"Hai, Ca."
Dunia seakan berhenti berputar saat Deca menoleh ke arah pria yang memanggilnya. Mata wanita itu terbelalak. Sendok yang ia pegang terjatuh secara perlahan dari tangannya.
"Argi?" gumam Deca dengan suara tercekat.
Kalau ada hari yang paling mengejutkan dalam hidup Deca, mungkin inilah hari tersebut. Pria yang terpaksa dia tinggalkan 9 tahun yang lalu, sekarang sedang berdiri tegak di hadapannya seraya tersenyum manis.
Deca cepat-cepat memalingkan wajah ke arah ponselnya. Ia sungguh tidak tahu apa yang dilakukannya sekarang. Alhasil, Deca hanya bisa berpura-pura memainkan ponselnya tersebut.
Sementara itu, Argi tidak kalah terkejutnya dengan Deca. Ia tidak menyangka wanita yang selama ini selalu ada dalam pikirannya sekarang sedang duduk seorang diri di hadapannya.
Argi sungguh tidak bisa melepaskan pandangan dari wajah Deca yang sekarang tampak semakin cantik daripada terakhir kali mereka bertemu.
Rambut panjang Deca terikat dengan rapi. Tubuhnya mungkin tidak lebih dari 160 cm. Lekuk tubuhnya sempurna. Hidung mancungnya berpadu dengan sebuah bibir mungil yang menggemaskan. Kulit putih Deca mulus tanpa luka sedikit pun. Perfect. Deca adalah wanita tercantik yang pernah Argi lihat.
"Dari tadi aku memerhatikanmu dari meja yang di sana." Argi akhirnya memilih untuk memecah keheningan.
"Aku berpikir kalau aku sepertinya mengenali wanita cantik yang sedang duduk sendirian ini. Ternyata aku benar. Wanita itu ternyata adalah orang yang meninggalkanku beberapa tahun lalu," sambung Argi.
Argi tersenyum tatkala melihat Deca tersentak saat mendengar ucapannya. Argi tentunya sadar dirinya terkesan mencari perkara di awal pertemuan mereka setelah bertahun-tahun tidak berjumpa.
"Ah, dalam keadaan terkejut seperti itu saja, kamu masih mampu membuatku terpikat, Ca," batin Argi.
Deca sepertinya enggan untuk menjawab. Sebuah senyum canggung terbit di wajahnya. Ia segera menyeruput segelas es orange untuk menghilangkan kecanggungan yang menyelubunginya.
Sejujurnya Deca tengah menetralkan detak jantungnya saat ini. Kehadiran Argi terlalu tiba-tiba baginya. Selama ini ia sudah terbiasa hidup tenang tanpa kehadiran pria yang memiliki tatapan tajam itu.
"Kamu terkejut karena bertemu denganku, Ca? Sama. Aku juga. Sungguh kejutan yang sangat tidak terduga, bukan?" ujar Argi lagi.
Deca hanya tersenyum kecil tanpa menjawab ucapan Argi. Bukan main terkejutnya wanita itu ketika Argi tiba-tiba menarik kursi di depannya. Pria itu bahkan memesan segelas cappucino kepada seorang waiter.
Argi memandangi wajah Deca yang terlihat tidak nyaman dengan keberadaannya. Mengingat wanita itu sepertinya tidak berniat sedikit pun untuk membalas ucapannya, Argi kembali bersuara. "Bagaimana kabarmu, Ca? Sudah lama juga, ya, kita tidak berjumpa. Untung saja aku masih mengenalimu karena wajahmu tidak berubah banyak. Kamu masih saja secantik dulu."
Deca tersentak. Ia sontak melemparkan pandangannya kepada Argi. Deca kemudian sadar kalau dirinya sudah salah bersikap. Untuk apa juga ia diam sejak tadi. Argi bisa-bisa menganggapnya sudah berubah menjadi wanita yang sombong.
Lagipula, mengapa juga pipinya harus memerah? Mengapa ia harus terkejut berlebihan? Orang yang duduk di hadapannya hanyalah Argi. Pria yang seharusnya sudah ia lupakan. Pria itu bukan siapa-siapa lagi baginya sekarang. Jadi, seharusnya Deca bisa bersikap biasa saja.
"Kabarku baik, Gi. Kamu sendiri bagaimana? Oh, iya ya. Sudah lama juga kita tidak berjumpa," ujar Deca sambil membalas senyum Argi.
"Keadaanku baik. Boleh aku minta donatmu?" tanya Argi sambil menunjuk ke arah piring Deca.
Deca tidak tahu apa yang harus dia katakan. Dengan kikuk, ia kemudian menyorongkan piring donat yang dipesannya tersebut kepada Argi, walaupun sebenarnya hatinya terpaksa.
Melihat kegugupan Deca, Argi sontak tertawa. Ia meraih sebuah donat yang disodorkan Deca kemudian menggigitnya perlahan.
"Donatnya enak," komentar Argi.
Deca hanya tersenyum kecil sebagai respon. Sungguh. Ia benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Apakah lebih baik ia pulang saja?
"Oh, ya. Sudah berapa lama kita tidak bertemu? Sembilan tahun, ya?" gumam Argi sambil menutup mata. Itu adalah ciri khas seorang Argi jika sedang mengingat sesuatu.
Argi kemudian menyadari kalau langkah yang diambilnya itu ternyata salah. Sekarang, ia justru mengingat masa-masa itu. Masa di mana Deca masih ada di sisinya.
Deca menganggukan kepala. Seingatnya, memang sudah 9 tahun sejak terakhir kali mereka bertemu. Menyisakan kenangan yang sampai saat ini masih samar di ingatan Deca, meskipun ia sudah berusaha keras ingin melupakannya.
"Aku masih selalu mengingatmu sampai sekarang, Ca."
Deca lagi-lagi tersentak mendengar pengakuan mengejutkan dari Argi. Sementara itu, Argi sudah tidak peduli lagi dengan ekspresi apa pun yang akan ditunjukkan oleh Deca.
Kerinduan yang begitu lama Argi simpan kini memberontak, memaksa pria itu untuk merengkuh kembali tubuh wanita yang sangat dirindukannya itu.
Kalau boleh jujur, Argi sangat tidak menyangka dirinya akan kembali dipertemukan dengan Deca di kafe yang bernama Kafe Tanjung ini. Kabar terakhir yang ia dengar, Deca sudah dibawa oleh ayahnya ke negara lain.
"Kamu belum mengganti merek parfummu Ya, Ca. Itu kan bau parfum yang dulu sering kita pakai bergantian," ujar Argi sambil mengunyah donat yang ia minta kepada Deca.
Takut Argi akan salah paham dengan hal tersebut, Deca cepat-cepat mengklarifikasi, "kebetulan aku suka dengan bau parfum ini. Makanya aku memakainya. Tidak ada maksud apa pun."
Argi manggut-manggut tanda mengerti. Kemudian, secara tidak sengaja, matanya tertuju kepada cincin yang dikenakan oleh Deca. Argi tertawa kecil. Ternyata cincin pemberiannya masih melingkar di jari wanita itu.
"Ternyata cincin itu masih kamu pakai, ya."
Deca segera berdiri dari duduknya. "Aku pulang duluan, Argi," ujarnya dengan tergesa-gesa.
Tanpa memerdulikan respon Argi, Deca bergegas menuju meja kasir agar bisa melarikan diri secepatnya dari hadapan Argi. Sungguh, Deca tidak ingin kehilangan akal dan mengulang kesalahan lama dengan cara kembali ke pelukan Argi.
Sayangnya, gerakan Argi lebih cepat daripada gerakan Deca. Pria itu langsung berdiri mengejar Deca dan menarik tangan wanita tersebut. Tindakan Argi itu membuat Deca urung membayar makanannya.
"Lepaskan aku, Gi. Aku ingin membayar makananku," ujar Deca sambil berusaha melepaskan tangannya.
"Baiklah. Biar aku saja yang membayar."
"Jang--"
Terlambat! Argi sudah berjalan terlebih dahulu menuju kasir. Ia membayar makanan dan minuman miliknya sertal Deca.
Deca tidak bisa melarang Argi. Jadi, ia putuskan saja untuk cepat-cepat pergi dari sana. Ia segera berlari menuju mobilnya sebelum Argi sempat mengejarnya.
Sayangnya, Argi selesai membayar lebih cepat dari yang Deca perkirakan. Pria itu langsung mengejar Deca dan mencekal tangan wanita itu dengan kuat.
"Apa-apaan ini, Gi? Lepaskan! Aku ingin pulang!"
Argi tidak memerdulikan teriakan dan penolakan Deca itu sedikit pun. Ia justru menarik tubuh Deca menuju mobil BMW miliknya, kemudian membuka pintu depan dan memaksa Deca untuk memasuki mobilnya.
"Tolong jangan membuatku marah, Gi. Aku mau pulang!" bentak Deca saat Argi sudah duduk di kursi kemudi.
Deca menatap tajam ke arah Argi. Bukannya takut, pria yang Deca tatap justru ikut menatapnya dengan tatapan yang tidak kalah tajam.
Deca mendadak memalingkan wajahnya. Jantung wanita itu berdegup kencang. Ia merasa harus menghindari sorot mata Argi agar dirinya tidak jatuh ke dalam jerat yang sama.
"Aku ingin berbicara denganmu sebentar saja. Please, datang ke rumahku sebentar ya?" kata Argi dengan sorot mata memohon.
Deca kebingungan saat melihat Argi menangkupkan kedua tangannya di depan. Bagaimana ini? Mana mungkin ia menuruti permintaan gila Argi tersebut. Namun, ia sungguh tidak tahan melihat Argi memohon seperti itu.
"Tidak, Argi. Maaf. Aku tidak bisa ikut denganmu, tolong buka pintu mobilmu sekarang!" mohon Deca. Sungguh. Ia benar-benar tidak bisa mengikuti kemauan Argi itu.
Deca menjerit saat Argi tiba-tiba melajukan mobilnya dengan kencang. Pria itu ternyata tetap bersikeras untuk membawa Deca menuju rumahnya.
Deca terpaksa mengalah karena dia tidak mungkin membuka pintu mobil kalau bukan Argi sendiri yang membukakannya. Deca sungguh tidak habis pikir dengan tindakan nekat pria tersebut.
Diam menahan amarah. Hanya itulah yang bisa Deca lakukan di sepanjang perjalanan. Ia tersentak saat 16 menit kemudian Argi tiba-tiba berseru, "sampai!"
Saat melihat rumah yang dimaksud Argi, Deca langsung terperangah. Ia tidak menyangka Argi akan membawanya ke rumah ini. Rumah yang sangat dikenal Deca dengan baik.
Rumah yang mereka huni 9 tahun lalu.