Chereads / Enemy to be Love / Chapter 15 - Rencana Viana

Chapter 15 - Rencana Viana

"Jawab! kamu lagi dimana sekarang, Ryan?" tanya Wijaya dengan tegas dari seberang sana.

Ryan tampak kebingungan harus memberikan jawaban apa kepada omnya itu. Dia tak terbiasa untuk berbohong, tetapi kali ini mungkin kebohongan pun juga diperlukan.

"Mm, Ryan lagi di warung makan, Om. Tadi Ryan lapar, jadi aku pergi ke warung makan dulu," sahut Ryan yang sudah menemukan alasan untuk menjawab pertanyaan omnya itu.

Untuk sejenak suasana terdengar hening di ponsel tersebut, tak ada suara dari omnya di seberang sana. Namun, sejurus kemudian terdengar suara seorang pria paruh baya yang menyahut perkataan Ryan barusan.

"Oh, ya sudah kalau kamu lagi makan, tidak apa-apa. Kalau begitu, kamu cepat kembali ke rumah sakit ya. Kamu temani Viana di sini, kasihan dia," kata Wijaya dengan nada yang lebih pelan.

"Baiklah, Om," jawab Ryan berusaha bersikap setenang mungkin.

"Ya sudah, kalau begitu Om tutup dulu teleponnya ya," kata Wijaya dari seberang sana.

Ternyata ia hanya ingin memastikan bahwa keponakannya itu baik-baik saja, karena memang keluarganya tak mendapati Ryan di rumah sakit. Mereka khawatir kalau sampai ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi kepada Ryan.

"Iya, Om."

Tut, tut, tut,

Akhirnya sambungan telepon itu terputus. Ryan bisa kembali bernapas lega karena tidak harus membohongi omnya itu terlalu lama.

Plakk.

"Aww." Ryan memekik kerasĀ 

Ia segera mengusap pundaknya yang terasa panas. Lalu dia pun menoleh ke arah Viana yang tengah menatapnya dengan wajah cemberut.

"Ada apa sih, Vi? Kenapa memukul bahuku sekeras itu?" tanya Ryan dengan nada kebingungan.

"Iya habisnya kamu itu bohong terus. Kamu kan udah bilang kalau nggak bakalan bohong lagi. Terus kenapa kamu masih aja bohong sama papa?" tanya Viana dengan nada kesal.

Mendengar alasan kekesalan Viana, membuat Ryan seketika mengambil ponselnya dengan raut wajah yang terlihat pasrah.

"Oke deh, kalau itu permintaan kamu. Aku nggak akan bohong lagi sama Om Wijaya. Aku akan telepon papa kamu lagi, dan bilang kalau sekarang aku lagi di sini sama kamu. Oke," celetuk Ryan dengan sebuah kedipan mata dan seketika menggulir layar ponselnya untuk mencari kontak atas nama omnya tersebut.

Kedua mata Viana langsung membelalak lebar saat mendengar perkataan sepupunya itu. Jika Ryan benar-benar melakukan hal itu, maka rencananya pasti akan berantakan.

Tak lama kemudian, terlihat Ryan yang benar-benar mendial kontak atas mama Om Wijaya, dan hal itu seketika membuat Viana panik dan kalang kabut.

Viana yang melihat hal itu, segera mencegah tangan Ryan untuk menekan tombol hijau yang terpampang pada benda pipih tersebut.

"Eitt, jangan, Ryan! Kamu jangan telepon papa! Rencana aku bisa gagal kalau sampai mama dan papa tahu, jika saat ini aku sedang berada di sini," sergah Viana menahan tangan sepupunya itu.

Ryan pun seketika mengernyitkan dahi dan menghentikan gerakan jemarinya di atas layar ponselnya. Ia lalu mengalihkan pandangannya dan menatap heran kepada sepupu cantiknya yang masih tampak lemah itu.

"Apa maksud kamu, Vi? Rencana apa yang kamu bicarakan?" tanya Ryan penuh selidik.

"Hah? Apa?"

Kali ini Viana justru merasa terkejut dengan pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh Ryan. Secara tak sengaja dia telah membocorkan rahasia dan rencananya sendiri kepada sepupunya itu.

"Eh, engg .... enggak kok. Bukan apa-apa," jawab Viana dengan suara terbata-bata.

Seseorang yang memang tak berbiasa berkata dusta, maka dia akan kesulitan jika sampai mengatakan kebohongan itu. Dan hal itulah yang terjadi kepada Viana saat ini.

Akan tetapi, Ryan justru tersenyum melihat ekspresi gugup dari sepupunya itu. Dia merasa yakin bahwa Viana pasti sedang berbohong saat inu. Gadis cantik itu tak terbiasa melakukan kebohongan, jadi karena itulah dia merasa begitu canggung untuk berbohong.

"Kamu jujur aja, Vi. Apa maksud kamu sebenarnya? Aku tahu kalau kamu pasti sedang berbohong. Kamu nggak bisa berbohong, Viana. Jadi, lebih baik kamu ceritakan semuanya sama aku." Ryan berujar sambil menepuk bahu Viana.

Sementara itu, Viana merasa bahwa aksi berbohongnya tidak lagi berguna. Ryan benar-benar orang yang tidak bisa dibohongi.

Sambil menghela napas panjang, akhirnya Viana pun mulai membuka suara. Dia lantas berniat untuk menceritakan semua rencananya kepada sepupunya itu.

"Baiklah kalau begitu, Ryan. Aku akan menceritakan tentang rencanaku ini sama kamu, tapi ingat ya. Ini hanya kamu aja yang tahu," ucap Viana akhirnya.

"Oke. Jadi kamu punya rencana apa?" Ryan bertanya dengan tak sabar.

Sekali lagi Viana menatap kepada sepupunya yang berpenampilan kalem, namun tetap terlihat maskulin itu.

"Huft, apa kamu ingat tentang apa yang terakhir kali disampaikan oleh Marshall?" Viana justru balik bertanya.

Seketika Ryan menggelengkan kepalanya, karena dia memang tidak mengingat apapun yang dikatakan oleh almarhum Marshall untuk terakhir kalinya.

"Tentu saja aku nggak ingat, Vi. Waktu itu kan aku masih ada di rumah aku sendiri, dan belum datang ke rumah Om Wijaya. Memangnya apa yang dikatakan oleh Marshall?" tanya Ryan lagi.

Viana termenung sejenak. Ingatannya kemudian melayang pada kejadian tragis beberapa hari yang lalu.

Tak lama kemudian, ia pun mulai mengatakan apa yang sedang dipikirkannya dan menceritakan semua kejadiannya kepada Ryan.

"Malam itu, Marshall datang ke pesta ulang tahun dalam kondisi terluka. Dengan suara terbata-bata, dia menyuruh aku untuk mencari seseorang yang bernama Reyhand. Ya, Reyhand. Jika aku ingin mengetahui tentang apa yang sudah terjadi kepada Marshall, maka aku harus mencari Reyhand." Vallen berujar dengan air yang tampak menggenang di pelupuk matanya.

"Reyhand?" tanya Ryan terlihat ragu-ragu.

"Iya, Ryan. Apa kamu kenal sama seseorang yang bernama Reyhand?" Vallen bertanya penuh harap.

"Hmm, sepertinya aku tahu siapa itu Reyhand," jawab Ryan sambil berusaha mengingat-ingat.

"Hah? Serius, Yan?" tanya Viana dengan mata berbinar-binar.

Ada sebuah harapan yang terpancar di mata indahnya itu.

"Iya, tapi aku nggak yakin, Vi. Apakah Reyhand yang dimaksud oleh Marshall itu sama dengan Reyhand yang aku tahu," papar Ryan sambil mengangkat kedua bahunya.

"Kita akan segera mencari tahu tentang hal itu, Ryan. Pokoknya yang terpenting sekarang adalah, kita harus menemui Reyhand terlebih dahulu," ajak Viana dengan penuh semangat.

"Apa? Kita?" Ryan merasa sangat terkejut.

"Iya, kita. Memangnya kenapa?" tanya Viana dengan raut wajah keheranan.

"Apa aku harus ikut juga, Vi?" Ryan bertanya dengan mimik wajah memelas.

"Iya lah. Kamu kan udah bilang, kalau kamu akan selalu membantu aku," sahut Viana dengan tegas.

"Hemb, bukan begitu Vi, tapi ....,"

"Stt, aku nggak mau dengar apa-apa lagi. Pokoknya kamu harus membantu aku untuk mencari Reyhand," ucap Viana memotong perkataan Ryan.

Awalnya sepupunya itu bersikeras tidak ingin terlibat dalam masalah Viana. Namun, karena Viana terus saja memaksa, akhirnya dia pun menerima ajakan sepupunya itu untuk mencari seorang pria yang bernama Reyhand itu. Ya, walaupun semua dilakukannya dengan berat hati.

"Hmm, baiklah kalau begitu. Aku akan membantu kamu untuk mencari Reyhand," pasrah Ryan akhirnya.

"Nah, gitu dong. Itu baru namanya sepupu aku. Terima kasih, Ryan," Viana berkata dengan bahagia.

"Ya, sama-sama," sahut Ryan acuh.

Akhirnya malam itu mereka telah membuat kesepakatan, bahwa besok mereka akan mulai mencari Reyhand.

Ya, Reyhand pasti merupakan saksi kunci yang mengetahui tentang kejadian yang telah menimpa Marshall beberapa hari yang lalu. Mungkin karena itulah Marshall memerintahkan Viana untuk mencari Reyhand, dan dari dialah Viana akan menemukan petunjuk dan juga bukti-bukti. Ya, mungkin saja.

Tentu saja Viana merasa sangat bahagia dengan hal ini, karena dia akan segera mengetahui penyebab kematian Marshall, kekasihnya.

Untuk sementara, malam ini mereka tidak akan kembali ke rumah sakit. Viana memutuskan akan kembali menemui kedua orang tuanya saat dia sudah menemukan titik terang tentang penyebab celakanya Marshall.

Setelah semuanya terungkap, barulah Viana akan pulang dan memberitahukan hal ini kepada keluarganya maupun keluarga Marshall.

Saat ini yang menjadi tujuannya hanyalah dua hal. Yaitu mengetahui penyebab kematian Marshall, lalu membalaskan dendam kekasihnya itu, jika memang sudah ada seseorang yang berada di balik semua itu.

"Lihat saja! Siapa pun yang telah menyebabkan Marshall meninggal, maka dia akan bernasib sama seperti kekasihku itu. Tunggu pembalasanku," tekad Viana di dalam hatinya.