Chereads / Enemy to be Love / Chapter 8 - Duka Seorang Ibu

Chapter 8 - Duka Seorang Ibu

Viana memandang ke arah ruang ICU dengan tatapan kosong. Lagi-lagi butiran kristal bening itu berjatuhan membasahi pipinya.

"Aku mau ketemu sama Marshall untuk terakhir kalinya," cetusnya secara tiba-tiba.

Sontak perkataan Viana itu membuat semuanya terkejut. Mereka saling berpandang-pandangan, karena pasti sebentar lagi jenazah Marshall akan dipindahkan ke kamar mayat.

Mariana memandang kepada Rini dengan mengedipkan sebelah matanya. Sebenarnya dia ingin menenangkan perasaan putrinya itu, tapi dia khawatir kalau Viana sampai salah paham lagi terhadapnya.

Akhirnya Mariana memberikan kode berupa kedipan itu kepada Rini, karena hanya dialah yang bisa membujuk dan memberikan pengertian kepada gadis keras kepala itu.

Rini, yang merupakan mama dari Marshall itu pun berjalan pelan mendekati Viana. Ditepuknya pundak gadis cantik yang sedang termenung itu.

"Viana," panggilnya.

Viana pun menoleh dengan wajah yang tampak kusut dan rambut yang terlihat berantakan. Matanya mulai sembab karena terlalu banyak menangis.

"Kamu harus sabar ya. Sebentar lagi pasti jenazahnya Marshall akan dibawa ke kamar jenazah, dan besok pagi baru kita akan mebawanya pulang untuk diurus pemakamannya. Kalau kamu memang nggak kuat, kamu bisa menenangkan pikiran untuk sementara waktu. Lupakan Marshall, Sayang. Dia sudah nggak ada. Marshall audah tenang di alam sana. Jangan biarkan jiwanya menderita karena melihat kesedihan kamu seperti ini. Percayalah, pasti Marshall akan bahagia di sana, saat menyaksikan bahwa kamu juga bahagia," nasihat Rini kepada Viana.

Walaupun sebenarnya hatinya lebih merasa sakit karena kehilangan putra semata wayangnya, tapi dia tak boleh menunjukkan hal tersebut di hadapan Viana. Dia harus tetap memberikan support kepada kekasih putranya tersebut. Cinta Viana begitu besar, sehingga akan sulit membuatnya untuk melupakan Marshall. Namun, Rini yakin bahwa suatu saat pasti Viana bisa melakukan hal itu. Semuanya butuh proses dan waktu.

Viana tertegun sejenak. Hati kecilnya membenarkan perkataan dari mama kekasihnya itu. Namun, sebenarnya dia merasa tak terima dan ingin berontak karena telah diberikan cobaan seberat ini.

Beberapa saat kemudian, Viana pun menoleh ke arah Rini dengan pandangan sayu.

"Apa Tante yakin kalau Marshall juga akan bahagia saat melihat aku bahagia?" tanya Viana untuk memastikan jawaban dari Rini.

"Iya, Sayang. Marshall pasti bahagia kalau melihat kamu bahagia," lanjut Rini lagi.

Dengan berat hati, akhirnya Viana pun mengangguk dan mengiyakan perkataan Rini.

"Baiklah, Tante. Demi kebahagiaan Marshall, aku akan berusaha untuk bahagia dan nggak akan bersedih lagi. Aku akan selalu tersenyum untuknya. Semoga dia tenang di alam sana ya, Tante," harap Viana pelan.

"Iya, Viana. Kita doakan yang terbaik untuk Marshall. Semoga dia tenang di surga-Nya Allah," kata Rini lagi.

"Iya, Tante. Aminn," jawab Viana sambil berusaha untuk tersenyum.

Tak lama kemudian, datanglah seorang dokter yang menghampiri mereka semua di ruang tunggu.

Viana, kedua orang tuanya, serta kedua orangtua Marshall merasa cemas saat melihat kedatangan dokter tersebut.

"Selamat malam, Pak, Bu," sapa pria berjas putih itu.

"Iya, Dok. Selamat malam," kali ini Hendra yang menyahut.

"Begini Pak. Saya selaku dokter di rumah sakit ini, merasa turut berduka cita atas musibah yang menimpa putra Bapak. Saya turut berbelasungkawa. Semoga almarhum diterima di sisi Allah Swt, dan bisa beristirahat dengan tenang. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi cobaan ini. Maafkan kami karena telah gagal menyelamatkan putra Bapak," ujar dokter tersebut sembari mengatupkan kedua tangannya, bermaksud untuk meminta maaf.

Hendra segera meraih tangan sang dokter dan menurunkannya.

"Terima kasih atas perhatianmu, Dokter. Pihak rumah sakit telah berusaha sebaik-baiknya untuk menolong anak saya, tapi apa mau dikata. Ternyata takdir berkata lain, Dok. Sekeras apapun manusia berusaha, hasilnya tetap tergantung kepada Yang Maha Kuasa. Kita tidak bisa melawan takdir. Justru saya sangat berterima kasih kepada Dokter dan pihak rumah sakit, karena telah berusaha keras untuk menyelamatkan putra saya. Terima kasih banyak, Dok," balas Hendra dengan mata berkaca-kaca.

"Sama-sama, Pak. Kami sebagai manusia hanya berusaha untuk saling menolong terhadap sesama," tukas dokter baik hati tersebut.

"Iya, Dok. Itu benar," sahut Hendra lagi.

Setelah beberapa saat berbincang-bincang, dokter tersebut pun menanyakan apakah mereka akan segera membawa pulang jenazah Marshall atau tidak.

"Maaf Pak, apakah jenazah pasien akan segera dibawa pulang untuk dikebumikan?" tanya dokter tersebut.

"Mungkin besok pagi kami baru membawa pulang jenazah, Dok. Sekarang sudah dini hari, dan rasanya tidak tepat kalau membawa pulang jenazah di jam segini," terang Hendra.

"Baiklah kalau begitu, Pak. Para perawat akan segera memindahkannya ke kamar jenazah. Besok pagi, Bapak bisa mengonfirmasi hal ini dengan pihak rumah sakit." Dokter tersebut menjelaskan.

"Baiklah, Dok. Besok saya akan segera mengurus kepulangan jenazah putra saya," ucap Hendra sambil mengusap kedua matanya.

"Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu, Pak, Bu," pamit dokter baik hati itu.

"Iya, Dok," jawab mereka semua serentak.

Tak lama kemudian tampak beberapa perawat yang sedang membawa jenazah Marshall dengan menggunakan brankar.

Hendra segera menghentikan langkah para perawat itu. Dia berpikir pasti istrinya ingin melihat wajah putranya untuk yang terakhir kali. Hendra pun segera mendekati istrinya.

"Ma, itu Marshall. Apakah Mama ingin melihatnya untuk yang terakhir kalinya?" tanya Hendra dengan lembut.

Saat mendengar pernyataan dari Hendra tersebut, segera saja Viana dan yang lainnya menoleh kearah Hendra dan para perawat.

Hati Rini terasa disayat dengan sembilu. Betapa sakit hatinya saat melihat putra kesayangannya telah terbujur kaku dan tak bernyawa di atas sebuah brankar.

Wanita bertelapak kaki surga itu segera berlari menghampiri para perawat yang sedang membawa jenazah putranya.

"Marshall! putrakuu!" pekik Rini histeris.

Tangisnya kembali pecah saat menyaksikan keadaan putranya. Dia lalu menumpahkan air matanya sambil memeluk jenazah Marshall yang sudah ditutupi dengan kain putih itu.

"Kenapa kamu meninggalkan Mama, Shall? Mama nggak akan bisa hidup tanpa kamu, Sayang." Rini yang semula tegar, kini pun menangis tersedu-sedu sambil memeluk jasad putranya.

Terdapat beberapa pengunjung rumah sakit dan para perawat yang menyaksikan suasana memilukan hati tersebut. Mereka merasa iba melihat keadaan seorang ibu saat tengah memeluk putranya yang malang itu.

"Marshall, Sayang. Jujur saja Mama nggak ikhlas kalau harus kehilangan kamu, tapi semua ini tetap harus Mama terima, karena semua sudah menjadi kehendak Allah. Semoga kamu tenang di alam sana ya, Nak. Mama sangat mencintai kamu. Huhuhu." Rini menangis sesenggukan sambil berulang kali mengecup wajah putranya.

Dia teringat masa-masa yang dihabiskan bersama Marshall. Kenangan-kenangan indah tentang putranya tak akan pernah hilang dari ingatannya. Sampai kapan pun Marshall tetaplah buah hati yang sangat dicintainya.

Kasih sayang seorang ibu sangatlah besar. Sehingga sampai kapan pun seorang ibu tidak akan pernah bisa melupakan darah dagingnya.

"Mama sangat mencintaimu, Sayang. Hiks hiks," isak Rini dengan suara lirih.