Begitu mobil yang Rama dan Raya tumpangi sampai di sebuah rumah mewah bercat putih, dengan gerbang tinggi menjulang berwarna kuning keemasan, Rama menghentikan laju mobilnya.
Rama menekan klakson berulang kali dengan rasa tidak sabar, kemudian sosok penjaga pintu dengan tergopoh-gopoh segera membukakan pintu gerbang yang tinggi menjulang itu, setelah pintu gerbang terbuka sempurna Rama memasukkan mobilnya ke halaman.
"Pak Daliman!" seru Rama memanggil orang yang tadi membukakan pintu gerbang untuknya.
"Ya, Tuan," Pak Daliman datang tergopoh-gopoh dan langsung menunduk begitu sudah sampai di depan Rama, "tolong angkat dan bawa masuk koper Raya," titah Rama yang di balas dengan anggukan oleh pak Daliman.
"Kamu turun!" perintah Rama pada Raya, dengan kesal dan wajah di tekuk, Raya keluar dari mobil dan menatap sebal pada Rama.
Rama segera masuk ke mobilnya begitu Pak Daliman sudah menurunkan koper milik Raya, istri keduanya. "Aku tinggal dulu," pamitnya pada Raya dan hanya di balas anggukan oleh Raya.
"Pak Daliman, saya titip rumah. Selama saya belum pulang tanggung jawab rumah ini saya serahkan pada bapak," Pak Daliman pun mengangguk. Pak Daliman tahu Rama orangnya keras namun dia berhati lembut, tergantung orang yang Rama hadapi.
Pak Daliman adalah mantan supir pribadi papa Rama, namun karena kecelakaan dan menyebabkan Pak Daliman harus di istirahatkan dan karena sayang maka Rama mengusulkan akan mempekerjakan sebagai penunggu rumahnya dan Raya, istri keduanya.
Di sini Pak Daliman tidak perlu menyetir, hanya membuka dan menutup pintu gerbang yang di bantu satpam, di samping pos satpam ada rumah kecil dan beberapa kamar yang bisa di huni para pekerja di rumah itu.
Rama melajukan kendaraan roda empatnya menuju rumah mertuanya, niatnya ingin mencari Dea di sana terlebih dahulu. Sesampainya di depan rumah sederhana, Rama menghentikan dan mematikan mesin mobilnya, dia berharap sang istri pergi kesini.
Dengan langkah yang berat akhirnya Rama sudah berada di depan pintu rumah sederhana tersebut. Tok tok tok, Rama mencoba mengetuk pintu tersebut, masih berharap yang membukakan pintu itu adalah Dea.
Cukup lama Rama mengetuk pintu itu namun tidak juga kunjung terbuka, "Mas Rama nyari ibu dan bapak?" tanya seorang pemuda yang umuran nya masih terbilang remaja, Rama mengangguk meng-iyakan akan pertanyaan itu.
"Sudah tiga hari mereka ke desa seberang, saudara mereka ada punya hajat," ucap pemuda itu, "mbak Dea ngga ikut?" mata pemuda itu memindai sekitar, Rama menggeleng lalu tersenyum.
Lalu melangkah mendekati pemuda itu, "oya namamu siapa?" tanya Rama pada pemuda itu.
"Nama saya Radit, adiknya mas Rasya yang naksir mbak Dea," jawab pemuda yang bernama Radit tersebut lalu tersenyum kikuk. Rama tahu di perumahan ini banyak yang tertarik dan menyukai Dea, apalagi jika bukan karena sikapnya.
Tiba-tiba Rama tersenyum kecut saat mengingat telah menyakiti wanita yang baik seperti Dea, "Kata ibu mereka mau pulang kapan?" Rama mencoba mengalihkan percakapan yang pasti akan membuat rasa menyesalnya semakin besar dan bertambah.
"Mungkin nanti malam, Mas," jawab pemuda yang bernama Radit tersebut. 'Kemana Dea sekarang? Tidak mungkin'kan dia kerumah temannya,' monolog batin Rama.
"Ya sudah...."
"Radit," sahut pemuda itu yang seakan. menjawab pertanyaan Rama yang lupa akan namanya.
"Ah iya, Radit. Kalau begitu saya pulang dulu, terima kasih atas pemberitahuannya," ucap Rama kemudian segera melangkah ke mobilnya.
"Salam buat mbak Dea ya, Mas," seloroh Radit yang di tanggapi senyuman oleh Rama.
"Ke Butik atau ke resto dulu?" monolog Rama bimbang, kedua tempat itu adalah usaha kecil-kecilan yang di rintis Dea saat masih sendiri, sebagai penghasilan tambahan kala keluarga Dea bangkrut.
Sebenarnya keluarga Dea dulu cukup berada, hingga Dea bisa menabung dan mendirikan resto bersama sahabat nya. Usaha mereka pun berkembang pesat karena otak Dea yang pintar, namun di saat usaha kecil-kecilan Dea berkembang, justru usaha keluarga Dea bangkrut karena sang kakak yang hobi berjudi.
Beruntung Dea tidak menceritakan usaha yang dia sahabatnya rintis, semenjak Dea mengenalkan dia kepada keluarga nya,mereka langsung setuju dan berharap Rama segera menikahi Dea.
Setelah menikah, Dea sering memberi uang hasil keuntungan restonya tersebut di bantu oleh Rama, selang beberapa bulan Dea kembali membuka usaha butik. Lagi-lagi bekerjasama dengan sahabatnya, namun beda orang.Mungkin mereka ingin mencoba keberuntungan seperti sahabat yang lain.
Hanya perlu dua bulan usaha butik itu pun berkembang, Dea bisa meraup keuntungan yang lumayan dari kedua usaha itu. Akhirnya Rama melarang Dea keluar rumah karena selalu sibuk dan setelah itu Dea hanya perlu mengontrol hasil perkembangan usahanya melalui orang kepercayaannya.
Setelah sampai di butik, Rama di sambut ramah oleh para karyawati di sana, mereka menanyakan kenapa Dea, sang atasan tidak ikut. Rama menyimpulkan bahwa Dea tidak kesini, pun di resto. Mereka menanyakan Dea, dengan berbohong, Rama mengatakan dia kesini untuk berpamitan mereka akan liburan.
Mereka mendoakan agar Dea dan Rama segera di beri momongan seperti yang Dea ceritakan, lagi hati Rama merasa sakit karena telah menduakan cinta sang istri. Rama tidak tahu apa yang akan terjadi seandainya mereka, sahabat dan karyawan Dea tahu jika dirinya telah menyakiti wanita yang mereka sayang.
Flashback off.
Rama membuka kemeja dan celana panjang yang dia kenakan, lalu melangkah menuju ke kamar mandi dan berdiri di bawah shower. Menyalakan airnya dan membiarkan air dingin menyentuh kulitnya, matanya terpejam membayangkan sosok keberadaan Dea.
"Kamu kemana, Sayang. Aargghh!!" Rama berteriak lalu memukul tembok di depannya.
"Kau lelaki paling bodoh dan lembek sedunia, Rama!!" makinya pada dirinya sendiri.
"Bagaimana kau bisa menyakiti wanita yang telah memilihmu di antara pria-pria lain, aarggh!!" Rama kembali memukul tembok dan tangannya mengeluarkan darah.
"Sayang, maafkan aku. Kembali' lah kepadaku, ku mohon," Rama menangis seraya membentur-benturkan keningnya di tembok.
***
Sementara di tempat lain, "apa masih lama? Aku lelah?" keluh seorang wanita pada pria di sampingnya, pria itu tersenyum lalu mengelus pipi wanita itu dengan punggung tangannya.
"Sabar Dea, Sayang. Bukankah Jakarta ke Jogja memakan waktu hampir sehari, itu yang aku baca di map tadi. Itu pun kalau tidak macet," mereka adalah Dea dan Abraham, dua makhluk insan yang mencintai.
Obsesi Abraham akan memiliki dan membuat Dea berpisah dengan Rama semakin besar, saat mereka sudah melakukan hubungan intim pertama kalinya. Cinta Abraham begitu dalam pada wanita yang masih berstatus istri orang tersebut.
"Apa nanti mampir kerumah mama dulu?" Dea menoleh dan memutar tubuhnya menghadap Abraham. Mama yang di maksud adalah, sang mama Abraham. Mama Abraham juga begitu menyayangi Dea, walau belum pernah bertemu.
Mereka hanya saling video call-an saja, dan itu membuat mama dari Abraham begitu menyukainya. Abraham dan Dea sudah menceritakan status Dea yang masih bersuami.
Entah di anggap orang tua tidak beradab atau apa, namun mama Abraham menyuruh Dea berpisah dengan Rama, suami Dea. Ternyata mama Abraham juga membenci orang yang berkhianat walau mengatas namakan cinta.