
Agatha terduduk lemas, pikirannya kosong. Ia masih belum mengeluarkan suara lagi.
Erick mencoba mendekatkan dirinya dengan Agatha. Ia mengusap kepala Agatha pelan, selayaknya sebuah keluarga. "Maafin kita ya. Maaf, mungkin udah bersikap kasar tadi."
Agatha terdiam, tiba-tiba saja air mata jatuh dari pelupuk indah bola matanya. Kini, Agatha menangis dalam diam.
Aaron dan Erick seketika bingung, mereka merasa semakin bersalah. Sayangnya mereka tidak bisa apa-apa selain menenangkan Agatha. Hanya itu yang mereka bisa. Tidak mungkin kan mereka mencoba mengembalikan dunia Agatha kembali? Itu tidak mungkin.
Tak lama setelah itu, tangis Agatha pun mulai mereda. Air matanya tidak lagi berderai seperti beberapa menit sebelumnya. Deru napasnya mulai mengendur pelan. Pertanda bahwa ia sudah mulai tenang kembali.
"Udah yaa, jangan nangis lagi. Maafin kita ya." ujar Aaron tulus.
"Iyaa, maafin kita yaa. Udah kamu nggak sendirian kok. Ada kita. Ya nggak bang?" tanya Erick pada Aaron.
Sebagai jawaban, Aaron menganggukkan kepalanya dan menampilkan senyum terbaiknya. Hanya dengan cara itu, mereka berdua bisa menguatkan Agatha.
Agatha tersenyum sekilas, "Iya, aku tau kok. Sejak malam itu, aku nggak sendirian."
"Yaudah ayok main, ajakannya masih berlaku kan?" tambahnya.
Aaron dan Erick terkekeh, "Hahaha, masih kok masih."
"Yaudah ayo mulai. Kak Aaron aja yang jaga, kan paling gede." usul Agatha.
"Hahaha, setuju sih."
Kemudian, mereka pun memulai permainan "Masuk aman, keluar resah" persis yang diinginkan Agatha sebelumnya. Kali ini, baik Erick maupun Aaron tidak banyak protes. Mereka cukup mengerti dan mulai sadar, bahwa yang Agatha inginkan hanyalah teman.
Permainan dimulai saat Aaron melontarkan hitungan.
"100, 99,98...."
Tak ingin terlambat dan ketahuan, Erick dan Agatha spontan langsung bersembunyi. Mereka bersembunyi di tempat manapun yang kiranya Aaron tidak akan menemukan mereka. Erick dengan lihai bersembunyi di bawah kasur. Pikirnya itu adalah spot terbaik untuk bersembunyi. Sementara Agatha memilih bersembunyi di ruang perpustakaan yang ternyata berada di sudut rumah paling pojok.
"Fyuh, kayaknya disini aman deh. Nggak mungkin si ketahuan. Asik. Pasti ntar bisa nyiram kak Aaron pake air. Hahaha." monolog Agatha.
Sembari menunggu, ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruang perpustakan milik Bibi Lisa. Ia tidak pernah menduga bahwa, akan ada ruang perpustakaan disini. Semakin dilihat, Agatha semakin takjub. Ia jadi kepikiran untuk meminjam beberapa buku milik Bibi Lisa untuk dibaca.
Sampai akhirnya, Agatha menemukan pintu di sudut ruangan. Pintu itu hampir tersamarkan dengan warna cat yang senada dengan tembok di ruang perpustakaan ini. Agatha bersorak dalam hati, ia semakin yakin akan memenangkan permainan ini. Siapa dulu dong? Agatha! Hahahaha.
"Ah masuk ah, selamat mencari kak Aaron." monolog Agatha.
Samar-samar, ia mendengar suara hitungan Aaron. Suaranya tidak terlalu besar, tapi masih terdengar.
"88, 87, 86, 85...."
Dan saat Agatha melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan berpintu itu, ia menyadari bahwa ia sedang berada di dunia lain.
Hawa dingin menyeruak, membuat Agatha terdiam mematung untuk beberapa saat.
"Astaga, aku ada dimana?"