Angin berembus cukup kencang di balkon. Alvin mengedarkan pandangan, membuang napasnya berat. Matanya berkaca- kaca, tak kuasa melihat kondisi Seira yang seperti itu. Sesungguhnya dia mencoba bertahan untuk tak lemah di hadapan gadis itu. Untuk menunjukan bahwa dia layak menjadi sandaran bagi Seira kala dia butuh. Namun, jauh di dalam sana, Alvin terluka.
"Maafkan aku," ucapnya lirih, hanya terdengar oleh angin. Setetes air terjun dari pelupuk matanya mengenai tangan yang memegang pembatas sambil menggenggam ponselnya erat.
Alvin butuh waktu untuk merasa lebih baik walaupun sesungguhnya, dia berusaha mati- matian untuk bertahan, terlebih lagi dia harus menghadapinya sendirian. Dulu ada Aryid tapi kini sahabatnya itu sedang tidak ada, maka Alvin harus bisa melewatinya sendiri, bukan? Dan itu tidaklah mudah.