Selama beberapa saat, Viana hanya terpaku di tempatnya berdiri dengan mata berkaca-kaca. Tubuhnya terasa kaku dan seolah tak bisa digerakkan, ketika melihat pemandangan yang berada di hadapannya. Air matanya pun jatuh tak terbendung lagi.
"Marshall!" jerit Viana.
Ia lalu berlari menghampiri sang kekasih.
Marshall menyunggingkan senyuman yang sangat manis di wajah tampannya. Pandangannya tampak sayu, dan tubuhnya terlihat begitu lemah.
Tak lama kemudian ia pun jatuh dan tersungkur di lantai.
Untunglah Viana tiba tepat waktu di samping tubuhnya. Ia pun segera meraih tubuh Marshall dan meletakkan kepala kekasihnya itu di atas pangkuannya.
"Sayang, apa yang terjadi sama kamu? Huhuhu," tanya Viana dengan air mata yang tak dapat dibendung lagi.
Betapa hancurnya hati Viana saat menyaksikan keadaan Marshall saat ini. Kekasihnya itu datang dengan tubuh bersimbah darah dan penuh luka. Di tangan dan wajahnya terlihat bekas sayatan benda tajam. Bukan hanya itu saja, bahkan Viana juga melihat sebuah pisau yang masih menancap di perut Marshall. Keadaannya benar-benar menyedihkan.
"Sa.. Sayang, ka.. kamu temui Reyhand. Di.. a a.. kan me.. ngata.. kan se.. semuanya tentang ke.. jadian ini." Marshall berkata dengan suara tersendat-sendat.
"Apa? Apa maksud kamu, Sayang? Apa yang terjadi sebenarnya? Siapa yang sudah membuat kamu seperti ini?" Viana bertanya histeris.
Gadis cantik itu segera memeluk kekasihnya dan menumpahkan seluruh air matanya di dada Marshall.
Sakit! Perih! itulah yang dirasakannya. Hatinya seperti ditusuk dengan ribuan besi panas. Dia benar-benar tak sanggup melihat keadaan Marshall seperti ini.
Marshall mengusap rambut gadis yang dicintainya itu dengan lembut. Tangannya yang penuh darah itu kemudian menyentuh wajah cantik Viana.
"A.. aku men.. mencintaimu," bisik Marshall dengan suara tercekat.
Viana melihat raut yang menyedihkan di wajah Marshall. Kekasihnya itu tampak tersengal-sengal dan kesulitan untuk bernapas. Ia terlihat sedang menahan rasa sakit yang luar biasa.
"Aku juga mencintaimu, Sayang. Kamu harus bertahan ya. Huhuhu," isak Viana sambil terus mendekap tubuh kekasihnya.
Tiba-tiba kedua orang tua Viana datang mendekati mereka. Mereka terlihat begitu panik dengan keadaan Marshall.
"Pa, cepat panggil ambulance. Sepertinya kondisi Marshall sudah sangat parah," perintah Mama Mariana kepada suaminya, Papa Wijaya.
"Iya, Ma. Papa akan segera menghubungi ambulance," sahut Papa Wijaya dengan patuh.
Papa Viana itu lalu mengambil ponselnya dan segera menghubungi seseorang.
Suasana pesta yang tadinya ramai dan gembira, kini berubah menjadi lengang. Hanya isak tangis yang terdengar di ruangan itu.
"Kamu yang kuat ya, Shall. Saat ini Om Wijaya sedang mencari pertolongan. Kamu harus kuat, kamu harus bertahan," ucap Mama Mariana yang mencoba menahan tangisannya.
Marshall mengangguk lemah sambil tersenyum ke arah ibu dari kekasihnya itu.
"I.. iya, Tante," jawabnya lemah.
Beberapa saat kemudian, pandangannya beralih kepada Viana yang sedang menangis di pelukannya.
Detak jantungnya terasa mulai melemah, dan ia merasa kesulitan untuk bernapas. Marshall lalu tersenyum ke arah kekasihnya yang cantik tersebut.
"A.. aku men.. cintaimu," ucapnya sekali lagi.
Setelah itu, perlahan-lahan Marshall pun mulai menutup kedua matanya dengan wajah tersenyum.
Sontak saja hal itu membuat Viana merasa sangat ketakutan. Dia menepuk pipi Marshall dan terus memanggil-manggi namanya.
"Marshall! Apa yang kamu lakukan? Bangun, Sayang. Bangun! Huhuhu, bangun!" tangis Viana semakin menjadi-jadi.
Semua yang hadir di ruangan itu terlihat berpandangan satu sama lain. Sebagian bahkan ada yang turut menangis melihat pasangan yang malang itu. Mereka merasa iba terhadap Marshall maupun Viana.
Sementara itu, Viana masih menangis sesenggukan sambil terus memeluk Marshall. Wajah cantiknya yang berseri telah berubah menjadi kusut dan muram. Hanya air mata yang tampak menghiasi wajah cantiknya.
Tak lama kemudian, Papa Wijaya pun datang dengan wajah cemas. Dia mendekati Mama Mariana dengan ragu-ragu.
"Ma," panggilnya.
Mama Mariana pun menoleh dan menatap ke arah suaminya dengan harap-harap cemas. Dia segera mengusap air matanya dan memegang lengan suaminya.
"Bagaimana, Pa? Papa sudah berhasil menghubungi ambulance?" tanya Mama Mariana panik.
Papa Wijaya terlihat menggelengkan kepalanya perlahan.
"Belum, Ma. Tidak ada satu pun ambulance yang bisa dihubungi," jawabnya lemah.
"Apaa?"
Viana menjerit karena merasa sangat terkejut dengan pernyataan papanya.
"Maafkan Papa, Viana," sesal Papa Wijaya.
"Kenapa nggak ada satu pun ambulance yang bisa dihubungi, Pa? Kemana saja petugas kesehatan itu? Apa mereka nggak memikirkan jika sewaktu-waktu ada nyawa yang membutuhkan mereka?" Viana bertanya dengan nada tinggi.
Kesedihan bercampur emosi sudah tak bisa ditahannya lagi. Saat ini hatinya benar-benar sudah hancur.
"Maaf, Viana. Malam ini semua ambulance sedang sibuk, dikarenakan tadi ada kerusuhan di suatu tempat. Menurut informasi yang Papa dapat, banyak korban berjatuhan di tempat itu, dan membutuhkan banyak ambulance," terang Papa Wijaya.
Viana terdiam sejenak setelah mendengar pernyataan papanya.
Dalam hati ia justru bertanya-tanya. Kenapa kerusuhan itu harus terjadi bertepatan dengan kejadian tragis yang menimpa Marshall?
Tanpa berkata-kata lagi, Viana segera mengangkat tubuh Marshall dan memapahnya menuju ke arah mobil yang sedang terparkir di halaman rumah.
Mama Mariana dan Papa Wijaya yang merasa iba melihat ketulusan hati Viana, segera membantunya untuk membopong Marshall.
Beberapa saat kemudian, para tamu yang hadir di pesta pun turut membantu Viana membopong Marshall.
Viana lalu menidurkan Marshall di bangku penumpang. Sementara itu dia segera memegang kemudi mobilnya. Kedua orang tua Viana juga turut serta menemani Marshall ke rumah sakit.
Setelah semuanya siap, Viana pun bergegas melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju ke rumah sakit terdekat.
Selama di perjalanan, semua orang nampak tegang dan was-was dengan semua kemungkinan yang akan terjadi, terutama Viana.
Ia tak henti-hentinya menangis, karena jika sampai terjadi hal buruk kepada kekasihnya itu, ia tak akan pernah memaafkan dirinya sendiri. Viana pasti akan menjadi orang yang paling menderita sepanjang hidupnya.
Viana terus berdoa di dalam hatinya, supaya Tuhan menyembuhkan Marshall dan mengembalikannya seperti sedia kala.
Mama Mariana dan Papa Wijaya melihat ketulusan cinta yang begitu besar di mata Viana. Hal itu juga terlihat dari bagaimana gadis itu mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Semua itu dilakukannya demi keselamatan kekasihnya.
Setelah berkendara selama beberapa puluh menit, akhirnya mereka pun tiba di rumah sakit.
Viana segera berteriak dan memanggil para perawat.
"Suster, tolong. Kekasih saya sedang terluka di dalam mobil. Tolong segera berikan penanganan yang terbaik untuknya," perintahnya kepada salah seorang perawat.
Beberapa perawat bergegas mengambil brankar dan membawa Marshall masuk ke ruang ICU, dikarenakan kondisinya yang sudah begitu kristis.
Viana dan kedua orang tuanya berlari mengikuti para perawat yang membawa Marshall.
Di sepanjang perjalanan, Viana tak henti-hentinya menangis sambil terus memanggil nama kekasihnya itu.
"Marshall, kamu harus sadar. Hiks hiks," isak Viana.
Sesampainya di ruang ICU, salah seorang perawat menghentikan langkah mereka.
"Maaf, sebaiknya kalian menunggu di luar saja. Biarkan dokter yang menangani pasien," ujar perawat tersebut.
"Baiklah, Suster. Lakukan yang terbaik untuk keselamatan Marshall," balas Viana dengan penuh harap.
"Pasti kami akan berusaha semaksimal mungkin," jawab perawat tersebut.
Akhirnya para perawat pun membawa Mashl untuk masuk ke ruang ICU. Sementara Viana dan kedua orang tuanya hanya bisa menunggu di luar ruangan sambil terus memanjatkan doa untuk kesembuhan Marshall..
"Cepatlah sadar, Marshall. Aku sangat mencintaimu," gumam Viana lirih.