Ting, tong, ting, tong.
Jam besar di dinding rumah itu mengarah ke angka tujuh. Pertanda bahwa waktu saat ini sudah menunjukkan jam tujuh malam. Hari pun sudah tampak gelap, dan hanya gemerlapnya lampu-lampu yang menerangi rumah mewah ini.
Kring, kring, kring.
Ponsel Mariana maupun Wijaya terus berdering berulang kali. Namun, si empunya ponsel tampaknya tak menyadari dengan bisingnya suara yang ditimbulkan oleh gawainya tersebut.
"Bismillahirrahmanirrahim."
Suara beberapa orang yang tengah membacakan Surat Yaasin dan tahlil terdengar begitu khidmat.
Di sudut rumah, terlihat Rini dan Mariana, serta beberapa puluh wanita berkerudung dengan pakaian serba putih. Sementara di sisi lain, tampak pula Hendra, Wijaya beserta beberapa puluh pria yang juga mengenakan pakaian serba putih.
Mereka semua terlihat begitu khusyuk dalam melantunkan ayat-ayat suci Al-qur'an.
Beberapa jam kemudian, semua orang pun menyudahi acara pembacaan Yaasin dan tahlil tersebut. Setelah berbincang-bincang selama beberapa saat, Rini selaku pemilik rumah pun berpamitan kepada para wanita untuk pergi ke dapur. Dia berniat untuk membuatkan minuman dan sekedar mengambil makanan ringan.
Namun, langkahnya terhenti saat mendengar suara deringan telepon yang terus menerus. Suara deringan itu berasal dari dalam tas mini milik Mariana yang berada di meja dapur.
Memang sejak tadi pagi, Mariana dan Wijaya pergi ke rumah Rini guna menghadiri acaran tahlilan dan doa bersama untuk Almarhum Marshall. Sesampainya di rumah mewah itu, Rini segera mengajak Mariana untuk membantunya di dapur. Hingga akhirnya Mariana pun meletakkan tasnya di sembarang tempat. Bahkan mungkin sekarang dia juga masih melupakan dimana tas mungilnya itu berada.
Awalnya Rini tak terlalu menghiraukan panggilan di telepon itu. Namun, lama kelamaan dia menjadi semakin penasaran, karena telepon itu tak kunjung berhenti berbunyi.
Kring, kring, kring,
Karena tak dapat menahan rasa penasarannya, akhirnya Rini pun mengambil ponsel dari dalam tas Mariana.
Rini tampak mengernyitkan dahi saat melihat seseorang atas nama Ryan, menghubungi Mariana berulang kali.
"Ryan siapa ya? Apa mungkin ini Ryan keponakannya Mas Wijaya yang mereka tugaskan untuk menjag Viana? Kira-kira ada apa ya?" Rini mulai bertanya-tanya.
Kring, kring, kring,
Lagi-lagi ponsel Mariana yang sedang dipegangnya itu berdering. Karena tak ingin dianggap tidak mempunyai etika, akhirnya Rini membawa ponsel tersebut kepada Mariana di ruang depan.
Rini berjalan perlahan mendekati Mariana dan menepuk bahunya.
"Mbak, ada telepon," ujar Rini seraya menyerahkan ponsel kepada Mariana.
"Oh iya? Siapa Mbak?" tanya Mariana sambil meneriman ponsel tersebut.
"Atas nama Ryan, Mbak. Dia menelepon berulang kali," jawab Rini setengah berbisik.
"Oh, kebetulan ponsel ini milik suami saya, Mbak. Tadi ponselnya dititipkan ke saya, dan Ryan itu keponakannya Mas Wijaya." Mariana menerangkan.
"Oh, begitu. Ya sudah, Mbak angkat dulu sana siapa tahu penting," kata Rini dengan perasaan was was.
"Iya, Mbak. Sebentar ya." Mariana berkata sambil berlalu meninggalkan Rini dan para tamu.
Ia berjalan menghampiri suaminya yang sedang bercengkerama dengan Hendra, dan memberitahukan bahwa ada telepon dari Ryan.
Sementara itu di rumah sakit,
Para dokter berusaha keras untuk menghentikan pendarahan di tangan Viana. Sedari tadi darahnya terus mengalir seakan tak mau berhenti. Para petugas medis sudah hampir putus asa, tapi mereka tetap berusaha untuk melakukan yang terbaik demi menyelamatkan nyawa pasien.
Ryan yang berada di luar UGD tampak berjalan mondar-mandir sambil mengepalkan tangannya. Perasaannya benar-benar kacau.
Dia merasa sedih, kecewa, marah, dan putus asa. Ingin rasanya dia melampiaskan seluruh emosinya tersebut, tapi kepada siapa?
Lalu dia pun segera mengambil smartphonenya dan berusaha untuk menghubungi pamannya kembali.
Tut, tut, tut,
"Halo!" terdengar jawaban dari seberang sana.
"Halo, Om. Om kemana aja sih? Aku hubungin dari tadi siang, tapi teleponku nggak pernah diangkat. Om kemana aja?" Ryan mencecar pamannya dengan berbagai macam pertanyaan.
"Tenang, Ryan. Tenang, katakan ada apa sebenarnya?" Wijaya bertanya dari seberang telepon.
"Aku sedang kebingungan, Om," nada bicara Ryan terdengar gelisah.
"Sabar, Nak! Sabar! Apa yang terjadi sama kamu? Kamu tahu kan kalau Om lagi tahlilan di rumahnya Om Hendra. Memangnya ada apa, Ryan?" tanya Wijaya dengan sabar.
"Aku lagi di rumah sakit, Om," jawab Ryan tanpa basa basi.
Wiajaya tersentak kaget saat mendengar jawaban dari keponakannya itu.
"Kamu di rumah sakit? Bagaimana mungkin? Apa yang terjadi sama kamu, Ryan?" Wijaya bertanya dengan penuh kecemasan.
"Bukan aku, Om." Ryan segera menyahut perkataan pamannya itu.
"Bukan kamu? Lalu siapa?" tanya Wijaya yang semakin kebingungan.
"Huft," terdengar Ryan menghela napas panjang.
"Viana, Om. Dia berusaha untuk bunuh diri," jawab Ryan apa adanya.
"Apaa? Viana?" seru Wijaya dengan kagetnya.
Matanya membelalak tak percaya dengan apa yang telah dikatakan oleh keponakannya itu. Perasaannya menjadi gelisah tak karuan, serta pikiran negatif terus muncul di kepalanya. Dia bahkan sudah membayangkan kalau-kalau terjadi sesuatu yang buruk terhadap putrinya di rumah sakit.
"Iya, Om. Tolong Om Wijaya sama Tante Mariana cepetan kesini ya. Aku benar-benar bingung dan nggak tahu harus berbuat apa," ucap Ryan lirih.
"Iya, iya. Om dan Tante akan segera kesana. Kamu tunggu sebentar ya," balas Wijaya dengan cemas.
"Iya, Om. Cepat kesini, Om," pesan Ryan lagi dengan nada panik.
"Iya, iya. Ya sudah, Om tutup dulu teleponnya," pamit Wijaya dari seberang sana.
"Iya, Om," sahut Ryan.
Setelah itu, Wijaya pun segera mematikan sambungan teleponnya.
Ryan merasa sedikit lebih lega setelah menghubungi pamannya. Dia berharap semoga om dan tantenya bisa segera datang untuk turut menemani Viana di sini.
Setelah mendapatkan telepon dari Ryan, Wijaya segera berjalan menghampiri Mariana yang sedang berbincang-bincang dengan Rini.
"Ma, ayo kita pulang," ajak Wijaya dengan perasaan tak menentu.
Mariana terperangah mendengar ajakan Wijaya yang terdengar mendadak.
"Loh, memangnya kenapa, Pa? Apa Ryan memberikan kabar buruk?" tanya Mariana dengan heran.
"Iya, Ma. Dia bilang kalau Viana masuk rumah sakit, karena percobaan bunuh diri," terang Wijaya.
"Apaa?"
Mariana serta Rini menjerit histeris. Kedua wanita itu pun mulai menangis membayangkan nasib Viana yang tidak-tidak.
"Baiklah, ayo kita pulang, Pa. Viana pasti membutuhkan kita," tukas Mariana dan segera berkemas dengan tergesa-gesa.
Pikirannya mulai kacau dan dia panik bukan kepalang. Putri kesayangannya saat ini sedang terbaring lemah di rumah sakit, dan itu membuatnya benar-benar tidak tenang.
Di saat Mariana sedang merasa gelisah, mendadak Hendra muncul dari balik pintu. Tentu saja dia merasa heran melihat Wijaya dan Mariana yang tampak terburu-buru itu.
"Ada apa, Mbak, Mas?" tanya Hendra sambil berjalan mendekat.
Semuanya menoleh ke arah Hendra dengan wajah penuh kekhawatiran.
"Viana, Pa." Kali ini Rini lah yang menjawab.
"Viana? Kenapa dengan Viana? Apa yang terjadi?" tanya Hendra mulai cemas.
"Viana masuk rumah sakit, Mas," jawab Mariana.
Wijaya pun segera menceritakan apa yang telah disampaikan oleh Ryan melalui sambungan telepon barusan. Mariana dan Wijaya juga mohon diri kepada Rini dan Hendra untuk berpamitan. Dia berniat untuk segera menjenguk Viana ke rumah sakit.
"Aku ikut, Mbak," pinta Rini saat mengetahui bahwa Mariana dan Wijaya hendak mengunjungi Viana di rumah sakit.
"Lalu bagaimana dengan acara tahlilan dan para tamu, Mbak?" tanya Mariana tak tega.
"Nggak apa-apa, Mbak. Mas Hendra bisa mengurus semua itu. Lagipula acaranya sudah selesai kok, Mbak. Aku akan segera bersiap-siap, dan kita akan pergi bersama ke rumah sakit," kukuh Rini lagi.
"Iya, itu benar. Saya bisa mengurus semua ini," sahut Hendra.
"Baiklah kalau begitu, Mbak. Mari," ajak Mariana.
"Iya." Rini menganggukkan kepala.
Wijaya, Mariana, dan Rini pun segera bersiap-siap untuk menuju ke rumah sakit. Mereka lalu berpamitan kepada Hendra dan juga para tamu.
Setelah selesai berpamitan, Mariana dan Wijaya lantas mengajak Rini untuk naik ke dalam mobilnya.
Akhirnya Wijaya pun melajukan mobilnya menuju ke rumah sakit tempat Viana dirawat.
Sepanjang perjalanan mereka terus berdoa dan berharap supaya Viana diberikan kesembuhan.
Setelah berkendara sekitar tiga puluh menit, akhirnya mereka pun tiba di rumah sakit. Mereka bergegas turun dari mobil dan menuju ke ruang Unit Gawat Darurat.
Sesampainya di sana, mereka melihat Ryan yang berjalan mondar mandir dengan mengepalkan kedua tangannya. Sepertinya dia merasa sangat khawatir dengan keadaan sepupunya yang tengah berada di dalam sana.
Wijaya, Mariana, dan Rini segera berlari menghampiri Ryan yang terlihat tengah mengusap wajahnya kasar.
"Ryan, apa yang terjadi?" tanya Mariana tiba-tiba.
Ryan terperanjat dengan kehadiran mereka bertiga. Dia segera menoleh ke arah om dan tantenya, serta Rini. Matanya terlihat sembab dan berkaca-kaca.
"Viana, Tante," jawabnya sendu.
"Kenapa dia bisa melakukan hal ini?" tanya Mariana dengan gelisah.
"Aku nggak tahu kejadian jelasnya seperti apa, Tante. Waktu itu dia sedang berada di kamarnya saat aku sedang keluar. Tiba-tiba saja aku mendengar teriakannya, dan aku segera berlari ke kamarnya. Namun, sesampainya di sana aku melihat Viana sudah melukai pergelangan tangannya sendiri sambil terus menyebut nama Marshall. Aku begitu panik dan segera membawa Viana ke rumah sakit ini. Sejak tadi siang aku berusaha untuk menghubungi Om Wijaya maupun Tante Mariana, tapi nggak pernah ada jawaban," terang Ryan panjang lebar.
Baik Wijaya, Mariana, maupun Rini merasa sangat terkejut saat mendengar penjelasan dari Ryan.
Rupanya Viana masih belum bisa melupakan Marshall. Padahal hari ini sudah hari ketiga sejak kepergian Marshall.
Ya, Viana pingsan dan tak sadarkan diri selama tiga hari. Di hari pertama, jenazah Marshall dimakamkan tanpa kehadiran Viana.
Lalu di hari kedua dan ketiga, diadakanlah acara tahlilan untuk Marshall di rumah orang tuanya.
Selama itu pula, Viana masih belum sadarkan diri. Para keluarga berharap semoga Viana bisa segera melupakan Marshall setelah dia sadar nanti. Namun, pada saat dia siuman justru hal inilah yang dilakukannya.
Sungguh perbuatannya ini telah membuat semua orang merasa seperti kehilangan harapan mereka.
"Maafkan Om, Ryan. Om benar-benar nggak tahu kalau kamu menelpon sejak tadi siang. Sekali lagi maaf, Nak," ucap Wijaya seraya menepuk bahu keponakannya itu.
"Iya, Om. Nggak apa-apa. Sekarang aku udah merasa lega karena Om dan Tante sudah berada di sini. Aku jadi nggak kesepian lagi, dan begitu pula dengan Viana. Dia sudah nggak sendirian lagi sekarang, karena kalian semua sudah menemaninya di sini," tutur Ryan sambil menyeka air matanya.
"Iya, Ryan. Kita doakan yang terbaik untuk Viana ya. Semoga dia bisa segera sadar," harap Mariana.
"Iya, Tante. Amiin," jawab Ryan.
Mereka bertiga pun saling berdoa di dalam hati masing-masing. Harapan mereka hanya satu, yaitu kesembuhan Viana.
Beberapa saat kemudian, tampak seorang dokter berjas putih keluar dari UGD. Dokter itu berjalan menghampiri Revand dan yang lainnya.
Ryan, Wijaya, Mariana, serta Rini segera menghampiri ke arah dokter tersebut.
Tiba-tiba saja suasana ini mengingatkan mereka pada kondisi Marshall beberapa hari yang lalu. Semoga Viana tidak mengalami nasib yang sama dengan kekasihnya itu.
Mereka bertiga tampak harap-harap cemas dengan apa yang akan disampaikan oleh dokter tersebut. Apakah kabar baik? Ataukah kabar buruk?
Semoga kabar baik lah yang akan mereka dengar kali ini. Semoga.