Kalau kalian pikir Aaron gila karena mempercayai seorang Letnan yang sudah membuat mati keluarganya, kalian salah besar! Aaron gila? Siapa yang gila? Tidak ada, tidak ada yang gila. Apa yang Aaron lakukan saat ini adalah bentuk pertahanan dan persiapan untuk mereka bertiga di masa yang akan datang. Hanya saja apa yang dia lakukan saat ini mungkin akan terlihat salah bagi sebagian orang, termasuk Agatha dan Erick. Hal ini terbukti dengan sikap mereka kala mendengar apa yang Aaron katakan.
"Sstt, aku tau mungkin kalian marah sama aku. Tapi coba kalian lihat mimik wajah Letnan Alden. Dia terlihat sekali kalau dia merasa bersalah. Lagipula sebenarnya ini bukan salah Letnan sepenuhnya. Ini salah pemerintah kita yang kejam dan egois itu. Selalu melakukan hal semena-mena, tidak peduli siapa yang akan terkena imbas perbuatannya." ujar Aaron.
Aaron berusaha membuka pikiran Agatha dan Erick agar mau menerima bantuan dari Letnan Alden. Ia tahu mungkin Agatha dan Erick masih sulit untuk menerima keadaan yang sekarang, terlebih Agatha dan Erick masih berusia lebih muda dari dirinya. Aaron pun sama. Ia juga masih sulit menerima keadaan yang terjadi. Tapi itu bukan berarti Aaron akan terus hanyut dalam kesedihan. Kalau ia terus berlama-lama meratapi hal yang udah terjadi, hal itu hanya akan menjadi penghambat kemajuan untuk dirinya di masa yang akan datang. Dan itu bukan Aaron, kalau hanya terus berdiam diri meratapi nasib diri. Itu bukan Aaron! Jadi karena itu, ia berusaha membuka mata dan pikiran Agatha dan Erick.
"T-tapi, kamu yakin Aaron? Kamu yakin Letnan ini nggak akan membunuh kita?" Agatha bertanya, ia masih ragu harus mempercayai Letnan Alden atau tidak.
"Iya betul, apa kamu yakin Aaron?" timpal Erick ikut bertanya.
Letnan Alden yang sudah mulai kehabisan waktu, tanpa pikir panjang langsung memberikan Agatha, Aaron dan Erick segenggam uang yang ia bawa dan simpan selalu di balik baju Letnannya. Ia juga memberikan makanan yang ia bawa sebagai bekal untuk dirinya yang menyusuri wilayah-wilayah yang berada di dekat daerah peperangan, guna memastikan tidak ada manusia yang tersisa dan sudah membakar wilayah untuk antisipasi alibi.
"Saya tidak punya waktu lebih banyak, kalian pun sama. Segera setelah ini tinggalkan tempat ini sebelum anak buah saya menemukan kalian. Tenang, saya tidak akan memberitahu baik ke atasan ataupun anak buah saya kalau kalian masih hidup. Pakai uang yang saya kasih untuk menghubungi keluarga kalian ataupun siapa saja yang bisa membantu kalian. Saya minta maaf kalian harus hidup jadi seperti ini sekarang." titah Letnan Alden.
Kaget? Itulah yang dirasakan oleh Agatha dan Erick. Aaron juga sama, namun dia mampu mengendalikan perasaannya sebab dia tahu kalau Letnan Alden memang berniat tulus untuk membantu.
"Satu hal lagi, tolong rahasiakan kejadian ini. Jangan sampai ada yang tahu kalau saya membantu kalian, bisa?" tambah Letnan Alden dengan tegas.
Tanpa banyak bicara, Agatha, Aaron dan Erick mengiyakan dan akan memastikan kalau tidak akan ada yang mengetahui tentang kejadian itu. Hitung-hitung itu adalah balasan yang bisa Agatha, Aaron dan Erick berikan untuk Letnan Alden yang sudah mau membantu dan membiarkan mereka bertiga untuk hidup. Sebelum pergi mereka menyempatkan diri untuk berterima kasih. Barulah setelah itu mereka memacu diri mereka agar lebih cepat lagi untuk berlari.
Alden tersenyum getir dari jauh. Melihat ketiga anak itu berlari mengingatkan dirinya tentang masa kecilnya dulu. Nasib mereka hampir sama, yang membedakan hanya dirinya yang saat itu berlari seorang diri.
***
Tiba di perempatan jalan yang sudah sangat sepi, mereka berhenti. Menetralisir rasa lelah dan mencoba menstabilkan napas yang sudah terengah-engah. Malam semakin larut, bahkan waktu sudah menunjukkan hampir pukul 2 pagi. Mereka masih bingung mencari tempat untuk istirahat sementara. Sebelum besok pagi mereka mencoba menghubungi salah satu keluarga mereka.
"Mau istirahat dimana?" tanya Erick, memecah kesan hening yang tercipta.
"Aku gatau." ujar Agatha.
"Yaudah kalau gitu, di depan sana ada tempat bangunan kosong. Kita istirahat disitu saja untuk sementara. Jangan khawatir tempat itu aman kok, soalnya dekat dengan toserba. Gimana? Mau nggak?" timpal Aaron memberi nasihat.
Agatha dan Erick tampak sedang berpikir.
"Lama kalian ah, keburu makin capek."
Aaron pun berjalan meninggalkan keduanya. Ia sudah terlampau lelah saat ini. Ia butuh tempat untuk mengistirahatkan tubuhnya sebentar saja. Melihat Aaron yang pergi begitu saja, membuat Agatha dan Erick mau tidak mau mengikuti langkah Aaron. Mereka juga lelah, ingin mengistirahatkan tubuh juga.
Tibalah mereka di bangunan kosong yang sebenarnya tidak bisa dibilang kosong. Lantaran bangunan itu masih berdiri kokoh dan tidak ada tanda-tanda bahwa bangunan itu akan rubuh. Bangunannya juga terlihat nyaman untuk ditempati.
"Kalian mau langsung tidur, apa makan dulu? Ini makanan dari Letnan masih ada, belum kesentuh sejak kita lari tadi." tanya Agatha.
"Tidur dulu deh, capek juga lari-lari. Mending itu disimpen buat besok." ucap Erick, memutuskan.
Akhirnya semuanya setuju dengan pendapat Erick. Mereka sudah terlalu lelah untuk membiarkan mata mereka terbuka. Setelah membersihkan sedikit bangunan kosong itu, mereka pun tidur di bagian depan bangunan. Makanan yang ada di simpan di samping mereka guna mencegah adanya hewan yang membawa lari makanan itu. Tak butuh waktu lama, mereka akhirnya tertidur dengan sangat pulas hingga keesokan paginya.
Pagi telah tiba, peran bulan sudah tergantikan oleh matahari. Baik Aaron, Agatha dan Erick juga sudah bangun sejak mereka mendengar suara gaduh di toko sebelah. Mata mereka yang semula terpejam, lantas terpaksa terbuka untuk kembali menghadapi realita kehidupan yang ada. Pihak toko yang tinggal di dekat bangunan kosong itu, memerintahkan Agatha, Aaron dan Erick untuk pergi dari tempat itu. Sebab pemilik bangunan itu tidak akan suka jika ada yang menempati bangunan itu. Bangunan kosong itu memang sudah tidak ditempati, tapi bukan berarti bangunan itu berhak ditempati begitu saja. Karena sebenarnya bangunan kosong itu akan dialihkan menjadi sebuah rumah yang layak huni.
"Kalian cepat pergilah, maaf saya sudah membangunkan kalian tiba-tiba. Tapi percayalah ini untuk kebaikan kalian." seru seorang pria yang diketahui bernama, Alex.
"Baik, terima kasih sudah membangunkan kami. Maaf, kalau kami lancang tidur disini. Kalau begitu kami pamit, terima kasih Pak." ujar Aaron, merasa bersalah.
"Tidak apa-apa. Kalian hati-hatilah." ucap Alex mewanti-wanti.
Selanjutnya Aaron, Agatha dan Erick langsung membereskan barang bawaan dan memutuskan untuk angkat kaki dari bangunan kosong itu. Aaron merasa sangat bersalah dengan Agatha dan Erick. Karena dirinyalah mereka akhirnya ditegur. Bukannya memberi kenyamanan untuk ketiganya, malah membawa nasib sial. Aaron merasa gagal.
"Aku meminta maaf, karena pikiran pendekku membuat kita ditegur kayak tadi." sesal Aaron.
Refleks, Agatha dan Erick memberhentikan langkah mereka. Mereka kaget mendengar penuturan Aaron. Ayolah, itu hanya sepele kenapa Aaron merasa sangat bersalah? Lagipula mereka tidak diusir dengan kekerasan, justru ditegurnya dengan sangat baik. Yaa.... Walaupun mereka terpaksa harus membuka mata yang sudah terlanjur nyaman istirahat. Tapi tidak apa-apa, toh memang itu juga salah mereka.
"Oh ayolah, itu bukan salahmu Aaron. Apa perlu aku memanggilmu kakak untuk menutupi rasa penyesalanmu itu? Malah justru kita berterima kasih. Karena kamu, kita bisa istirahat dengan nyaman walaupun sebentar. You look like my brother now, i'm so proud of you. For you too, Erick. Terima kasih. Karena kalian, aku merasa punya keluarga lagi." ucap Agatha.
Apa yang Agatha ucapkan itu bukanlah sebuah kebohongan, melainkan sebuah kenyataan. Sikap Aaron dan juga Erick mulai kemarin malam, membuat Agatha merasa memiliki seorang kakak. Agatha yang terlahir sebagai anak tunggal, tidak pernah merasakan rasanya dilindungi oleh seorang pria yang lebih tua darinya. Walaupun Ayahnya memang baik, justru sangat baik. Ayahnya juga selalu melindungi sosok Agatha. Hanya saja, Agatha juga menginginkan sosok kakak yang bisa melindunginya, yang bisa menyayanginya, persis seperti apa yang teman-temannya rasakan saat mereka memiliki seorang kakak.
Tanpa sadar, mereka telah menjadi sebuah keluarga. Aksi mereka yang saling melindungi satu sama lain, patut diapresiasi dan diancungi jempol. Awal pertemuan mereka yang menyakitkan, memberikan mereka sebuah hikmah besar untuk ketiganya. Yaitu tentang arti menerima, memahami, melindungi, mengikhlaskan dan sabar dengan kondisi yang berpihak bersama mereka saat ini. Is it a wonderfull journey, right? Bahkan belum 24 jam, mereka telah berhasil mengakrabkan diri dan belajar menerima kenyataan bahwa mereka sudah tidak punya keluarga lagi.
"Ya, aku setuju dengan Agatha. Sadar nggak sih, hidup kita udah kayak roller coaster dalam waktu yang cukup singkat. Bahkan nggak sampai 24 jam. But, now i love this situasion, i love my love now. Karena kalian, aku ngerasa punya keluarga lagi. I love you guys! Udah ah, nggak usah ngerasa bersalah, nggak ada yang salah. Setuju nggak?" timpal Erick.
Aaron tersenyum, ia benar-benar tidak percaya dengan respon yang ia dapat. Ia bersyukur, sepertinya ia berhasil membuka hati dan pikiran Agatha dan Erick dalam waktu yang sangat singkat.
"Thank you guys, i love you too. Jujur, kalian udah aku anggep kayak adikku sendiri. Janji buat selalu bersama? Hahahaha." tanya Aaron.
"Hahaha, siap."