Drettttt,
Pintu ruang ICU itu pun terbuka, membuat semuanya menanti kabar dengan hati berdebar-debar. Setelah sekian lama menunggu, akhirnya dokter yang menangani Marshall pun keluar dari ruang ICU. Dia menatap ke arah keluarga Marshall dengan pandangan iba. Tergambar sebuah kesedihan yang begitu jelas di raut wajahnya.
Viana beserta kedua orang tuanya, dan kedua orang tua Marshall bergegas menghampiri dokter tersebut dengan wajah yang penuh dengan harapan.
"Dokter, bagaimana keadaan anak saya? Apakah dia sudah siuman?" Rini bertanya dengan penuh harap.
"Marshall baik-baik aja kan, Dok? Dia nggak kenapa-kenapa kan?" tanya Viana yang mulai diliputi perasaan cemas.
Dokter itu segera menoleh ke arah Viana dan mamanya Marshall. Setelah itu pandangannya beralih kepada semua orang yang ada di ruang tunggu itu. Tak lama kemudian, dokter itu justru mengusap matanya yang tampak mengembun. Entahlah.
Apakah dokter itu menangis ?
"Dokter kenapa diam saja? Bagaimana dengan keadaan anak saya, Dok?" tanya Hendra yang mulai tersulut emosinya.
"Bapak, Ibu, dan semuanya. Saya berharap agar kalian semua dapat bersabar. Kami sudah berusaha sebaik mungkin. Apapun telah kami lakukan demi kesembuhan pasien, tapi ...." Dokter itu tidak meneruskan kata-katanya.
"Tapi apa, Dok?" tanya Rini dengan jantung berdebar-debar tak karuan.
"Katakan terus terang, Dok. Jangan buat kami khawatir seperti ini," timpal Viana yang mulai gemetar.
Sepertinya dia merasakan bahwa ada hal buruk yang telah terjadi.
"Ternyata Tuhan sudah berkehendak lain. Putra Bapak dan Ibu sudah tiada, Tuhan sudah memanggilnya. Maafkan kami karena tidak bisa menyelamatkannya, Pak, Bu," ucap Dokter tersebut sambil menundukkan kepala.
Duarrr,
Ucapan dokter itu bagaikan sambaran petir di telinga Viana dan keluarga Marshall. Beberapa patah kata itu seakan mengiris ulu hati Rini, hati seorang Ibu yang merasa sakit dan lemah karena kehilangan anak satu-satunya.
Rini seakan tak percaya dengan kejadian ini, dan tiba-tiba dia pun berteriak histeris.
"Marshall!" jerit wanita malang itu dengan berlinang air mata.
Rini terus menangis dan berteriak histeris, sembari memanggil-manggil nama Marshall. Namun, bukan hanya dia saja yang merasa terpukul ketika mendengar pernyataan dari dokter itu.
Viana dan keluarganya pun juga tak kalah terkejutnya. Dia merasa sangat terkejut dengan apa yang disampaikan oleh dokter tersebut. Gadis cantik itu lalu menitikkan air mata dukanya. Dia seolah tak percaya bahwa kekasihnya sudah pergi untuk selamanya.
"Marshall, hiks hiks," isaknya lirih.
Tubuhnya mendadak terhuyung-huyung dan terasa gemetaran.
"Nggak mungkin Marshall pergi secepat ini. Nggak mungkin!" pekiknya dengan pandangan samar.
Tiba-tiba saja tubuhnya limbung dan terjatuh ke lantai. Semuanya terkejut melihat kondisi Viana.
Gadis itu jatuh pingsan dengan wajah pucat pasi.
"Viana!" jerit Mariana.
Mariana dan Wijaya bergegas menghampiri putrinya yang tergolek lemah itu.
Wijaya segera mengangkat tubuh putrinya dan membaringkannya di kursi tunggu.
"Viana, bangun, Sayang!" Mariana berkata sambil menepuk-nepuk pipi putrinya.
"Sayang, sadarlah. Kami tidak akan membiarkan kamu sendirian," imbuh Rini.
Kedua wanita itu segera mengoleskan minyak kayu putih di pelipis dan leher Viana. Mereka merasa sangat cemas melihat keadaan Viana yang seperti ini. Dia pasti merasa sangat terpukul karena telah ditinggal pergi oleh sang kekasih.
Setelah beberapa saat, akhirnya Viana pun tersadar dari pingsannya. Dia menatap ke sekeliling rumah sakit dengan pandangan hampa.
Rasanya dia sudah benar-benar tidak berdaya. Kehidupannya terasa hancur karena Marshall telah pergi meninggalkannya. Lelehan air mata pun kembali menghiasi wajah cantiknya.
"Marshall, huhuhu. Inikah kado ulang tahun yang kamu berikan untukku? Tuhan, kenapa kau begitu kejam padaku," rintihnya dengan tangis sesenggukan.
Mariana dan Rini bersama-sama merangkul Viana, serta mengusap-usap rambutnya. Mereka berusaha untuk menenangkan perasaan gadis yang hatinya tengah hancur itu.
"Lebih baik kamu istirahat dulu, Viana. Kondisi kamu sedang tidak baik. Kamu harus menenangkan pikiran untuk sesaat," kata Rini mencoba menghiburnya.
"Iya, Viana. Apa yang dikatakan oleh mama kamu itu benar. Kamu harus istirahat terlebih dahulu." Mariana menimpali.
"Apa, Ma? Istirahat? Kekasihku udah pergi ninggalin aku. Dia udah pergi untuk selama-lamanya, dan Mama masih bisa menyuruh aku untuk istirahat?" tanya Viana dengan nada setengah emosi.
"Bukan begitu maksud mama kamu, Sayang. Mama kamu hanya nggak mau kalau kamu sampai stress dan kelelahan. Nanti kamu malah nggak bisa mempersiapkan acara penghormatan terakhir untuk Marshall," tutur Rini sambil menahan isak tangisnya.
Dia harus berusaha untuk tegar, karena ada seseorang yang juga terluka sama seperti dirinya.
"Aku harus bisa menenangkan hati Viana. Masa depannya masih panjang. Jangan sampai dia frustasi dan menolak untuk melanjutkan hidup karena kepergian putraku. Akulah yang akan bertanggung jawab padanya," batin Rini seraya mengusap air matanya.
"Tapi aku nggak akan kuat, Tante. Aku nggak akan bisa hidup tanpa Marshall. Aku sangat mencintainya," teriak Viana histeris.
"Tante merasakan apa yang kamu rasakan, Viana. Tante adalah mamanya Marshall. Tante selalu merawat dan menyayanginya sampai dia menjadi dewasa. Namun, semua ini adalah kuasa dari Sang Pencipta, Nak. Maut itu sudah digariskan oleh Allah. Tinggal kita siap menghadapinya atau tidak. Kita harus bisa menerima semua ketetapan yang Allah berikan kepada kita." Rini mencoba menjelaskan kepada Viana yang masih terluka itu.
Viana menatap mamanya dan mamanya Marshall itu secara bergantian. Tak lama kemudian dia justru memalingkan muka sambil menangis tersedu-sedu.
"Aku nggak mau kehilangan Marshall. Kalau dia pergi maka aku akan ikut pergi bersamanya." Viana menghela napas sambil terisak.
"Apa yang kamu katakan?" kali ini Hendra yang menyahut perkataan Viana.
Memang sedari tadi dia mendengarkan semua percakapan ketiga perempuan itu, tapi dia tak mau menimpali karena takut akan menambah duka di hati mereka semua.
Namun, dia merasa tak terima dengan perkataan Viana barusan. Hendra tidak ingin jika Viana sampai berputus asa karena kepergian putranya, Marshall.
"Kamu tidak boleh seperti itu, Vi. Kamu harus bisa menjalani kehidupan tanpa Marshall. Om yakin, dia pasti tidak akan senang jika melihat kamu seperti ini," lanjut Hendra lagi.
"Enggak, Om. Aku nggak akan pernah bisa hidup tanpa Marshall. Nggak bisaa! Aku sangat mencintainya!"
Viana menjerit sejadi-jadinya. Dia menangis sambil memukuli kepala dan wajahnya sendiri.
"Apa yang kamu lakukan?" teriak Wijaya, sang papa.
Dia segera menghentikan putrinya yang sudah seperti kerasukan jin.
"Stop! Hentikan!" teriaknya.
"Mashall, kenapa kamu ninggalin aku sendirian? Kenapa? Huhuhuhu," tangis Viana semakin menjadi.
Penampilannya sudah berantakan seperti orang yang tak terurus. Rambutnya sudah acak-acakan dengan wajah yang tampak pucat.
"Jangan tinggalin aku," rintihnya yang mulai kelelahan.
Semua yang berada di tempat itu merasa sangat prihatin dengan kondisi Viana saat ini. Pasti jiwanya merasa terguncang karena telah kehilangan kekasih yang begitu dicintainya.
Mereka mencoba menghibur Viana dengan berbagai kata-kata, dan berusaha memberikan motivasi kepadanya. Namun, hal itu sama sekali tidak berpengaruh kepada Viana. Dia tetap saja merasa depresi karena telah ditinggalkan oleh Marshall untuk selamanya.