Duar!! Boom boom boom!
Terdengar suara bom yang meledak untuk kesekian kalinya. Situasi mendadak menjadi menegangkan. Keadaan yang tadinya damai, tentram, sentosa berubah secepat kilat menjadi sarana peperangan. Detik itu juga, perang terjadi tak terelakkan. Puluhan tank disertai ratusan prajurit datang mengacaukan. Tanpa rasa kasihan, mereka menghancurkan dan membabi buta daerah yang bukan menjadi teritorial mereka. Semua ditembak, tanpa ampun. Demi memuaskan dan memenuhi perintah yang dibebankan ke mereka. Tidak ada yang selamat dari peperangan itu. Kalaupun ada, hanya sedikit diantara banyaknya masyarakat yang tinggal disana. Entah karena apa mereka tiba-tiba datang dan menyergap, menyerang bahkan menembaki siapapun yang tinggal di daerah itu. Siapapun, tanpa terkecuali. Baik yang muda ataupun yang tua, terlepas mereka bersalah atau tidak. Yang jelas prajurit-prajurit itu datang, membuat keadaan yang tadinya tenang, langsung berbanding terbalik saat itu juga.
Para tetua, para remaja, para pria dewasa yang memiliki kemampuan untuk menghadapi situasi peperangan keluar dan mengambil amunisi pistol yang mereka simpan untuk berjaga-jaga. Saat itu juga, mereka ikut andil membantu para polisi di daerah itu. Tapi sayangnya pertahanan mereka sia-sia, tak berlangsung lama banyak dari mereka yang mati tertembak atau bahkan mati karena ledakan bom. Prajurit musuh tidak memberi ampun, semua ditumpas habis. Kedatangan mereka bak tsunami bagi penduduk sana. Mereka pun masih tidak tahu siapa prajurit itu.
"Amankan blokade depan, perintahkan anakanak, para ibu-ibu dan para lansia untuk mencari tempat perlindungan." perintah salah satu tetua.
"Baik."
Peperangan itu masih terjadi, tidak ada yang tahu siapa sebenarnya dalang di balik semua ini. Siapa sebenarnya prajurit itu? Kenapa tibatiba mereka datang membombardir para penduduk di daerah itu dengan ratusan tembakan peluru dan ledakan, di Daerah terpencil di selatan Negara Britania Raya, Inggris.
Barulah ketika para tetua, remaja, pria dewasa dan para polisi yang tengah dilanda kebingungan dan panik, datanglah beberapa deretan mobil jeep hitam yang membuat keadaan terhenti untuk beberapa saat. Keluarlah sosok dari beberapa mobil itu. Ada yang paling mencolok diantara beberapa orang yang ada. Ialah Letnan Alden. Ia adalah letnan yang memimpin peperangan itu.
Peperangan terjadi bukan semata-mata karena ingin menumpah habis penduduk daerah sana. Itu dilakukan sebagai hukuman akibat pelanggaran yang sudah dilakukan pemerintah di daerah itu. Mulai dari perjanjian kedua daerah yang dilanggar. Kemudian dilanjutkan dengan datang membawa senapan dan membunuh beberapa warga, serta para tentara dan polisi di daerah wilayah kekuasaan mereka. Yang mana di perjanjian tertulis itu dituliskan, apabila salah satu daerah melanggar perjanjian dan melakukan aksi pertumpahan darah di salah satu daerah, maka pihak yang menjadi korban diizinkan untuk membalas dengan hal yang serupa. Ibarat kata, darah akan dibalas dengan darah. Itulah dunia politik, memang kejam.
Faktanya, Pemerintah di daerah terpencil itu memang terkenal dengan keegoisan dan kekejamannya. Rakyatnya tidak ada yang berani membantah perintah para anggota pemerintah. Pemerintah pun cendurung tertutup tidak terbuka kepada rakyatnya. Mungkin karena inilah rakyat hanya dijadikan bidak mereka seolah tidak memiliki harga diri dan hak-hak untuk hidup. Sehingga para penduduk tidak ada yang mengetahui tentang perjanjian dan hal-hal apa yang sudah dilakukan oleh para pemerintah.
Peperangan pun berlanjut, setelah Letnan Alden memberitahukan informasi itu dan meminta maaf atas penyerangannya yang tibatiba. Sayangnya, Letnan Alden tidak bisa menghentikan peperangan itu, karena itu sudah menjadi tugasnya sebagai Letnan. Ia tidak bisa, walaupun sebenarnya dalam hatinya tersirat rasa bersalah dan kasihan kepada penduduk di daerah itu. Namun ia tidak bisa apa-apa, sebab perintah dan hukuman harus ditegakkan.
Ketika dirasa sudah tuntas, para prajurit yang dipimpin Letnan Alden pun membersihkan sisa pertempuran itu agar tidak ada pemberitaan yang muncul di radar berita besok paginya. Walaupun peperangan itu bersifat terbuka, tapi tetap peperangan itu bersifat tidak untuk umum. Kalau pemberitaan membongkar kejadian semalam, bisa memicu peperangan yang lebih besar. Oleh karena itu, Letnan Alden memerintahkan juga ke anak buahnya untuk membakar wilayah itu agar ada alibi yang bisa dimanfaatkan semisal ada pemberitaan yang muncul dalam radar berita. Usai membereskan sisa peperangan dan memastikan skenario alibi untuk berjaga-jaga mereka sudah siap dan selesai, barulah mereka kembali ke daerahnya.
Namun ternyata ajaibnya, masih ada yang selamat dari kobaran para prajurit dan tank yang berjaga. Ialah Agatha Greysi, Erick Hans dan Aaron Cole. Kumpulan remaja yang ditakdirkan oleh Tuhan untuk bersatu agar bisa keluar dari arena peperangan itu. Mereka yang belum pernah bertemu dan saling mengenal, dipertemukan oleh Tuhan untuk bersama.
Arrgh, hhh hhh.
Helaan napas mereka yang terengah-engah, terdengar. Mereka terlihat sangat lelah. Bagaimana bisa mereka tidak lelah? Ketika mereka harus berlari secepat kilat mencari tempat perlindungan diri, yang cukup aman untuk mereka singgahi, bom dan tembakan peluru selalu menyertai mereka. Selain itu, nasib keluarga mereka malang sekali. Semuanya telah mati meninggalkan mereka seorang diri. Bukan suatu kebetulan mereka bisa bertemu disini. Percayalah, ini sudah skenario yang Tuhan takdirkan untuk mereka bertiga.
"Apa kita sudah cukup jauh dari mereka?"
Ialah Agatha yang bertanya. la adalah satusatunya yang berjenis kelamin perempuan diantara mereka bertiga.
"Ya, aku rasa sudah cukup jauh. Tapi kita tidak bisa berhenti disini. Aku yakin para prajurit itu akan melakukan patroli. Ayo kita
lanjutkan." ujar Erick memberi nasihat.
"Hold on. Kita istirahat dulu sebentar. Oh iya aku hampir lupa, kenalin aku Aaron. Kalian siapa? Kita belum sempat kenalan, karena terlalu sibuk berlari daritadi." timpal Aaron.
"Aku Erick, salam kenal."
"Aku Agatha. Salam kenal juga."
Ketiganya mengangguk takzim, masih merasa asing dengan pertemuan ini. Pertemuan yang tidak pernah terpikirkan oleh mereka sebelumnya. Saat ini, mereka sudah tidak memiliki keluarga. Keluarga mereka telah mati akibat tembakan dan bom yang dilayangkan oleh para prajurit yang dipimpin Letnan Alden itu. Dibawah sinar rembulan, kini mereka bertemu.
Pertemuan itu terjadi, saat mereka melihat para tetua, polisi, pria dewasa dan beberapa remaja yang tengah membuat blokade untuk mencegah para prajurit masuk ke wilayah mereka. Termasuk ayah dan saudara mereka. Tadinya Aaron beserta Hans ingin membantu ayah mereka, yang sedang berjuang bahu membahu. Tapi sayangnya tidak diizinkan. Begitu juga dengan Agatha. Justru ayah mereka yang baru akrab setelah peperangan terjadi, meminta mereka bertiga untuk pergi dan memimpin rombongan ibu-ibu dan anakanak, agar bisa keluar dari zona peperangan ini.
Akhirnya tanpa banyak bicara mereka memimpin rombongan itu dengan membawa panci, wajan, sapu dan benda apapun yang bisa dibawa untuk melindungi mereka. Perjalanan mereka ini tergolong sangat berbahaya. Di bawah tekanan serta hantaman peluru dan bom yang terus dilontarkan tanpa henti, membuat perjalanan ini menjadi sangat menegangkan. Karena mereka bisa saja mati kapanpun. Beberapa dari rombongan pun sudah ada yang mati. Begitu juga blokade yang dipimpin para tetua dan polisi. Suasana benarbenar menegangkan. Muka pias ketakutan terlihat jelas di wajah para penduduk. Namun mereka tidak bisa apa-apa, selain bertahan sebisa mereka dan pergi dari daerah itu secepat yang mereka bisa.
Tepat di saat rombongan yang dipimpin Aaron, Erick dan Agatha berjalan, saat itulah mereka bertiga melihat sudah tidak ada harapan lagi untuk mereka bertahan. Para tetua, polisi dan beberapa penduduk yang membentuk blokade telah mati. Semuanya. Termasuk ayah dari mereka bertiga. Keluarga mereka yang berada di rombongan pun mati. Baik Ibu dan saudara mereka. Semuanya mati layaknya remahan roti yang berjatuhan dengan gampangnya. Kini tinggal beberapa orang saja yang masih bertahan.
Aaron yang melihat mayat ayah, ibu dan penduduk lain terbaring tak berdaya, langsung memerintahkan yang tersisa agar lari menjauh dari area peperangan itu secepat mungkin.
"Lari, pergi darisini cepat!" perintah Aaron tegas. Helaan napasnya terdengar, amarahnya memuncak.
Agatha, Erick dan yang lain tatkala mendengar aba-aba Aaron pun bergegas lari mengikuti Aaron. Napas mereka tersengal, emosi mereka memuncak. Kilatan marah terlihat, mereka semua muak dengan rezim di daerah itu dan prajurit yang dipimpin Letnan Alden. Karena rezim pemerintah daerah itu, membuat keluarga mereka mati. Mati, nyaris tak tersisa. Bahkan mereka belum sempat mengucapkan selamat tinggal. Belum sempat memeluk keluarga mereka untuk terakhir kalinya, tapi akibat ulah pemerintah dan prajurit musuh semuanya kacau balau tak terkendali.
Nahasnya di tengah perjalanan mereka lari dari arena itu, salah satu prajurit melihat mereka dan langsung menembakkan peluru yang membuat beberapa orang yang tersisa mati sia-sia. Kini tinggal Aaron, Agatha dan Erick yang masih hidup. Mereka pun memanfaatkan detik krusial yang ada untuk memacu lebih cepat kaki mereka, sampai mereka tiba di bawah jembatan yang jaraknya cukup jauh dari arena pertempuran.
Itulah awal kisah perjalanan mereka.
Perjalanan panjang menggenggam erat luka, kecewa, amarah dan dendam menjadi emosi yang lebih tersalurkan ke arah positif dan sefrekuensi dengan universe. Disini hal-hal yang tidak masuk akal, akan terdengar masuk akal ketika mereka memulai pengembaraan mereka. Ya, selamat datang di, Are you here?