18+
Deca menangis dalam diam di bawah siraman air shower. Ia masih mengenakan pakaian yang dikenakannya saat tidak sengaja berjumpa dengan Argi tadi siang.
Tidak dapat dipungkiri, Deca merasa kotor dan hina. Sungguh, ia benar-benar menyesali apa yang sudah telanjur terjadi hari ini. Deca sendiri tidak mengerti apa yang ia pikirkan saat akhirnya membiarkan Argi menikmati bibirnya sekali lagi.
Ketika malam tiba, rasanya Deca tidak ingin suaminya pulang ke rumah. Ia tidak sanggup melihat wajah Rafa. Deca juga takut berinteraksi dengan pria yang sudah dikhianatinya tersebut.
Sayangnya, waktu tentu saja terus bergulir. Suara pintu rumah yang diketuk membuat Deca terpaksa beranjak membukakan pintu untuk sang suami. Ibu mertuanya pasti tidak mau repot-repot membukakan pintu rumah.
Deca memaksakan senyum ketika suaminya bertanya mengapa wajahnya terlihat sedih. Deca menjawab kalau dirinya hanya sedang tidak enak badan. Tidak mungkin Deca berkata jujur kalau dirinya sudah berkhianat. Rafa pasti akan menceraikannya saat itu juga.
Sungguh, kehilangan Rafa adalah mimpi buruk yang sangat tidak diinginkan oleh Deca.
"Raden masih di rumah omanya?" tanya Rafa saat mereka makan malam bersama. Di meja makan yang sama, duduk Ibu Risma, Ibu Mertua Deca.
Deca mengangguk kecil. "Aku belum sempat jemput dia," jawabnya.
"Tadi istrimu itu pulang ke rumah dengan mata sembab. Mama sudah bertanya ada apa dengannya, tapi dia tidak mau menjawab. Coba kamu saja yang bertanya, Fa. Siapa tahu istrimu itu berulah di luar sana," ujar Ibu Risma dengan nada yang tidak enak didengar.
"Benar begitu, Ca?" tanya Rafa kepada Deca.
Deca gelagapan. Ia sungguh tidak menyangka ibu mertuanya akan melaporkan hal itu kepada Rafa. Ia kemudian terpaksa mengarang cerita agar Rafa tidak bertanya lagi kepadanya.
"Tadi saat perjalanan pulang, aku melihat seorang pengemis yang berjalan hanya dengan sebelah kakinya. Aku menjadi kasihan dan terharu melihat pengemis tersebut," ujar Deca berbohong.
"Alah. Masa hanya karena melihat pengemis, lalu menangis sampai matamu bengkak seperti itu? Istrimu itu pasti berbohong, Fa!" seru Ibu Risma memanas-manasi Rafa.
Deca tidak berusaha membantah ucapan ibu mertuanya. Percuma saja. Ujung-ujungnya pasti bukan ia yang dibela oleh Rafa. Suaminya itu selalu lebih mengutamakan ucapan ibunya sendiri, meskipun ucapan yang salah sekalipun. Bagi Rafa, menghormati orang tua adalah hal yang paling utama dalam hidup.
Setelah acara makan malam itu selesai, Deca segera membawa seluruh barang yang ada di atas meja menuju dapur, sementara ibu mertuanya sudah masuk ke kamar.
"Kamu cantik malam ini," kata Rafa sambil menyentuh lembut bahu Deca yang sedang mencuci piring.
"Raf, aku sedang ada pekerjaan," sahut Deca sambil tertawa kecil. Ia kegelian akibat permainan jari Rafa di bahunya.
"Sudah, besok saja mencuci piringnya. Temani aku dulu menuju surga malam ini."
Deca tersenyum geli. Ia memegang tangan Rafa yang kini mulai turun ke pinggangnya. Ditariknya tangan Rafa itu perlahan sambil memutar tubuh.
"Kamu nakal sekali, Raf."
"Ca." Rafa memanggil nama Deca dengan pelan saat istrinya itu menariknya menuju kamar.
"Hm? Kamu ingin surga, 'kan? Ayo kita mencari surga."
Pernikahan Deca dan Rafa sudah berjalan selama tiga tahun. Meskipun begitu, Deca selalu memiliki cara agar Rafa tidak pernah kecewa dengan service yang ia berikan. Deca tahu bagaimana caranya membuat suaminya itu bertekuk lutut sepanjang malam. Rafa tidak pernah bisa menolak pesona Deca yang dikaruniai Tuhan dengan tubuh yang begitu sempurna.
Deca mulai menduga-duga. Mungkin tubuhnya itulah yang membuat Argi tidak pernah bisa melupakannya. Oh Tuhan! Deca seketika sadar kalau dia mengingat pria lain saat bercumbu dengan suaminya sendiri. Deca cepat-cepat mengusir bayangan Argi dari pikirannya tersebut.
"Ada apa?" tanya Rafa yang menyadari perubahan raut wajah Deca.
"Kamu tahu, Raf. Aku sedang bersyukur kepada Tuhan sekarang ini," gumam Deca.
Rafa seketika tertarik mendengar ucapan Deca. "Bersyukur karena apa?" tanyanya.
Sebuah senyuman kembali terukir di bibir Deca. "Aku sangat bersyukur karena dikaruniai suami sebaikmu. Kamu itu segalanya bagiku, Raf."
Rafa mengerang saat Deca sesekali memainkan dadanya. Melihat Rafa yang sudah semakin tidak berdaya, Deca menjadi tergerak untuk kembali menggoda pria tersebut. "Kamu menyerah?"
Rafa menggelengkan kepalanya. Kata menyerah tidak pernah ada dalam daftar kamus hidupnya. Istrinya itu harus diberi pelajaran karena sudah berani membuat geloranya meluap seperti sekarang ini.
"Aw!" pekik Deca ketika Rafa mendorong tubuhnya secara tiba-tiba. Pria itu bergegas menimpa tubuh Deca. Posisi mereka terbalik sekarang. Rafa tersenyum usil sambil memandangi mata Deca lekat-lekat.
"Sekarang sepertinya kamu yang akan menyerah," ujar Rafa dengan suara serak. Ia segera menggelitik pinggang Deca. Tawanya pecah saat Deca meminta ampun dan memintanya untuk berhenti.
"Terima kasih sudah berhenti menggelitikku, tapi aku belum kalah!" seru Deca sambil memeletkan lidahnya.
"Ah, ya? Masih berani nakal rupanya, ya. Awas saja, ya. Akan kubuat dirimu menyesal karena sudah meledekku seperti itu!"
Malam itu Deca mencoba berusaha keras untuk menikmati percintaannya dengan Rafa. Ketika melihat senyum tulus yang Rafa persembahkan kepadanya setelah bercinta, rasa bersalah yang Deca rasakan semakin menggunung berkali-kali lipat.
'Maafkan aku, Raf. Aku tidak bisa menceritakan kepadamu tentang kejadian buruk tadi kepadamu. Kau pasti tidak akan mau memaafkanku.' batin Deca.
Andai saja waktu bisa diulang, Deca pasti tidak akan datang lagi ke kafe yang mempertemukannya dengan Argi tadi. Keputusannya untuk menikmati 'me time' di kafe itu ternyata adalah salah besar. Andai saja Deca tidak datang ke sana, ia pasti tidak akan pernah bertemu lagi dengan mantan pacarnya tersebut.
"Aku sayang sekali kepadamu, Raf."
"Beraninya kamu menggombaliku, Ca. Pasti ada sesuatu yang kamu inginkan. Apa itu, hem? Laptop baru?" goda Rafa.
Deca mengerucutkan bibirnya. Tingkahnya itu tentu saja membuat sang suami tidak tahan untuk menggigit kecil bibir mungil tersebut.
"Raf, apakah kamu mencintaiku?" Entah dorongan apa yang membuat Deca tiba-tiba bertanya seperti itu.
Rafa tersenyum seraya mengelus bahu Deca. "Apakah ada alasan yang akan membuatku tidak mencintaimu? I love you so much, Ca," jawabnya.
Jawaban Rafa tak ayal membuat pipi Deca merona. Ditambah lagi Rafa mengatakan hal semanis itu seraya menatap Deca tepat di matanya. Tatapan Rafa terlihat berlumur dengan cinta. Hati Deca menjadi berbunga-bunga dibuatnya.
Kehadiran Argi menyadarkan Deca kalau cintanya kepada Rafa ternyata sangat besar. Selama ini, Deca selalu berpikir kalau Argi mengisi porsi yang lebih besar di hatinya. Namun, saat bertemu kembali dengan Argi, Deca justru merasa gelisah. Ia akhirnya sadar kalau posisi Argi di hatinya sudah digantikan oleh Rafa sepenuhnya.
"Deca, keningmu mengkerut. Ada ap--"
Dering ponsel Rafa mengurai jarak di antara sepasang suami istri tersebut. Rafa urung melanjutkan kata-katanya. Ia lebih memilih untuk segera meraih ponselnya yang terletak di atas nakas.
"Astaghfirullah," gumam Rafa saat membaca chat yang masuk ke ponselnya. Wajahnya terlihat keruh seketika.
Deca yang melihat perubahan wajah suaminya itu langsung bertanya, "ada apa, Raf?"
"Ca, rekan kerjaku kecelakaan. Aku harus melihat keadaannya," jawab Rafa dengan nada khawatir.
"Siapa yang kecelakaan, Raf?" tanya Deca lagi.
Rafa tampaknya terlalu buru-buru sampai tidak menjawab ucapan Deca. Ia hanya mencium kening istrinya tersebut lalu bergegas keluar dari kamar.
Sikap Rafa tak ayal membuat Deca sedikit risau. Mengapa suaminya itu terlihat sangat khawatir seperti itu? Apakah kecelakaannya parah? Atau jangan-jangan ... Rafa berbohong?
Bagaimana kalau ternyata Rafa ingin mendatangi wanita lain? Deca seketika takut dengan pikirannya sendiri. Ia mengetuk pelan keningnya dan bergumam, "suamimu itu setia, Deca! Yang tidak setia itu dirimu!"
Daripada terus saja berkutat dengan pikiran-pikiran buruknya, Deca kemudian memutuskan untuk memeriksa ponselnya. Siapa tahu ada pesan yang terlewat olehnya.
Deg.
Deca seketika menyesali keputusannya. Detak jantungnya tidak karuan saat mendapati puluhan panggilan tidak terjawab dan juga lima buah pesan dari nomor tidak bernama.
Meskipun Deca belum membaca pesan tersebut, ia sudah bisa menebak kalau Argi lah yang mengirimkan itu semua.
"Aku tidak peduli apakah kamu sudah memiliki suami atau belum, Ca. Kupastikan kamu akan kembali ke pelukanku tidak lama lagi. Aku benar-benar mencintaimu. Besok temui aku di kafe tadi, ya. Kalau kamu tidak datang, maka aku yang akan mendatangimu."