Terik matahari terasa terik menyilaukan mata. Ditambah bisingnya suara-suara kendaraan di luar sana, membuat seseorang pasti hendak membuka mata.
Itulah yang dirasakan oleh Viana. Gadis berwajah cantik itu mengerjapkan matanya sambil menutupi wajah dengan sebelah tangannya. Cahaya matahari yang sangat silau itu benar-benar membuat matanya perih.
"Uh, silau banget," keluh Viana sambil menyipitkan kedua matanya.
Kepalanya terasa sangat pusing, serta tubuhnya pun begitu lemah. Rasanya dia enggan untuk beranjak dari tempat tidurnya.
Remaja cantik berusia 22 tahun itu lantas segera menutup kembali tubuhnya menggunakan selimut tebal yang berada di sampingnya. Dia berniat untuk melanjutkan kembali istirahatnya.
Namun, suara-suara bising itu terus saja mengusik pikirannya. Mana mungkin dia bisa beristirahat dengan suara hingar bingar seperti itu. Lagi pula ini pasti sudah tengah hari, karena matahari tampak bersinar terik dari balik kaca jendelanya.
Akhirnya Viana pun bergegas turun dari ranjang empuknya. Dia bermaksud untuk menutup kembali tirai jendela yang telah tersibak itu.
"Pasti mama yang sudah membuka tirai ini," batinnya.
Viana pun melangkahkan kaki menuju ke jendela di kamarnya.
Tangannya segera menggapai korden bermotif unicorn dan berwarna merah muda tersebut. Namun, mendadak dia terdiam dengan tatapan kosong. Ada sesuatu yang melintas di pikirannya.
"Unicorn," cetusnya tiba-tiba.
Dia tampak sedang memikirkan sesuatu. Entah apa yang tengah dipikirkannya saat ini.
Namun, tiba-tiba saja dia berlari menuju ke lemari riasnya di sudut kamar. Dibukanya laci yang berada di urutan paling atas pada lemari tersebut.
"Nah, ini dia. Aku menemukannya," gumamnya pelan.
Sebuah boneka rajut berbentuk unicorn sedang berada dalam genggaman tangannya saat ini. Boneka indah dengan hiasan bermotif love di bagian depannya. Namun, bukan hal itu yang membuat tangan Viana gemetar seperti sekarang ini.
Melainkan dua buah ukiran nama yang terpampang pada motif hati tersebut.
"Viana dan .... Marshall," ucapnya dengan suara tercekat.
Tangan dan kakinya menjadi gemetar seketika. Wajahnya terasa memanas dan jantungnya pun mulai berdetak kencang tak karuan.
Pandangannya mulai berkaca-kaca, dan pikirannya seperti telah terbangun dari sebuah tidur panjang.
Tak berapa lama kemudian, air yang sedari tadi menggenang di pelupuk matanya itu pun tumpah dan membasahi pipi cantiknya.
"Bagaimana mungkin aku bisa melupakan semua ini? Kenapa aku bisa begitu ceroboh? Kenapa aku lalai?" tanyanya dengan penuh rasa penyelasan.
"Marshall!!" pekiknya.
Tubuhnya mendadak sempoyongan, dan dia pun segera terduduk lemah di lantai sambil menangis sesenggukan.
"Marshall, huhuhu," tangisnya tersedu-sedu.
"Kenapa kamu ninggalin aku? Kenapa kamu nggak mengajakku untuk pergi sama kamu, Shall? Kenapa?" jerit Viana sambil memukuli kepalanya sendiri.
Setelah beberapa saat menyiksa dirinya sendiri, tiba-tiba pandangannya tertuju ke atas meja di samping tempat tidurnya.
Dengan setengah berlari dia menghampiri meja tersebut, dan segera mengacak-acak apapun yang berada di atasnya. Akhirnya dia menemukan sebuah benda yang dicarinya.
"Ya, ini yang aku cari. Dengan ini, aku akan bisa bersatu lagi bersama Marshall. Aku nggak akan pernah bia hidup tanpa dia, jadi ini adalah keputusan yang tepat," gumamnya seorang diri.
Sebuah gunting kecil yang nampak tajam sedang berada di tangannya sekarang. Viana menatap gunting itu dengan mata sembabnya.
"Kita akan selalu bersama, Marshall. Kita nggak akan pernah berpisah. Aku sangat mencintaimu," teriaknya dengan lantang.
Bersamaan dengan teriakannya itu, dia pun lantas mengarahkan gunting yang dipegangnya itu menuju ke pergelangan tangannya sendiri.
Crashh,
Sebuah sayatan berhasil diciptakannya di pergelangan tangan. Darah pun menetes seketika, meninggalkan bekas yang kontras di lantai berkeramik putih itu.
Brakk,
Tiba-tiba saja pintu kamar yang sedari tadi terkunci, mendadak terbuka lebar karena telah didobrak oleh seseorang.
"Viana!"
Seorang pria berusia sekitar 23 tahun, berteriak dan memanggil namanya. Dia segera menghampiri Viana, dan langsung terduduk lemah di sampingnya.
"Apa yang kamu lakukan?" tanyanya kepada Viana.
Dia melihat tetesan darah yang terus mengalir dari pergelangan tangan Viana. Dengan penuh kepanikan, pemuda itu celingukan kesana kemari, seperti sedang mencari sesuatu. Tergambar jelas pada raut wajahnya, bahwa ada rasa khawatir yang begitu besar terhadap keadaan Viana.
Merasa tak mendapatkan apa yang dicarinya, akhirnya pria itu mengambil gunting yang ada di tangan Viana. Dengan secepat kilat, diraihnya gunting tersebut dan dipergunakannya untuk mengoyak kaos yang sedang dikenakannya.
Dia segera mengambil sobekan kaos tersebut dan membalutkannya pada pergelangan tangan Viana yang setengah terbuka.
"Kenapa kamu nekat melakukan hal ini? Dasar ceroboh," gerutu pria itu sambil terus menutup luka di tangan Viana menggunakan potongan kaosnya.
"Aku nggak akan membiarkan sesuatu yang buruk terjadi sama kamu, Vi," imbuhnya lagi.
Viana menatap pria tersebut dengan menyunggingkan sebuah senyum di wajah cantiknya.
"Ryan," panggilnya lirih.
Pria bernama Ryan itu balas menatap Viana dengan matanya yang tampak berembun.
Ia adalah saudara sepupu Viana yang rumahnya berada tak jauh dari rumah Viana.
Mariana dan Wijaya meminta tolong kepada Ryan untuk menjaga Viana, selama mereka tak berada di rumah.
"Iya, Vi. Ada apa? Kenapa kamu sampai senekad ini?" tanya Ryan dengan penuh rasa sesal.
Ia benar-benar menyesalkan apa yang telah diperbuat oleh Viana. Mengapa dia tidak bisa menjaga gadis itu dengan baik? Mengapa dia bisa lalai dengan keadaan Viana?
Padahal semua orang sudah berpesan kepadanya, agar dia selalu menjaga dan mengawasi Viana. Hal ini diharapkan agar sepupunya itu tidak melakukan tindakan-tindakan yang nekat dan berbahaya.
Namun, sekarang semuanya sudah terjadi. Karena keteledorannya, akhirnya Viana benar-benar melakukan apa yang dikhawatirkan oleh semua orang.
"Apa yang ka .... mu lakukan di .... sini?," tanya Viana dengan suara tersendat-sendat.
"Aku disuruh oleh Tante Mariana dan Om Wijaya untuk menjaga kamu. Sekarang, kamu nggak usah khawatir ya. Aku akan segera membawa kamu ke rumah sakit," tukas Ryan seraya beranjak dan menggendong Viana.
Namun, Viana justru menahan tangan sepupunya itu.
"Ja.... jangan. Biar... kan aku per.... gi," rintihnya.
"Enggak, Vi. Kamu nggak boleh kenapa-kenapa. Suka atau enggak, aku akan tetap membawa kamu ke rumah sakit." Ryan bersikeras.
Tanpa menunggu jawaban dari Viana, pria itu segera mengangkat tubuh Viana dan menggendongnya ke luar dari kamar tersebut.
Sementara Viana sendiri merasakan tubuhnya yang terasa semakin lemah dan tak berdaya. Rasa sakit di pergelangan tangannya, perlahan-lahan menjalar ke sekujur tubuhnya, dan sepertinya dia sudah kehilangan begitu banyak darah.
Dalam gendongan Ryan, dia menatap ke langit-langit rumah. Bayangan wajah Marshall selalu hadir di pelupuk matanya. Namun, Viana justru merasa sangat bahagia dengan pilihannya kali ini.
Viana membayangkan bahwa dia akan segera bersua dengan kekasihnya itu di surga.
Perlahan-lahan gadis malang itu mulai mengatupkan kedua matanya, dengan seulas senyuman tersimpul di bibirnya.
"A.... ku sangat men.... cintaimu, Marshall," ucapnya lirih.
Tak lama kemudian, Viana pun memejamkan kedua matanya. Hal ini membuat Ryan menjadi panik dan kalang kabut. Dia segera berlari sambil menggendong Viana menuju ke mobilnya.
Dibukanya pintu mobil itu dengan susah payah, karena dia sedang menggendong Viana. Setelah itu, dia mendudukkan sepupunya itu di sebelahnya. Ryan pun segera tancap gas menuju ke rumah sakit terdekat.
Sepanjang perrjalanan, dia menatap sepupunya itu dengan perasaan iba. Dia merasa begitu prihatin dengan kondisi Viana saat ini.
"Semoga kamu baik-baik aja, Vi" harapnya.
Ryan pun mulai berpikir, betapa beruntungnya Marshall karena memiliki seorang kekasih yang mencintainya dengan begitu besar. Viana bahkan rela melakukan apapun demi kekasihnya itu.
"Marshall sangat beruntung karena memiliki Viana," pikirnya.
Ryan terus saja memikirkan tentang keadaan sepupunya itu, hingga dia tak menyadari bahwa saat ini mereka telah tiba di rumah sakit.
Dengan langkah tergesa-gesa, Ryan menggendong Viana dan memanggil beberapa perawat. Para perawat dengan sigap menyiapkan brankar dan segera membawa Viana ke UGD.
Ryan menatap kepergian Viana dengan penuh kecemasan dan harapan. Saat ini hanya satu hal yang diinginkannya, yaitu keselamatan sepupunya.
"Kamu harus selamat, Viana. Aku nggak akan membiarkan sesuatu yang buruk terjadi sama kamu," ucapnya tegas.
Beberapa saat kemudian, dia melihat beberapa dokter yang berlarian menuju ke UGD tempat Viana dirawat. Terlihat kepanikan dan kecemasan di wajah-wajah mereka.
Melihat ekspresi para dokter itu, jantung Ryan mulai berdetak kencang. Wajahnya nampak tegang dan takut.
Dia takut kalau sampai terjadi sesuatu kepada putri dari pamannya itu.
"Enggak, Viana nggak akan kenapa-kenapa. Dia pasti akan baik-baik aja," ucapnya untuk meyakinkan diri sendiri.
Ryan segera mengambil ponsel di saku celana jeansnya. Dia berniat untuk menghubungi Wijaya.
"Om Wijaya harus tahu dengan kejadian ini. Dia pasti marah kalau sampai tahu tentang keadaan Viana, tapi mau bagaimana lagi? Aku harus memberitahukan hal ini kepada Om Wijaya dan Tante Mariana," tekadnya.
Dia segera mencari kontak atas nama Om Wjaya. Setelah menemukannya, Ryan pun lalu menekan tombol hijau di smartphone miliknya itu.
Tut, tut, tut,
Panggilan tersambung, dan Ryan pun menunggu jawaban dari pamannya itu selama beberapa saat.