Ryan menatap kepergian omnya itu dengan nanar. Perasaan bersalah yang begitu besar datang menghantuinya. Dia merasa sangat menyesal karena telah membuat om dan tantenya kecewa.
"Nak."
Ryan terlonjak kaget saat seseorang menepuk pundaknya. Dia lantas buru-buru mengusap air matanya, dan segera berusaha untuk tetap terlihat tegar.
"Eh, Dokter Wisnu. Iya, Dok? Bagaimana?" tanya Ryan pura-pura tak terjadi apa-apa.
"Ada apa, Nak? Katakan saja apa pun yang ingin kamu katakan. Saya siap mendengar penjelasanmu, Nak." Dokter Wisnu berucap sambil menepuk-nepuk bahu Ryan.
"Saya ingin mendonorkan darah saya untuk Viana, Dok," jawab Ryan dengan pasti.
"Baiklah. Kalau begitu kita akan segera melakukan transfusi darah. Kamu ikut saya ke UGD sekarang juga," ajak Dokter Wisnu dan hendak berlalu menuju ke UGD.
Dokter Wisnu pun segera berdiri sambil mengalungkan stetoskop di leher. Dia lalu melangkahkan kaki dan hendak ke luar dari ruangannya. Namun, tiba-tiba saja Ryan menghentikan langkah Dokter Wisnu.
"Tunggu dulu, Dok," sergah Ryan sambil menahan tangan Dokter Wisnu.
Dokter itu pun lantas segera menghentikan langkahnya.
"Ada apa? Kita tidak punya banyak waktu lagi." Dokter Wisnu bertanya dengan heran.
"Ada yang ingin saya sampaikan kepada Dokter Wisnu," cakap Ryan.
"Baiklah, ada apa?" tanya Dokter Wisnu lagi.
"Jadi begini sebenarnya, Dok."
Ryan pun mulai menceritakan masalahnya kepada Dokter Wisnu.
Beberapa saat kemudian,
Ryan menatap Viana yang sedang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Dengan sebuah selang di lengan kirinya, dan sebuah kantung darah di sisinya, dia tersenyum melihat sepupu cantiknya itu.
"Kamu akan segera sadar, Viana. Semuanya akan baik-baik saja," gumamnya lirih.
Ya, Ryan sedang melakukan proses transfusi darah untuk sepupunya. Setelah melalui serangkaian kejadian panjang, akhirnya dia dinyatakan mampu untuk mendonorkan darah kepada Viana.
Kondisi Viana tampak begitu lemah, dengan sebuah selang oksigen yang terpasang di mulut dan hidungnya. Selain itu, beberapa selang infus juga terdapat di tangannya.
Layar elektrokardiograf di samping tempat tidurnya juga masih stabil. Syukurlah detakan jantungnya masih berjalan dengan normal.
Banyak sekali hal-hal buruk yang dikhawatirkan oleh keluarganya. Namun, alhamdulillah karena ternyata Allah masih menyayanginya.
Ryan menatap sepupunya itu dengan perasaan lega.
"Syukurlah aku bisa menolong kamu, Viana. Kamu akan segera sadar, dan semuanya pasti akan baik-baik aja," lirihnya.
Beberapa saat kemudian, Dokter Wisnu pun datang sambil tersenyum ke arah Ryan.
"Proses transfusinya sudah selesai, Ryan. Kamu bisa menunggu di luar, sementara saya dan para dokter yang lain akan segera menangani pasien," ucap Dokter Wisnu.
"Baiklah, Dok. Terima kasih banyak," sahut Ryan.
"Untuk apa? Seharusnya kami yang berterima kasih sama kamu. Kalau bukan karena kamu, kami tidak tahu apa yang akan terjadi kepada pasien. Kamu sangat pemberani." Dokter Wisnu berkata sambil menepuk-nepuk bahu kanannya.
"Itu sudah kewajiban saya, Dok. Saya harus bisa menyelamatkan sepupu saya. Kalau begitu, tolong selamatkan dia, Dok. Lakukan yang terbaik," pinta Ryan lagi.
"Itu pasti. Kami akan melakukan apa pun demi keselamatannya," jawab Dokter Wisnu.
"Terima kasih, Dokter Wisnu. Saya percaya kepada Dokter. Kalau begitu izinkan saya untuk keluar dari sini, Dok," tukas Ryan lagi.
"Oh, tentu. Kamu bisa segera ke luar dan menunggu di sana," kata Dokter Wisnu.
"Baik, Dok," jawab Ryan sambil menganggukkan kepala.
Dokter Wisnu pun segera melepaskan selang yang menancap di lengan Ryan. Kemudian dia memasangkan plaster di lengan pemuda itu.
Setelah semuanya selesai, Dokter Wisnu segera memepersilahkan Ryan untuk keluar dari UGD.
Ryan berjalan ke luar sambil memegangi lengan kirinya yang terasa sakit dan nyeri. Dia juga merasakan bahwa tubuhnya mulai melemah. Wajahnya pun juga nampak pucat.
Pria itu berjalan menghampiri om dan tantenya dan yang tampak mondar-mandir.
Wijaya segera mendekati keponakannya yang berjalan dengan lemah. Ia melihat bahwa wajah Ryan tampak lebih pucat daripada tadi.
"Ryan, Bagaimana proses transfusinya?" tanya Wijaya dengan tegas.
Ryan menatap omnya lalu tersenyum kecil.
"Semuanya berjalan lancar, Om," jawabnya lirih.
Wijaya dan Mariana segera menghela napas lega, begitu pula dengan Rini.
"Syukurlah kalau begitu, tapi kenapa wajah kamu pucat? Apa yang terjadi?" tanya Mariana yang tampak keheranan.
"Aku nggak apa-apa kok, Tante. Cuma lemas aja," sahut Ryan asal.
"Kamu yakin? Apa kamu lagi nggak sehat?" Mariana mulai merasa cemas.
"Yakin, Tante. Aku baik-baik aja," lanjut Ryan.
"Baiklah kalau begitu," sahut Mariana.
Dengan tubuhnya yang terasa lemah, Ryan pun segera terduduk di kursi tunggu. Sementara Wijaya, Mariana, dan Rini pun turut berada di sampingnya. Mereka berdoa dan berharap untuk keselamatan Viana.
Sementara itu, Dokter Wisnu bersama dokter yang lain pun segera menangani keadaan Viana. Mereka berusaha dengan sebaik mungkin agar nyawa gadis itu bisa diselamatkan.
Setelah beberapa lama, akhirnya mereka pun selesai mendonorkan darah Ryan untuk Viana. Mereka semua berharap supaya kondisi Viana bisa segera membaik.
Sesudah penanganan di ruang UGD selesai, para perawat memindahkan Viana menuju ke kamar VIP. Tentu saja semua ini adalah perintah dari Dokter Wisnu. Dia ingin supaya pasiennya itu mendapatkan penanganan yang terbaik.
Beberapa saat kemudian, Dokter Wisnu pun mendatangi keluarga Viana dengan senyum merekah di wajahnya.
"Permisi semuanya," sapa Dokter Wisnu.
Mereka berempat segera beranjak dari tempat duduknya saat mengetahui kedatangan Dokter Wisnu.
"Bagaimana keadaan Viana, Dok?" tanya Wijaya cemas.
"Dia baik-baik saja kan, Dok?" tanya Rini dan Mariana bersamaan.
Sementara Ryan hanya terdiam sambil menundukkan kepalanya.
Dokter Wisnu tersenyum dengan ramah sambil melihat ke arah mereka berempat.
"Kalian tidak perlu khawatir. Proses transfusi darahnya berjalan dengan lancar. Pasien selamat, dan kondisinya sudah mulai membaik. Kami telah memindahkannya ke kamar rawat VIP. Sebentar lagi dia pasti akan segera siuman." Dokter Wisnu menjelaskan.
"Alhamdulillah."
"Syukurlah."
Keluarga itu akhirnya bisa bernapas lega sekarang. Kondisi Viana sudah mulai membaik, dan saat ini tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Mereka hanya tinggal menunggu Viana untuk sadarkan diri.
Sementara itu, Ryan pun segera menghela napas lega. Dia tersenyum penuh kebahagiaan saat mendengar kabar yang disampaikan oleh Dokter Wisnu.
"Aku yakin kalau kamu pasti akan baik-baik aja, Vi. Aku sangat bahagia mendengarnya." Ryan bergumam sambil menitikkan air mata bahagia.
Di saat dia sedang memikirkan keadaan Viana, tiba-tiba seseorang datang dan membuyarkan lamunannya.
"Ryan," panggil orang tersebut.
Ryan pun buru-buru menyeka air matanya dan menoleh ke asal suara.
"Eh, Dokter Wisnu," sambutnya sambil berusaha untuk tersenyum.
"Bagaimana perasaan kamu sekarang?" tanya Dokter Wisnu.
"Saya merasa lega, Dok. Saya juga merasa sangat bahagia, karena Viana berhasil diselamatkan," jelas Ryan lagi.
"Semua ini berkat keberanian kamu. Kamu berani menyampaikan semuanya kepada saya, dan karena itulah kita berhasil melakukan transfusi darah itu kepada pasien. Kamu benar-benar hebat dan pemberani. Saya sangat kagum pada kamu, Ryan." Dokter Wisnu berkata sambil menepuk-nepuk bahu Ryan.
"Dokter Wisnu terlalu memuji saya. Saya hanya berniat untuk menolong sepupu saya, Dok," cakap Ryan merendah.
"Iya, iya. Saya mengerti akan hal itu, dan saya benar-benar bangga sama kamu," tutur Dokter Wisnu lagi.
"Terima kasih, Dok," balasnya.
Dokter Wisnu dan keluarga Viana berbincang-bincang selama beberapa saat. Dokter mengatakan bahwa mereka bisa menjenguk Viana saat dia sadar nantinya.
Tak lama kemudian, Dokter Wisnu pun segera berpamitan kepada mereka berempat.
"Mungkin sekian dulu tugas saya untuk hari ini. Kalau begitu saya permisi dulu, Pak, Bu, Ryan," pamit Dokter Wisnu.
"Baiklah, Dokter Wisnu. Terima kasih banyak, Dok," jawab mereka bersamaan.
"Assalamualaikum." Dokter Wisnu mengucap salam.
"Waalaikumsalam," balas mereka pula.
Dokter yang baik hati itu pun segera berlalu meninggalkan mereka. Dia merasa sangat lega karena telah berusaha keras untuk menyelamatkan Viana.
Beberapa hari kemudian,
Viana mulai menggerakkan jari jemarinya. Perlahan-lahan, dia pun mulai membuka matanya yang masih terasa berat.
Sebuah ruangan mewah bercat putih, dengan banyak fasilitas dan peralatan medis di sekitarnya. Itulah pemandangan yang pertama kali dilihatnya. Tempat ini membuat Viana merasa gerah dan gusar. Suasana ini mengingatkannya pada kejadian menyedihkan beberapa hari yang lalu.
Viana segera menoleh kesana kemari. Nampaknya dia sedang mencari seseorang. Namun, yang dicari justru tak dijumpainya.
Tak lama kemudian, dia baru menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh menutupi hidung dan mulutnya. Dirabanya benda aneh tersebut, dan segera dilepaskannya alat bantu pernapasan yang masih terpasang itu.
Tak sengaja matanya menangkap sebuah selang yang menancap di punggung tangannya. Segera dilepaskannya pula infus yang berada di tangannya tersebut. Karena Viana melepasnya dengan paksa, darah pun segera mengalir membasahi punggung tangannya.
Namun, Viana tak mempedulikan keadaannya itu. Saat ini yang diinginkannya adalah, agar dia bisa segera keluar dari tempat menyebalkan ini.
Setelah dia selesai mencabuti seluruh alat medis yang berada di tubuhnya, Viana pun segera berjalan terseok-seok meninggalkan kamar rawat yang mewah itu.
Walaupun luka bekas sayatan di pergelangan tangannya masih terasa perih, tapi Viana tetap bersikeras untuk pergi dari tempat ini.
Disentuhnya pergelangan tangannya yang masih berbalutkan perban putih itu.
"Aw, perih," rintihnya.
Tak peduli dengan kondisinya, Viana pun segera melanjutkan langkah dan berlalu dari ruangan tersebut.
"Aku harus pergi dari sini. Aku udah merasakan betapa menakutkannya saat hampir kehilangan nyawa. Pasti ketakutan yang dirasakan oleh Marshall lebih mengerikan daripada ini," gumamnya seorang diri.
"Marshall sayang, kamu tenang aja. Aku pasti akan mencari tahu penyebab kematian kamu. Pasti," tekadnya dengan dada bergemuruh.
Setelah itu, Viana pun membuka pintu ruangan tersebut.
Krekk,
Ia melongok untuk mengintip ke arah koridor. Di sana ia melihat keluarganya yang sedang tertidur di kursi tunggu.
Dia melirik ke arah jam yang berada di dinding rumah sakit. Ternyata hari sudah larut malam. Jam sudah menunjukkan pukul 23.10 WIB.
Suasana di sekitar rumah sakit tampak sepi dan lengang. Viana lalu berjalan mengendap-endap di koridor rumah sakit.
Namun, sebelum itu Viana menoleh ke arah keluarganya terlebih dahulu. Perlahan-lahan air matanya menitik saat menyaksikan kasih sayang mereka, yang telah menunggunya dengan setia selama ini.
"Aku sangat menyayangi kalian," ucapnya lirih.
Dia pun segera memalingkan wajah sambil mengusap air matanya.
"Aku harus segera pergi dari sini. Aku harus segera mencari seseorang. Secepatnya," gumamnya.
Dengan berat hati, Viana pun meninggalkan keluarganya yang masih mengharapkan kesembuhannya.
"Maafkan aku, mama, papa, Tante Rini, Ryan," isaknya.
Dia berjalan menuju pintu keluar dengan langkah tergesa-gesa. Sepanjang perjalanan dia terus celingukan karena takut aksinya akan ketahuan oleh seseorang.
Viana pun merasa lega setelah tiba di depan pintu. Segera diraihnya gagang pintu tersebut, dan berniat untuk membukanya.
Pintu pun terbuka. Namun, tiba-tiba saja ....
"Viana!"