Sebuah teriakan terdengar memanggil nama Viana. Ia tersentak karena merasa begitu terkejut.
Refleks Viana pun segera menoleh ke arah suara yang memanggilnya.
Betapa terkejutnya dia, saat melihat Ryan tengah berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam yang menakutkan.
"Ry .... Ryan," gumamnya lirih.
Ryan segera berjalan mendekatinya. Dia terus memandang Viana tak berkedip. Ekspresinya ini benar-benar membuat Viana merasa ketakutan.
Viana berjalan mundur ke belakang, dan berniat untuk menghindari Ryan. Secepat mungkin dibukanya pintu rumah sakit tersebut, dan Viana pun berlari keluar dengan langkah tertatih-tatih.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Ryan berjalan menyusulnya. Langkah kaki Viana itu tidaklah lebih cepat dari langkah kakinya.
Gadis 22 tahun itu terus berjalan dengan langkahnya yang terseok-seok. Berulang kali dia terus menoleh ke belakang, memastikan bahwa saudara sepupunya itu tidak sedang mengejarnya.
Setelah merasa yakin bahwa Ryan tidak membuntutinya, Viana pun segera berhenti di tepi jalan raya.
Suasana jalan begitu sunyi dikarenakan hari yang sudah larut malam. Hanya terdapat beberapa kendaraan yang melalui jalan raya tersebut.
Viana kemudian menyandarkan kepalanya pada sebuah pohon palm. Dia benar-benar merasa kelelahan karena telah berjalan cukup jauh dari rumah sakit.
"Huft, aku capek banget, tapi aku nggak boleh menyerah. Aku harus tetap berusaha agar bisa menemukan dia," tekad Viana dalam hati.
"Siapa yang kamu cari?"
Tiba-tiba sebuah suara yang terdengar tepat di sebelah telinganya.
"Hah!"
Viana menjerit karena merasa sangat terkejut. Ia melihat Ryan yang sudah duduk di sampingnya sambil terkekeh.
"Hehe, maaf ya. Aku udah buat kamu terkejut," celetuk Ryan tiba-tiba.
"Ke.... kenapa kamu ada disini?" Viana bertanya dengan gugup.
"Aku tadi ngikutin kamu, Vi." Ryan berkata sambil tersenyum manis.
"Kenapa kamu ngikutin aku?" tanya Viana heran.
"Ya jelas lah aku ngikutin kamu. Tentu saja aku nggak akan membiarkan kamu berjalan seorang diri dalam kondisi seperti ini," ucap Ryan dengan penuh perhatian.
Viana mengernyitkan keningnya dengan penuh keheranan.
"Memangnya kenapa kalau aku sendirian? Sejak kapan kamu peduli sama aku?" tanya Viana keheranan.
"Sejak dulu, Vi," jawab Ryan dengan bersungguh-sungguh.
Viana terperangah mendengar jawaban Ryan tersebut. Dia menatap kedua mata sepupunya itu dengan ragu-ragu. Ya, dia benar-benar meragukan perkataan Ryan.
Sejak kecil, Ryan sudah menjadi seorang anak yatim piatu. Sepupunya itu kemudian diadopsi oleh kedua orang tua Viana dengan penuh kasih sayang.
Akan tetapi, ketika Ryan sudah beranjak dewasa, ia memilih untuk membeli rumah yang tak jauh dari tempat tinggal Viana. Akhirnya Ryan pun tinggal seorang diri di rumah mewahnya tersebut.
Viana juga sudah mengenal Ryan sejak kecil. Dari dulu ia memang tak pernah menyukai sepupunya itu, karena menganggap bahwa Ryan sudah merebut kasih sayang dari kedua orang tuanya.
"Aku nggak percaya sama semua kebohongan kamu," ucap Viana sambil memalingkan wajah.
"Terserah kamu mau bilang apa, Vi. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya, kalau aku memang peduli sama kamu," sahut Ryan meyakinkan.
Viana termenung sejenak, dan memikirkan perkataan sepupunya itu dengan penuh keraguan. Dia pun menoleh dan segera ditatapnya mata Ryan yang tampak sayu.
Kedua mata mereka saling beradu. Namun, Viana merasa sangat kebingungan dengan apa yang dilihat dan dirasakannya.
Dia tidak melihat kebohongan di mata Ryan. Justru sebuah kejujuran dan kesungguhanlah yang terpancar di mata sepupunya itu.
Apakah Ryan serius? Apa dia benar-benar peduli kepada Viana? Ataukah dia mempunyai tujuan lain di balik perkataannya barusan?
Entahlah. Hanya Tuhan dan Ryan saja yang tahu.
"Ah, sudahlah, Yan. Aku belum bisa percaya sama perkataan kamu." Viana berucap sambil menggeser duduknya untuk menjauhi sepupunya itu.
"Kenapa kamu nggak bisa percaya sama perkataanku, Vi?" tanya Ryan sambil duduk mendekati Viana.
"Iya aku nggak akan pernah percaya sama apa yang kamu katakan, Yan. Kamu itu udah terlalu sering berbohong." Viana berkata dengan mimik wajah kesal.
Tiba-tiba saja Ryan meraih tangan Viana dan menggenggamnya dengan erat.
"Kamu lihat aku sekarang dan tatap mataku. Apakah menurut kamu ada kebohongan di mataku ini?" Ryan bertanya dengan penuh keseriusan.
Tentu saja Viana merasa sangat terkejut saat Ryan memperlakukannya seperti itu. Dia merasa risih dengan perbuatan sepupunya itu.
"Lepaskan tanganku, Yan," tepis Viana sambil menarik tangannya.
"Jangan pernah menggangguku lagi. Dulu kamu sudah merenggut kasih sayang dari kedua orang tua aku. Lalu sekarang, kehidupan ini juga telah merenggut kekasihku. Penderitaanku sudah lengkap, Yan. Tolong jangan pernah menambah penderitaanku dengan terus menggangguku. Aku benar-benar lelah. Apa aku masih kurang menderita?" Viana berucap panjang lebar.
"Sssttt! Apa yang kamu katakan?"
Ryan bertanya sambil menempelken jari telunjuknya di bibir Viana, pertanda bahwa dia tidak ingin sepupunya mengatakan hal seperti itu lagi.
"Jangan berkata seperti itu lagi, Vi. Aku nggak pernah merebut Om Wijaya dan Tante Mariana dari kamu. Aku bahkan siap membantu kamu jika memang dibutuhkan." Ryan berkata sambil menatap dalam mata sepupunya itu.
Viana membalas tatapan Ryan dengan penuh keraguan. Dia justru merasa aneh dengan sikap dan perilaku sepupunya tersebut.
Namun, tiba-tiba saja Viana menyunggingkan seulas senyuman kepada Ryan. Dia mendekati Ryan lalu mengacungkan jari kelingkingnya.
"Apa kamu yakin, bahwa kamu tidak akan merebut kedua orang tuaku lagi?" tanya Viana mendelik.
"Iya, Vi. Aku berjanji."
"Apa kamu janji, kalau kamu akan selalu membantu aku?" tanya Viana penuh penekanan.
"Iya. Aku berjanji, bahwa aku akan selalu membantu kamu dalam situasi dan kondisi apa pun," jawab Ryan mantap.
"Yakin?" Viana bertanya sambil mendekatkan jari kelingkingnya ke wajah Ryan.
"Iya, Sepupuku sayang. Aku berjanji." Ryan tersenyum sambil menautkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Viana.
Mereka pun segera tersenyum lepas. Rasanya, ini barulah sebuah keluarga. Dari dulu, mereka berdua tak pernah terlihat akrab seperti ini. Mereka terlihat sangat bahagia.
Ryan melihat sepupunya yang tengah tersenyum bahagia. Dalam hati, dia pun turut merasa bahagia karena akhirnya dia bisa melihat senyuman dari Viana.
Sepupunya itu selalu bermuram durja semenjak kepergian Marshall. Jadi, ini adalah tugasnya untuk bisa membuat sepupunya itu kembali tersenyum.
Mereka saling tersenyum sambil bertautan jari selama beberapa saat, sebelum akhirnya ....
Drrtt, drrtt, drrtt,
Tiba-tiba saja ponsel Ryan bergetar. Mereka berdua tersentak kaget karena getaran dari ponsel tersebut. Namun, tak lama kemudian justru mereka berdua tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, aku kirain apaan. Ternyata cuma bunyi ponsel," kekeh Ryan.
"Haha, iya aku juga kaget. Coba gih kamu lihat, siapa yang telepon," titah Viana kepada sepupunya.
"Siap, Bos," balas Ryan sambil bergurau.
Ia pun segera mengambil ponselnya untuk melihat siapakah yang menghubunginya.
"Hah, Om Wijaya?" Ryan berkata dengan keheranan.
Viana pun spontan menoleh ke arah Ryan dengan perasaan gelisah.
"Papa?" tanya Viana untuk meyakinkan.
"Iya, Vi. Gimana? Aku angkat nggak?" tanya Ryan.
"Iya kamu angkat aja, Yan. Siapa tahu penting," sahut Viana.
"Oke, Bosku," jawab Ryan asal.
Klek,
"Halo, Om," jawab Ryan.
"Halo, Yan. Kamu dimana? Kenapa tiba-tiba menghilang?" tanya Wijaya dengan nada panik.
"Aku.... aku...."
Huh, entahlah. Ryan bingung harus memberikan alasan apa kepada omnya itu.