Chereads / Enemy to be Love / Chapter 9 - Teka Teki Kematian Marshall

Chapter 9 - Teka Teki Kematian Marshall

Rini tak dapat menahan perasaan berdukanya. Akhirnya wanita itu pun melepaskan pelukan dari jasad putranya. Hatinya semakin terasa perih saat memandangi anak satu-satunya yang telah tiada. Marshall telah pergi ke sebuah nirwana yang begitu jauh. Semoga.

Wanita malang itu pun segera menghamburkan diri ke dalam pelukan suaminya, Hendra. Di sana dia meluapkan seluruh kesedihan dan air matanya.

"Papa! Marshall, Pa," isaknya lirih.

"Iya, Ma. Mama yang sabar ya, yang kuat," tukas Hendra sambil mengusap bahu istrinya itu.

"Iya, Pa. Insyaa Allah Mama akan kuat, demi kebahagiaan Marshall," jawab Rini pelan.

"Mama benar-benar seorang wanita yang tegar. Papa bangga sama Mama," puji Om Hendra.

"Iya, Pa,"

Setelah itu, giliran Viana yang datang dan menghampiri jasad Marshall. Dilihatnya sang kekasih yang sudah tak bernyawa itu.

Perlahan-lahan, air mata kesedihannya kembali menetes. Rasanya dia benar-benar tidak sanggup melihat wajah pucat Marshall yang sudah membiru.

Dia lantas mendekati jenazah kekasihnya. Dengan penuh kerinduan, dipeluknya jasad Marshall dengan begitu erat.

"Huhuhu, Marshall! Jangan pergi, Sayang. Jangan tinggalkan aku sendirian. Apa aku bisa bertahan hidup tanpa kamu? Huhuhu." Viana menangis tersedu-sedu.

"Apa kamu lupa? Dulu kamu udah janji kalau nggak akan pernah ninggalin aku. Kamu bilang kalau kita akan selalu bersama-sama sampai ajal menjemput, tapi kenapa sekarang kamu pergi? Kenapa kamu nggak nungguin aku, Shall? Kenapa kamu nggak mengajak aku untuk pergi bersama kamu? Apa kamu udah nggak sayang lagi sama aku?" cecar Viana dengan hati penuh kesedihan.

Namun, hal itu percuma saja. Sebab yang ditanya pun tak akan pernah bangun untuk menjawab pertanyaannya.

"Bangun, Marshall! Bangun!" jeritnya dengan berurai air mata.

Rini datang mendekat, dan menarik pelan tubuhnya untuk menjauh dari brankar tempat Marshall berbaring.

"Bawa almarhum ke kamar jenazah, Pak. Besok kami akan membawanya pulang," perintah Hendra kepada para perawat pria di sana.

"Baik, Pak. Kami permisi dulu," pamit perawat tersebut.

"Baiklah, terima kasih," jawab Hendra.

Para perawat pun akhirnya membawa jasad Marshall menuju ke kamar jenazah.

"Marshall," gumam Viana dengan bibir bergetar.

Dia menatap kepergian sang kekasih dengan pandangan nanar. Tubuhnya terasa begitu gemetar dan keringat dingin bercucuran membasahi keningnya.

Tiba-tiba dia merasakan pandangannya mulai samar. Sekelilingnya tampak berputar-putar, dan ....

Brukkk.

Viana jatuh pingsan karena tak kuat melihat kepergian Marshall.

"Vianaa!" pekik Mariana dan Wijaya seraya berlari menghampiri putrinya.

"Viana, kamu kenapa?" tanya Rini dengan cemas.

Mereka semua segera berlari menghampiri Viana. Betapa cemas dan paniknya mereka saat melihat kondisi Viana yang memprihatinkan seperti ini. Begitu besar cintanya terhadap Marshall, sehingga kepergian pemuda itu sangat mengguncang jiwa dan hatinya.

Di tengah kepanikan dan kekhawatiran mereka, tiba-tiba Hendra datang dan mengajak mereka untuk berbincang-bincang sejenak.

"Pak Wijaya, Ibu Mariana, Mama kemarilah. Ada yang ingin saya katakan kepada kalian semua," tutur Hendra.

"Apa apa, Pa?" tanya Rini tampak sedikit terkejut.

"Ada apa, Pak Hendra?" Wijaya menimpali.

"Begini, bagaimana kalau kita membawa Viana untuk pulang terlebih dahulu. Kasihan dia, karena sepertinya dia begitu terpukul dengan kepergian Marshall," usul Hendra.

"Mama rasa itu ide yang bagus, Pa. Dengan begitu mungkin Viana bisa sedikit lebih tenang," sahut Rini yang menyetujui usulan dari Hendra tersebut.

"Saya juga setuju. Viana butuh waktu untuk sendiri dan menenangkan pikiran terlebih dahulu," ujar Mariana.

"Kalau yang lain setuju, maka saya juga setuju, Pak. Apa pun pasti akan saya lakukan demi kebaikan dan kebahagiaan Viana. Dia adalah harta saya yang sangat berharga. Saya sangat menyayanginya," jawab Wijaya.

"Baiklah kalau semuanya setuju. Pak Wijaya dan Bu Mariana lebih baik sekarang kalian membawa Viana untuk pulang terlebih dahulu. Jaga dan rawat dia baik-baik. Selalu hibur dia, dan jangan biarkan dia merasa frustasi," nasihat Hendra.

"Baiklah, Pak. Kami akan membawa putri kami pulang," sahut Mariana.

"Baiklah. Hati-hati dijalan, Pak, Bu," pesan Hendra.

"Kalau begitu kami permisi dulu, Pak, Bu. Selamat malam," pamit Wijaya kepada Hendra dan Rini.

"Selamat malam."

"Kami permisi dulu, Mbak. Semoga Pak Hendra dan Mbak Rini selalu diberi ketabahan dan keikhlasan dalam menjalani ujian ini," hibur Mariana sebelum berpamitan.

"Iya, Mbak Mariana. Terima kasih banyak atas simpatinya. Tolong jaga Viana ya, Mbak. Jaga dia dengan sepenuh hati. Kami juga sudah menganggapnya seperti putri kami sendiri," tambah Rini.

"Tentu saja, Mbak. Saya akan selalu menjaga dia," jawab Mariana.

"Kalau begitu kami permisi dulu ya, Pak, Bu. Assalamualaikum." Wijaya mengucapkan salam kepada kedua orang tua Marshall.

"Waalaikumsalam," jawab Hendra dan Rinu serempak.

Setelah selesai berpamitan, Wijaya segera menggendong putrinya menuruni tangga rumah sakit. Sementara itu, Mariana berjalan mengekor di belakangnya.

Dia tidak habis pikir dengan kejadian menegangkan sekaligus menyedihkan yang baru saja terjadi di depan matanya.

Mengapa di saat pesta ulang tahun Viana, justru kekasihnya mengalami nasib tragis seperti ini?

Marshall datang dengan tubuh penuh darah dan luka bekas tusukan. Bahkan sebilah pisau pun masih menancap di perutnya.

Sebenarnya apa yang telah terjadi terhadap Marshall? Mengapa kejadian naas ini tepat di hari ulang tahun Viana?

Begitu banyak pertanyaan dalam benak Mariana. Namun, tak ada satu pun yang bisa menjawab pertanyaannya itu.

"Ada apa, Ma?"

Mariana terlonjak kaget dan segera tersadar dari lamunannya. Dia merasa begitu terkejut saat mendengar suaminya itu memanggil dirinya.

"Eh, Papa. Nggak ada apa-apa kok, Pa," sahutnya dengan raut wajah gelagapan.

"Mama melamun?" tanya Wijaya menyelidik.

"Eh, enggak kok. Mama cuma .... cuma capek aja," kilah Mariana lagi.

Wijaya menatap istrinya dengan terheran-heran. Namun, sejurus kemudian dia justru melemparkan senyum ke arah istrinya tersebut.

"Katakan yang sejujurnya, Ma," celetuk Wijaya tiba-tiba.

"Apa, Pa?" tanya Mariana sambil mendongak ke arah suaminya itu.

"Papa tahu kalau mama sedang berbohong. Jadi, lebih baik Mama katakan yang sejujurnya," titah Wijaya.

Tak terasa mereka telah tiba di parkiran rumah sakit.

Mariana terlihat begitu kaget ketika mereka sudah berada di parkiran.

Betapa lamanya dia melamun tadi, sampai-sampai dia tidak menyadari bahwa mereka sudah berjalan sejauh itu.

"Tolong bukakan pintu mobilnya, Ma," pinta Wijaya.

"Iya, Pa."

Mariana pun segera membukakan pintu mobil.

Sementara Wijaya bergegas membaringkan Viana di bangku belakang. Sementara dia sendiri menuju ke bangku depan untuk mengambil alih kemudi.

"Mama duduk di belakang bersama Viana ya," titah Wijaya.

"Baik, Pa," jawab Mariana dengan patuh.

Mariana pun bergegas duduk di bangku belakang untuk menemani putri semata wayangnya tersebut.

Tak lama kemudian, Wijaya segera melajukan mobil tersebut untuk kembali ke rumahnya. Putrinya harus segera beristirahat supaya perasaanya bisa menjadi lebih tenang.

"Apa yang sedang Mama pikirkan?" tanya Wijaya ketika melihat istrinya terdiam.

"Begini, Pa. Apa ya yang kira-kira sudah terjadi kepada Marshall? Kenapa tiba-tiba dia datang dengan tubuh penuh luka seperti itu?" tanya Mariana meluapkan keingintahuannya.

"Jadi itu yang membuat Mama merasa gelisah?" Wijaya justru balik bertanya.

"Iya, Pa," angguk Mariana.

Wijaya terdiam sejenak. Namun, ia segera mengatakan kepada istrinya sesuatu yang cukup membuat Mariana merasa tenang.

"Mama tidak usah khawatir. Papa pasti akan mencari tahu tentang peristiwa yang sudah menimpa Marshall," tekad Wijaya.

Mariana mengangguk dengan penuh harapan.

"Semoga kedepannya kehidupan Viana akan menjadi lebih baik," harapnya.