Chereads / Enemy to be Love / Chapter 16 - Panik

Chapter 16 - Panik

"Terus, malam ini kita mau tidur dimana, Vi?" tanya Ryan yang terlihat menguap berulang kali.

"Hemb, bentar ya. Aku cari tempat dulu," ujar Viana sambil melihat ke sekitar tempat mereka berada.

Pandangannya terus menyelusuri ke sekeliling mereka. Hingga akhirnya matanya menangkap sebuah pos ronda yang berada tepat di seberang jalan.

Viana terlihat begitu sumringah. Ia pun segera menepuk pundak Ryan, yang tampak sudah terkantuk-kantuk.

"Ryan, di sana ada pos ronda. Kita bisa numpang tidur di sana dulu," tunjuk Viana ke arah seberang.

"Hah? Serius?" Ryan bertanya sambil mengucek kedua matanya.

"Iya, serius," sahut Viana.

Ryan pun segera mengikuti arah telunjuk Viana, dan benar saja. Terdapat sebuah pos ronda yang cukup besar di tepi jalan.

Viana dan Ryan pun tersenyum senang melihatnya, karena malam ini mereka bisa tidur dengan nyaman di pos ronda tersebut.

Kedua sepupu itu segera bergandengan tangan, dan berjalan menuju ke pos tersebut. Namun, karena kondisi Viana yang masih lemah, dia tak bisa berjalan dengan cepat. Langkahnya masih tertatih-tatih, sama seperti saat keluar dari rumah sakit.

Merasa tak tega dengan keadaan sepupunya itu, Ryan pun segera melepaskan pegangan tangannya. Ia lalu berjalan mendekati Viana dan segera mengangkat tubuh gadis itu untuk menggendongnya.

"Eh, apa-apaan ini? Apa yang kamu lakukan, Ryan?" tanya Viana setengah berontak.

"Udah, kamu diam aja. Aku nggak tega melihat kamu berjalan dengan terseok-seok seperti itu. Jadi, aku akan menggendong kamu sampai ke pos ronda itu," balas Ryan yang terus berjalan sambil menggendong Viana.

"Hemb, baiklah, Sepupuku yang baik," gurau Viana sembari melemparkan senyuman termanisnya.

Ryan membalas senyuman itu dengan tersenyum tulus dan penuh arti.

Setelah beberapa saat berjalan, akhirnya mereka berdua pun tiba di pos ronda. Suasana di dalam pos itu tampak sangat rapi dan terawat. Terdapat fasilitas berupa televisi, kipas angin, beberapa buah bantal serta sebuah selimut.

Nampaknya fasilitas-fasilitas itu memang sengaja disediakan untuk para peronda yang kebetulan mendapat tugas jaga malam di daerah tersebut.

Namun, malam ini tak terlihat seorang peronda pun yang berada di dalam pos tersebut. Mungkin, mereka memang tidak mengadakan giliran jaga untuk malam ini.

Sesampainya di pos ronda tersebut, Ryan segera mendudukkan Viana di sebuah undakan tangga.

"Huft, aku capek banget. Ternyata kamu tuh berat juga ya," seloroh Ryan yang turut merebahkan diri di undakan tangga.

"Apa? Enak aja!" Viana mencubit pinggang sepupunya yang jahil itu.

"Aw, sakit. Engak, enggak kok. Aku tadi cuma bercanda." Ryan meringis kesakitan.

"Hemb, ya udah kamu buruan tidur sana! Kan dari tadi kamu udah mengantuk." Viana memerintahkan.

"Lebih baik kamu aja yang tidur duluan. Kamu kan cewek, jadi harus tidur dulu. Sementara aku bisa berjaga-jaga disini," usul Ryan.

"Aku belum ngantuk, Ryan. Kamu aja yang tidur duluan," bantah Viana.

"Ya sudah kalau begitu. Baiklah, Tuan Ratu. Hamba akan menuruti perintahmu." Ryan berkata sambil membungkukkan badan, seolah sedang memberi hormat kepada seorang pemimpin kerajaan.

"Ih, kamu itu selalu aja usil," kata Viana sambil berpura-pura marah.

"Hehe, iya iya. Ya udah kalau begitu, kamu tidur di dalam aja. Biar aku tidur di teras." Ryan menyarankan.

"Baiklah, Tuan Bos," balas Viana tak kalah usil.

"Hemb, kamu mau membalasku ya? Oke oke, nggak apa-apa kok," ujar Ryan sambil tersenyum jahil.

"Ih, ya udah aku masuk aja kalau gitu. Selamat malam, Saudaraku," pamit Viana yang segera berjalan pelan menuju ke dalam pos.

Ryan terdiam sejenak mendengar ucapan selamat malam dari Viana. Dia tampak sedang memikirkan sesuatu. Namun, tak lama kemudian pria berwajah tampan itu segera tersenyum kecut. Senyum yang penuh dengan makna. Entah apa yang sedang dipikirkannya saat ini.

Setelah merenung selama beberapa saat, akhirnya Ryan pun tertidur tanpa bantal atau pun selimut yang menemaninya.

Sementara itu di rumah sakit,

Wijaya, Mariana, Hendra, Rini, dan Dokter Wisnu sedang merasa panik dan kalang kabut. Pasalnya, mereka menemukan bahwa Viana sudah tak berada di dalam kamar rawatnya. Gadis itu sudah menghilang, dan hal inilah yang membuat semuanya kelimpungan mencari keberadaannya.

"Bagaimana ini bisa terjadi? Kenapa pasien bisa menghilang?" Dokter Wisnu bertanya dengan gusar.

"Kami tidak tahu, Dok. Malam ini, kami semua sedang tidur di sini. Nggak ada satu pun yang melihat bahwa Viana telah keluar dari kamar ini. Padahal waktu itu kami semua sedang berada di sini." Wijaya menjelaskan.

"Iya, Dok. Itu benar." Hendra turut membenarkan.

"Ini aneh. Apa dia sudah siuman? Apa dia kabur dari rumah sakit? Apa maksudnya sebenarnya?" pertanyaan-pertanyaan itu dilontarkan oleh Dokter Wisnu.

"Kami benar-benar tidak tahu, Dok," jawab mereka bersamaan.

Dokter Wisnu tampak berpikir sejenak. Dia segera mengingat-ingat sesuatu. Namun, tiba-tiba saja Dokter itu celingukan kesana kemari. Tampaknya dia sedang mencari seseorang.

"Ada apa, Dok? Siapa yang Dokter cari?" tanya Mariana menyelidik.

Dokter Wisnu menatap keempat orang yang ada di hadapannya itu dengan tatapan tajam. Tak lama kemudian, dia terlihat menarik napas panjang sambil mengusap wajah dengan kasar. Namun, akhirnya Dokter Wisnu pun mau menjawab pertanyaan dari Mariana tersebut.

"Ryan. Dimana dia?" tanya Dokter Wisnu sambil melihat ke sekeliling.

"Ryan? Dia sedang keluar untuk membeli makanan, Dok. Memangnya ada apa sama Ryan?" tanya Wijaya yang mulai khawatir saat nama keponakannya itu disebut-sebut.

Dia berharap, semoga kali ini keponakannya itu tidak sedang berbuat ulah.

"Dia pasti berbohong!" Dokter Wisnu berkata dengan tegas.

Baik Wijaya, Mariana, dan kedua orang tua Marshall nampak tersentak kaget saat mendengar perkataan dari Dokter Wisnu itu.

"Apa maksud Dokter?" tanya Wijaya yang masih belum mengerti.

"Apa Ryan telah melakukan sesuatu?" tanya Mariana pula.

Dokter Wisnu terlihat begitu kebingungan. Dia merasa bimbang apakah harus mengatakan yang sebenarnya ataukah tidak.

Setelah berpikir selama beberapa saat, akhirnya Dokter Wisnu pun menarik napas panjang dan mulai mengatakan sesuatu.

"Huft, maafkan saya, Ryan. Saya terpaksa harus menceritakan semuanya," gumam Dokter Wisnu seorang diri.

"Menceritakan apa, Dok? Tolong jangan membuat kami semakin penasaran," desak Wijaya dengan tak sabar.

"Baiklah, Pak, Bu. Jadi begini ...."

Keempat orang itu lalu bersiap untuk mendengarkan penjelasan dari Dokter Wisnu, yang sedari tadi membuat mereka penasaran.

"Huft, sebenarnya Ryan mempunyai alasan, kenapa dia mendonorkan darah untuk sepupunya itu." Dokter Wisnu memulai pembicaraannya.

"Iya pastinya karena dia sangat menyayangi putri saya itu, Dok," sela Mariana penuh keyakinan.

"Tidak, Bu. Bukan itu," sanggah Dokter Wisnu.

"Lalu apa, Dok?" tanya Wijaya semakin penasaran.

"Begini kejadian sebenarnya, Pak, Bu. Waktu itu Ryan menyuruh kalian semua untuk meninggalkan ruangan saya. Setelah itu, dia pun segera berbicara dengan ragu-ragu kepada saya. Dia mengatakan bahwa, sebenarnya dia sangat ingin mendonorkan darah kepada Viana. Namun, dia tak bisa melakukan hal itu lantaran Ryan adalah seorang ....." Dokter Wisnu tak meneruskan pernyataannya.

"Ryan seorang apa, Dok? Katakan yang sejujurnya," desak Wijaya dengan penuh keingintahuan.