Aneska tidak menjawab apa yang ditanyakan Seli padanya. Mau dijelaskan pun tidak akan merubah keadaan.
Laras yang mengerti akan Aneska, sedikit memberi penjelasan kepada Seli. "Aneska itu orang sibuk, dia tidak ada waktu hanya untuk mengikuti setiap kegiatan anggota OSIS. Lagian ngapain sih, kamu ingin tahu saja urusan orang?" kata Laras.
"Tidak ada maksud apa-apa aku hanya bertanya saja. Aneska ini pintar. Bahkan, jangankan jadi sekretaris OSIS jadi ketuanya pun pasti mampu," kata Seli lagi.
"Ngapain sih membahas itu, sebentar lagi juga OSIS bubar, diganti dengan yang baru," ucap Aneska membuka pintu kelas yang masih tertutup karena anak-anak belum ada yang masuk.
"Iya," jawab Seli. "Tahu nih Seli."
Aneska duduk dikursinya dan menaruh jus yang dari tadi dipegangnya di meja, begitu pun dengan Laras yang duduk disebelahnya. Seli sendiri langsung duduk dimeja di depan mereka.
"Aku ingin cepat-cepat besok, rasanya sudah tidak sabar ingin melihat tamu dari kota. Kira-kira mereka seperti apa ya?" tanya Seli.
"Seperti oranglah, kamu pikir seperti apa? Kamu ini aneh sekali, seperti tidak pernah melihat manusia dari kota saja. Bukankan saudaramu juga ada yang tinggal di kota?" tanya Laras.
"Iya ada, tapi itukan saudara sendiri. Yang inikan beda," jawab Seli. "Aku berharap tamunya semua laki-laki ganteng."
"Kitakan tidak tahu yang datang itu siapa? Guru tidak memberi tahu kita," kata Aneska.
"Iya ya," jawab Seli baru sadar.
Tidak lama anak-anak yang selesai menghabiskan waktu istirahatnya kembali ke kelas, setelah bel tanda masuk kembali berbunyi.
.....
Waktu terus berjalan, hari telah berganti menjadi malam. Jauh dari heningnya pedesaan yang berjarak ratusan kilometer. Di sebuah rumah mewah, di dalam kamar utama nampak seorang wanita yang cantik dengan pakaian yang serba modis sedang duduk melihat sebuah majalah keluaran terbaru.
Terdengar pintu diketuk dari luar beberapa kali.
"Masuk! Tidak dikunci," teriaknya.
"Nyonya Serlin. Ini jus yang tadi dipesan," kata Bi Sumi setelah membuka pintu.
"Taruh di sini Bi," kata Serlin melihat ke arah pintu.
Bi Sumi segera masuk dengan membawa nampan kecil yang diatasnya terlihat segelas jus lengkap dengan topingnya langsung menaruhnya di atas meja.
Setelah selesai, Bi Sumi segera bergegas ke luar tetapi Serlin bertanya sesuatu sehingga menghentikan langkah Bi Sumi.
"Bi," panggilnya. "Apa tadi Tuan bilang mau pergi ke mana?" tanya Serlin melihat Bi Sumi.
"Tidak, hanya bilang akan ke luar saja mungkin pulangnya malam," jawab Bi Sumi.
"Tidak bilang akan pergi ke mana?" tanya Serlin memastikan.
"Tidak," jawab Bi Sumi. "Perginya juga buru-buru."
Serlin terdiam beberapa detik. "Ya sudah, siapkan saja makan malam."
"Iya Nyonya," jawab Bi Sumi pergi meninggalkan Serlin yang sedang merenung.
"Ke mana perginya Ervin? Temanku bilang katanya kemarin melihat Ervin berada di klub malam dengan teman temannya sedang minum-minum. Sekarang dia pergi ke mana lagi? Ini sudah malam tapi belum pulang juga," gumam Serlin.
Satu jam telah berlalu tetapi Ervin belum pulang juga. Serlin mondar mandir di dalam kamar. Makan malam yang telah disiapkan Bi Sumi dari tadi, sudah tidak menarik perhatian Serlin lagi.
"Ke mana Ervin? Apa ini yang dilakukannya kalau aku tidak ada di rumah? Selalu pulang larut malam?" tanyanya sendiri.
Serlin sudah mengganti pakaiannya dengan baju tidur, rasa kantuk sudah mulai menguasai dirinya ketika pintu kamar di buka dari luar. Nampak Ervin baru pulang dengan wajah yang memerah dan tercium bau alkohol dari mulutnya.
"Ke mana saja kamu? Jam segini baru pulang?" tanya Serlin yang langsung berdiri di depan Ervin.
Ervin tersenyum sinis melihat Serlin. "Apa urusanmu? Aku mau pergi kemanapun tidak ada urusannya denganmu," jawab Ervin.
"Tentu saja ada urusannya denganku. Kamu suamiku dan aku berhak bertanya ke mana kamu pergi," jawab Serlin galak.
Ervin tidak menjawab, dibukanya jaket kulit yang dia pakai lalu dilemparkannya ke kursi yang ada didekatnya.
"Seperti itu? Kamu berhak bertanya padaku, ke mana aku pergi?! Sementara dirimu sesuka hati datang dan pergi ke rumah ini!! Rumah ini lebih pantas di sebut hotel buatmu dari pada sebuah rumah!!" Teriak Ervin dengan mata yang memerah.
Serlin terkesiap mendengar teriakan Ervin, apalagi suasana yang sedang sepi. Kantuk yang tadi menyerangnya seketika hilang.
"Kenapa diam?! Betul bukan, apa yang aku katakan tadi?!!" tanya Ervin menatap Serlin dengan sinis.
"Tapi aku pulang dan pergi karena ada alasannya! Tidak seperti dirimu yang keluyuran tidak menentu. Bahkan temanku bilang, kemarin dia melihatmu sedang berada di klub malam bersama temanmu dan wanita penghibur!" Teriak Serlin tidak mau kalah.
Ervin tertawa. "Apa yang temanmu katakan memang betul. Aku kemarin berada di klub malam bersama temanku dan kami bersenang senang."
"Brengsek! Aku pergi karena bekerja tapi kamu pergi untuk bersenang senang?! Kurang ajar!!" Teriak Serlin.
Ervin tertawa lagi, melihat wajah Serlin yang menahan amarah. "Bekerja? Alasan!! Aku bisa mencukupi apa yang kamu inginkan, bahkan dari dulu aku sudah menyuruhmu untuk berhenti. Aku bisa memenuhi semua kebutuhanmu bahkan lebih. Menjadi seorang model hanya alasan untukmu agar kamu bisa bebas pergi ke mana saja!!"
"Apa maksudmu? Kamu menuduhku berbuat yang tidak benar di luar sana?!" tanya Serlin.
"Aku tidak menuduhmu, itu hanya pemikiran kamu sendiri." Ervin kemudian menatap tajam mata Serlin yang hitam. "Kenapa kamu punya pikiran ke sana? Apa kamu berbuat sesuatu di luar sana yang aku tidak tahu?!" tanya Ervin menyelidik.
Serlin tidak menjawab, mata yang tadi dengan berani menatap iris mata Ervin sekarang mengalihkan pandangannya. Wajahnya terlihat gugup.
Ervin semakin menatap curiga. "Kenapa tidak menjawab?! Mana keberanianmu yang tadi berteriak kepadaku?"
"Tidak ada gunanya aku bicara dengan orang mabuk!" Ucap Serlin mengalihkan pembicaraan, lalu bergegas pergi ke luar dari kamar.
"Serlin! Serlin!! Aku belum selesai bicara! Kembali kamu!" Teriak Ervin ditengah keheningan malam.
Serlin tidak mempedulikan teriakan Ervin. Langkahnya terus menuju ke dapur mencari lemari pendingin. Diambilnya botol air mineral dan langsung diteguknya hingga setengahnya habis.
"Aku yang seharusnya marah padanya tapi kenapa jadi aku yang dipojokkan?! Sialan!" gumamnya dengan meneguk kembali minumannya. "Jangan sampai Ervin tahu dengan apa yang kulakukan di luar. Sialan!" Gerutunya kesal.
Ervin yang masih berdiri belum beranjak dari tempatnya tadi, hanya bisa memijit pelipisnya yang terasa pening setelah pertengkarannya dengan Serlin.
"Kenapa setiap ada Serlin di rumah hanya pertengkaran yang mewarnai rumah tangga ini? Akan jadi seperti apa nanti kedepannya? Rumah ini sudah tidak nyaman lagi bagiku. Apa yang harus aku lakukan untuk memperbaiki ini semua?" keluh Ervin bicara sendiri.