Selamat Membaca
Indah memang sering membuat nama panti bu Asri ini terkenal dengan anak-anak asuh nya yang cerdas - cerdas dan mandiri ditambah lagi cucunya opa Baskoro yang tinggal di panti, Arin selama tinggal di panti mendapatkan kemajuan pesat dalam pemulihan ingatannya dalam enam bulan akhirnya ingatan Arin pulih kembali dan perawat Arin masih dipekerjakan di panti sama Opa nya karena untuk menjaga kesehatan cucunya begitu pun dokter yang di
Indah memang sering membuat nama panti bu Asri ini terkenal dengan anak-anak asuh nya yang cerdas - cerdas dan mandiri ditambah lagi cucunya opa Baskoro yang tinggal di panti, Arin selama tinggal di panti mendapatkan kemajuan pesat dalam pemulihan ingatannya dalam enam bulan akhirnya ingatan Arin pulih kembali dan perawat Arin masih dipekerjakan di panti sama Opa nya karena untuk menjaga kesehatan cucunya begitu pun dokter yang dibawa dari luar negeri itu pun di masukan ke dalam rumah sakit punya Opa di kota A.
Kepulangan Arina yang mengikuti lomba baca puisi bahasa Jerman dan lomba Olimpiade Sains juga kepulangan Indah dalam mengikuti lomba Olimpiade matematika itu menjadi kebanggaan pantinya bu Asri.
POV Arina
Selain pengorbanan secara medis yang ku dapatkan aku juga menceritakan pengalaman alternatif yang bu Asri lakukan.
Saat kamu tak ingat apa pun yang menyebabkan kamu ada dalam keadaan demikian, jangan terlalu percaya pada perkataan orang lain. Kata-kata yang terlalu teratur kadang hanya untuk mengelabui dirimu.
"Kamu adalah orang baik. Semua orang menyukaimu. Kamu punya hati yang tulus dan selalu tersenyum. Kemanapun kamu pergi semua orang akan menerima kamu." Tarikan nafasnya yang pelan terdengar samar.
"Arina, kamu akan masuk dunia baru, hidup baru. Lupakan hal-hal yang tidak patut diingat dan terbanglah, raih impian kamu. Kamu masih muda, jalan kamu masih panjang. Tetap jadi orang baik dan terus berjalan maju."
Aku membuka mata, sesi kali ini terasa berbeda. Biasanya Ibu Asri hanya meminta ku menceritakan aktivitasku selama beberapa bulan yang ku lalui. Untuk saat ini, sangat terasa Ibu Asri mencoba memberi sugesti padaku.
"Aku kan cuma pergi sebentar, Bu, kenapa kata-katanya seperti diminta untuk tidak pulang?"
Ibu Asri tersenyum, senyum yang sama setiap kali akan menjawab pertanyaan ku, agak datar dan sedikit aneh untukku.
"Memangnya ada kata-kata Ibu yang minta kamu untuk tidak pulang? Ibu cuma mau di mana pun kamu pergi, kamu bisa jadi orang baik."
"Memangnya selama ini aku orang jahat, ya?"
Ibu Asri seperti tersedak ludah, ia gelagapan sesaat lalu kembali mengendalikan diri.
"Kamu ini, Arina Mauren Baskoro. Siapa yang bilang kamu jahat? Ibu cuma mau kamu tetap jadi anak baik dimanapun kamu pergi. Di luar sana ada banyak hal yang tidak kamu tahu, tidak kamu duga. Tetap pertahankan diri seperti ini. Jangan coba mengingat hal-hal yang tidak penting."
"Masa lalu maksudnya, Bu?"
Kali ini Ibu Asri hanya diam dan menatapku lama. Aku tahu sejak pertama aku merasa ada.
Aku bangkit dari kursi, mengucapkan terima kasih dan keluar dari ruangan yang biasa dijadikan ruang konsultasi.
"Aku sudah belajar banyak hal. Aku tau yang terjadi kedepannya mungkin tidak akan mudah tapi aku akan tetap jadi anak baik." Aku mengucapkan kalimat terakhir sebelum benar-benar menutup pintu. Aku jadi tahu banyak hal yang selama ini tabu untukku. Tentang mengapa aku harus tinggal di panti.
Aku gila. Begitulah yang pertama kali aku dengar dari orang-orang di luaran sebelum aku dibawa ke panti oleh bu Asri dan suaminya . Mereka mengatakannya di kamar mandi saat hari kedua aku kerja. Tidak secara langsung, secara sembunyi-sembunyi seperti pengecut, dan itu sangat menyakitkan.
Tidak. Aku tidak gila, aku hanya lupa ingatan. Ada istilah medisnya tapi otakku tidak cukup pintar untuk menyebutnya. Entah dari mana mereka tahu tentang keadaanku aku tidak ingin mencari tahu. Toh, sejak aku ada di panti, sudah terlalu sering aku mendengar pembicaraan orang tentang diriku di belakangku. Hal baik dan buruk, sudah biasa aku dengar.
Hari ini adalah hari terakhir aku di kota ini karena aku akan pergi ke Jerman begitu juga dengan Indah yang akan mengikuti olimpiade matematika ke negara sakura itu.
Malam harinya kami makan malam bersama. Makan malam perpisahan. Aku akan pergi dan sepertinya orang-orang dewasa akan bernapas lega. Mereka yang paling bersemangat malam ini. Hanya aku yang terlihat sedih. Ia terus menatapku, seolah-olah wajahku adalah objek paling menarik dari semua yang terlihat.
Ketika mu hendak pergi ke Jerman kakak Dwi menarik ku. Dadaku semakin sesak saat Kak Dwi menarikku kedalam pelukannya.Satu-satunya orang dewasa yang bisa membuatku tetap jadi anak kecil yang cengeng adalah Kak Dwi.
Sejak pertama kali bertemu ia tidak pernah memandangku dengan tatapan aneh. Ia mengajariku banyak hal dan pasti aku juga akan merindukan dirinya. Tanpa aku sadari, akhirnya air mata yang setahun ini tidak lagi ku keluarkan jatuh juga. Sesak sebentar lalu lega.
***
Di Jerman , aku akhirnya tiba. Asing tapi melegakan. Aneh, ya? Tapi siapa yang peduli. Aku hanya merasa sudah waktunya hidup baru yang bebas akan dimulai. Penjara jiwa yang mengekang ku akhirnya terbuka lebar. Rasa dikejar-kejar berhenti juga. Hidup baru yang tenang dan damai pasti akan ku nikmati di sini.
Jika dibolehkan oleh semesta, aku ingin selamanya ada di tempat ini, menikmati kedamaian yang begitu melegakan hati.
Aku mengangguk dan menghela nafas panjang. Harum. Mobil hitam ini sangat elegan, bersih dan harum. Rasanya nyaman sekali ada di dalam sini, seperti memiliki duniamu sendiri. kalau ditanya ingin apa di masa depan, maka mobil akan jadi keinginanku. Pasti seru.
Aku menarik napas, berharap ini akan jadi awal yang membahagiakan.
Aku mengikuti karena keinginan ku dan kegemaran dalam belajar bahasa dan sastra, alhamdulillah ini membawa kan berkah buat ku juga buat panti kami, yang membuat seperti melayang ketika mendapatkan piagam penghargaan dari lomba juga hadiah uang yang akan ku hadiah untuk panti.
Semoga langkahku dan Indah di ikuti oleh adik-adik panti yang lainnya yang cerdas dan mandiri menjadi kebanggaan panti kita, panti bunda kasih nya bu Asri.
Begitu aku pulang dari Jerman aku langsung mendapatkan pelukan dan c****an dari dari kakak-kakakmu di panti juga ibu panti bu Asri, mba Retno dan pengurus panti lainnya. Tak lama setelah ku pulang sorenya datanglah Indah dan rombongan pengantar nya. Jadinya semakin rame panti hari ini
***
Satu bulan setelah kepulangan Indah dan Arina dari lomba Olimpiade itu. Bu Asri harus dirawat karena penyakit nya yang tidak pernah ia rasa dan memberitahukan pada suaminya dan anak-anak panti nya. Membuat semuanya menjadi bersedih dan menangis pilu. Namun bu Asri memilih tinggal di rumahnya daripada di rumah sakit itu, akhirnya bu Asri di rawat di rumah.
Pov bu Asri
Ketika ku sakit suatu hari, aku terjatuh karena kurang menjaga kesehatan terlalu banyaknya kegiatan yang selalu jadi prioritasku.
Ketika penyakit itu datang tanpa permisi dan ragaku yang kurang fit langsung ku terbaring di rumah sakit ketika ku membuka mata.
"Tugas Ibu sudah selesai, meskipun harus mati, maka Ibu akan mati dalam keadaan bahagia. Sebab, Ibu merasa menjadi manusia yang paling beruntung, mendapatkan cinta yang tulus dari anak-anak panti ku, yang bahkan tidak lahir dari rahimku. Namun, ia begitu tulus mengurusku. Dan melihat anak-anak panti ku, jika berhasil mendapatkan istri atau istri atau orang tua angkat sebaik sebaik kalian.
" Aku menatap mereka dengan kuyu".
"Jika Allah memanggil Ibu, tidak ada lagi yang Ibu khawatirkan. Ibu akan tersenyum, kembali ke pangkuannya dengan bahagia. Sebab, Ibu tidak gagal dalam mendidik anak-anak panti ibu. Setidaknya, itulah kebanggaan ibu, memiliki anak yang baik."
Mereka berdua semakin terisak. "Jangan katakan itu, Bu Aksan bahkan belum berbakti kepada Ibu sepenuhnya. Tolong kasih kami kesempatan lebih banyak lagi."
"Iya, meskipun Indah bukan anak kandung Ibu. Setidaknya kasiani Indah , Bu. Dari kecil hingga besar, Indah besar di panti asuhan. Beri kami berdua kesempatan, agar bisa berbakti kepada Ibu." Anak-anak itu mengeratkan pelukannya.
"Aksan akan bekerja lebih keras lagi, agar kalian semua bisa makan enak. Ibu jangan khawatir, Aksan akan berusaha lebih lagi."
Aku terharu mendengar penuturan anak-anak panti ku, ya Allah, aku berhasil membesarkan anakku. Meskipun satu anak-anak panti ku yang masih salah jalan, namun aku tetap berharap, ia akan segera kembali ke jalan yang benar.
"Tapi penyakit Ibu, bisa menjadi beban kalian. Ibu tidak akan tega, menambah susah keluarga ini," kataku.
"Tidak, Aksan akan mengusahakan untuk mencari uang lebih, untuk biaya operasi Ibu. Yang penting Ibu harus semangat untuk sembuh."
Lagi-lagi aku terharu mendengar ucapannya. Baiklah anakku, Ibu ingin tau, sejauh mana kamu mampu berusaha. Maafkan jika ibu keterlaluan, kelak kamu akan mengerti, mengapa ibu melakukan semua ini.
Aku pun kembali beristirahat. Entah jam berapa, samar kudengar suara lirih seseorang.
"Ya Allah, hamba ikhlas menerima apapun cobaan MU. Namun, hamba mohon, sehatkan lah Ibu kami. Bahkan jika seluruh isi dunia ini pun kami persembahkan kepadanya, tetap tidak mampu membayar betapa besarnya jasa Ibu.
"Berikanlah sakit itu kepada hamba, hamba rela menjadi penggantinya."
Terdengar samar suara Indah lagi berdoa dengan terisak. Aku menyipitkan mata, terlihat di dekat dapur, yang jaraknya lumayan jauh dari tempatku tidur. Aksan dan Arina dan juga Indah , shalat tahajud bersama. Isak tangis Indah, Arina pun juga terdengar samar, begitu khawatirnya mereka berdua kepadaku.
Aku kembali menutup mata dengan cepat, ketika melihat mereka berdua selesai dari doanya.
"Dek, uang sumbangan itu sisa lima juta. Kemarin di sedekahkan sebagian. Dan sebagian lagi, untuk membeli bahan bangun untuk dapur."
"Iya, kakak sisanya simpan saja, buat nambah, biaya operasi Ibu."
"InsyaAllah bisa, rin. Nanti pakaiannya di bawa ke laundry saja."
"Kalau Ibu tau bagaimana? Pasti Ibu bakal nggak enak tinggal disini."
"Nanti Indah bakal bilang, bahwa semua itu pakaian Indah ."
"Kamu yakin Ibu percaya?" Terdengar suara Arina meragu.
"Pagi sekali, Indah akan mengambil pakaian itu, tolong mas jangan larang! INDAH ingin membantu,kak. Hati ini begitu gelisah, takut gagal menjadi anak, yang berbakti kepada Ibu."
Ya Allah, anak-anak ku itu, terbuat dari apa hatinya. Begitu tulus dan sangat baik. Betapa meruginya, wanita yang pernah melahirkannya, namun tega meninggalkannya di panti asuhan.
"Yasudah, Dek. Kamu atur saja, jika capek, kamu jangan di lanjutkan ya. Bang Aksan cuma khawatir, kamu malah sakit." ucap bang Aksan
"InsyaAllah, Indah kuat. Strong Woman." Terdengar suara terkekeh pelan mereka berdua.
"Kamu juga jangan heran, jika nanti mas pulangnya bakal lambat. Bang Aksan sambil cari sampingan, semoga Allah mempermudah kita, dalam mencari rezeki."
"Aamiin, semoga ya, kak . Indah sangat takut, jika tidak bisa mengobati Ibu," katanya pelan.
"Terimakasih, ya adikku . Aku benar-benar beruntung. Meskipun hidup kita susah, kamu tidak pernah mengeluh. Kamu juga begitu tulus mengurusku dan anak-anak panti yang lainnya . Juga Ibuku. Semoga Allah, menghadiahkan surganya kepadamu."
Aku tersenyum, dengan posisi tidur membelakangi mereka.
'Kalian memang anak-anak terbaik, semoga kalian seumur hidup anak-anakku.' Doaku dalam hati, untuk mereka.
Pagi buta, usai salat subuh, bang Aksan sudah pergi melajukan motor tuanya, membelah jalanan yang masih belum terang, juga berembun.
Dinginnya pagi, sepertinya tidak menyurutkan niatnya, untuk tetap pergi mengais rezeki.
Ketika hari mulai terang, Indah pun sudah memandikan anak-anak panti yang masih kecilnya, juga membersihkan baju ganti ku, dan menggantikan seprei ku, setelah ia membersihkan tubuh ini dengan kain basah.
Sedangkan masakan sudah semua matang, sepertinya sangat pagi, ia sudah mengerjakan bagian dapur. Anak-anak panti pun pergi, dengan membawa bekal, dan setelah selesai sarapan.
Mereka benar-benar anak-anak yang kompak, aku terharu, melihat kegigihan mereka semua.
"Ibuku sayang, ayo makan," ucapnya. Dengan tangan memegang dua piring makan.
Ia kemudian memberikan piring nasi, yang sudah terisi komplit di atasnya, kepada anak-anak panti lainnya.
"Akyan bisa makan sendiri?" tanyaku.
"Sejak berumur tiga tahun, Akyan sudah hebat makan sendiri, loh." Akyan menyahut pertanyaan ku dengan riang.
Wajahnya pun selalu berbinar ketika akan makan, sebab Indah,dan anak-anak lainnya selalu berusaha memberikan makanan yang sehat dan enak.
"Ibu ayo makan!" ucap Indah, dengan menyodorkan sendok berisi nasi dan kawan-kawannya.
"Ibu mau makan sendiri," kataku.
"Ibu kan lagi sakit, biar di suapin ayah saja." ayah berceletuk lagi.
"Iya, Bu. Biar Indah suapin ya! Indah pengen liat Ibu cepat sembuh. Tuh Dede anak panti , pasti sudah kangen dengan Ibu, kan sudah lama, nggak di gendong."
Indah Arina dan anak-anak lainnya ini, bisa saja ia membuat semangat dalam diriku. Aku rindu sebenarnya ingin jalan-jalan, membawa bocah itu. Tetapi, misi ini belum selesai, jadi aku harus sedikit bersabar lagi.
Usai makan, Indah pun berpamitan kepadaku untuk keluar, alasannya untuk membeli sayur. Meskipun aku tau, ia pasti sedang berusaha mencari pekerjaan di luar sana.
Dengan perasaan khawatir, aku mengizinkannya keluar, namun hanya sepuluh menit. Meskipun awalnya Indah seperti ingin memberi alasan penolakan, namun aku mempertegas.
Jika ia mau keluar, maka hanya sepuluh menit. Aku tidak ingin, ia berkeliling.
Sepulang Indah dari luar, wajah anak panti ku itu nampak lesu dan sedih.
"Kamu kenapa?" tanyaku.
Indah memaksakan senyumnya. "Tidak apa-apa, Bu." Hanya itu jawabannya.
Aku tau, ia pasti tidak mendapatkan pekerjaan yang diharapkan.
Tidak mengapa, dengan ia berusaha saja, aku tau, dia begitu peduli denganku.
Tunggulah sayang, Ibu akan membayar semua beban hatimu. Kamu hanya harus bersabar sedikit lagi.
Bersambung