Dokter tersebut berjalan dengan langkah gontai. Wajahnya tampak masygul dan dipenuhi dengan kesedihan.
Keluarga Viana merasa kehilangan harapan saat melihat ekspresi sang dokter. Mereka lalu menghujani dokter itu dengan berbagai pertanyaan.
"Bagaimana keadaan Viana, Dok?"
"Apa dia baik-baik saja?"
"Kenapa Dokter terlihat murung?"
Pertanyaan-pertanyaan itu mereka lontarkan kepada sang petugas medis. Dokter tersebut melihat ke arah mereka bertiga, lalu tak lama kemudian dia tampak menarik napas panjang.
"Huft,"
"Maafkan kami, Pak, Bu. Kondisi pasien saat ini sedang kritis, karena dia telah kehilangan banyak darah. Secepatnya pasien membutuhkan donor darah untuk golongan O. Namun, saat ini stok darah O di rumah sakit kami sudah kosong. Kami pun tidak punya banyak waktu, karena hidupnya hanya bisa bertahan selama beberapa jam lagi. Hal itulah yang membuat saya merasa cemas dan khawatir," jawabnya pasrah.
"Apa, Dok?" Mereka bertiga tampak begitu terkejut mendengar pernyataan dokter.
Itu artinya harapan mereka tinggal beberapa persen lagi. Bagaimana mungkin mereka bisa mencari pendonor darah dalam waktu singkat?
Lagipula golongan darah O itu sangat sulit untuk ditemukan. Andai saja golongan darah Viana bukan O, melainkan AB, atau A, atau B. Mungkin akan lebih mudah untuk menemukan seorang pendonor, karena golongan darah itu bisa menerima transfusi dari golongan darah yang lain.
Berbeda dengan golongan darah O. Golongan itu hanya bisa menerima transfusi dari golongan O saja.
Sungguh malang nasib kamu, Viana!
"Benar,Pak, Bu. Saya berharap semoga kalian bisa secepatnya mencari seseorang berdarah O yang bersedia untuk mendonorkan darahnya kepada pasien," pesan dokter tersebut.
"Astaghfirullah. Betapa malang nasib kamu, Viana," keluh Mariana dengan mata berkaca-kaca.
"Apa yang harus kita lakukan, Mbak? Bagaimana nasib Viana kalau kita tidak berhasil mencari pendonor untuknya? Huhuhu," ucap Rini yang mulai menangis.
"Yang sabar ya, Ma. Papa yakin kita pasti akan menemukan seseorang yang bersedia mendonorkan darahnya untuk Viana. Kita harus tetap berusaha ya, Ma." Wijaya berusaha menghibur Mariana, istrinya.
"Tapi apa yang bisa kita lakukan dalam waktu beberapa jam, Pa? Apa?" Mariana merasa sangat terpukul.
"Kita pasti bisa, Ma. Ayo kita berusaha," bujuk Wijaya lagi untuk menenangkan sang istri.
Rini menatap ke arah Mariana dengan pandangan iba.
"Sabar ya, Mbak. Mari kita sama-sama berjuang demi keselamatan Viana," hibur Rini.
Mariana menatap Rini dengan mata sembabnya. Namun, sejurus kemudian ia pun segera menganggukkan kepala.
"Nah, begitu dong. Jangan menangis terus, Ma. Viana nggak akan suka kalau melihat Mama seperti ini," celetuk Wijaya.
"Iya, Pa. Mama nggak akan menangis lagi," jawab Mariana yang berusaha untuk tersenyum.
Akhirnya mereka bertiga mencoba untuk menghubungi siapa pun yang dikenalnya. Mereka berharap semoga ada seseorang yang bersedia mendonorkan darahnya untuk Viana.
Namun, ternyata semua tidak semudah yang dibayangkan. Berulang kali mereka memohon dan mencari, tapi tetap saja hasilnya nihil. Tak ada seorang pun yang mau mendonorkan darahnya untuk Viana. Tepatnya bukan tak mau, tapi tak bisa, karena golongan darah mereka yang berbeda.
Di saat mereka bertiga sedang merasa kebingungan, di sisi lain Ryan melihat mereka dengan tatapan resah. Terus terang dia juga terlihat cemas dan kebingungan. Namun, kali ini bingungnya berbeda dengan yang dialami oleh om dan tantenya . Entah apa yang sedang dipikirkannya saat ini.
"Bagaimana ini, Mbak? Nggak ada seorang pun yang bersedia mendonorkan darahnya untuk Viana." Mariana bertanya kepada Rini dengan kebingungan.
"Aku juga bingung, Mbak. Mas Hendra juga belum bisa menemukan pendonor yang cocok untuk Viana. Aku juga pusing, Mbak. Apa yang akan kita perbuat sekarang? Padahal waktunya tinggal beberapa jam lagi. Huhuhu, Viana," ucap Rini yang tak dapat menahan tangisnya.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Pa?" tanya Mariana kepada Wijaya.
Wijaya terdiam sejenak. Ia terlihat sedang memikirkan sesuatu.
Mariana dan Rini pun saling berpelukan satu sama lain. Mereka menangis bersama-sama, meratapi nasib Viana yang malang.
"Om," cetus Ryan yang tiba-tiba datang menghampiri Wijaya.
Mereka bertiga segera menoleh ke arah Ryan yang tengah berdiri di belakang mereka.
"Iya, Ryan. Ada apa?" tanya Wijaya kepada keponakannya itu.
"Huft." Ryan terlihat menghela napas.
"Aku akan mendonorkan darah untuk Viana," jawabnya secara tiba-tiba.
Ucapannya Ryan itu membuat semua yang berada di sana merasa sangat terkejut. Mereka tidak pernah mengetahui bahwa ternyata Ryan mempunyai golongan darah yang sama dengan Viana.
"Apa, Ryan? Jadi golongan darah kamu dan Viana itu sama?" tanya Mariana dengan sedikit emosi.
"Iya, Tante." Ryan berkata sambil menundukkan kepala.
"Kenapa kamu nggak bilang dari awal, Ryan? Kenapa kamu diam saja? Apa kamu nggak kasihan sama Viana? Apa kamu nggak sayang sama sepupu kamu itu, hah?" tanya Mariana lagi dengan nada tinggi.
"Sudah, Ma. Sudah! Ryan pasti punya alasan kenapa dia sampai menyembunyikan hal ini. Kita dengarkan dulu penjelasannya." Wijaya mencoba untuk menenangkan istrinya.
"Tapi, Pa. Ryan sudah benar-benar keterlaluan. Mama nggak menyangka kalau dia bisa setega ini sama Viana. Tante kecewa sama kamu, Ryan." Mariana mulai tak bisa mengontrol emosinya.
Plakkkk,
Tiba-tiba saja sebuah tamparan mendarat di pipi Ryan. Mariana yang sudah terbakar amarah, tampak melayangkan tamparan kepada keponakan suaminya itu. Matanya memancarkan kemurkaan yang teramat besar.
"Mama!" bentak Wijaya yang merasa tak terima dengan perlakuan istrinya tersebut.
"Kenapa, Pa? Papa mau membela keponakan tak tahu diri ini?" tanya Mariana berang.
"Kamu benar-benar keterlaluan, Ryan," bentak Mariana dengan pandangan berkilat-kilat.
"Kamu memang keponakan yang nggak tahu diri. Tante kecewa sama kamu. Kamu memang ...."
"Stop, Ma!" Wijaya menghentikan perkataan istrinya sambil mengangkat sebelah tangan.
"Jangan menghina Ryan lagi, Ma. Setelah kepergian kedua orang tuanya, sekarang dia menjadi tanggung jawabku," bela Wijaya atas keponakannya.
Ia lalu menoleh ke arah Ryan yang tengah menundukkan kepala.
"Ryan, jelaskan apa alasan kamu melakukan hal ini?" Wijaya bertanya pada keponakannya dengan sabar.
Ryan menengadah dan menatap ke arah om-nya tersebut.
"Aku punya alasan sendiri, kenapa aku sampai melakukan hal ini, Om. Namun, Om dan Tante harus tahu kalau aku nggak pernah setega itu sama Viana. Aku sangat menyayanginya, Om," kata Ryan berkilah.
"Lalu kenapa kamu melakukan hal ini? Kenapa kamu membuat Viana menunggu terlalu lama? Apa kamu mau melihatnya celaka?" tanya Rini tak kalah emosi.
"Aku nggak bisa mengatakan alasanku, tapi yang jelas aku sangat menyayangi Viana. Aku terpaksa menyembunyikan semua ini demi kebaikannya," tukas Ryan dengan pandangan berkaca-kaca.
"Apa maksud kamu, Ryan? Apa yang terjadi sebenarnya?" Wijaya merasa penasaran dengan apa yang disembunyikan oleh keponakannya.
"Aku nggak bisa menceritakannya sekarang, Om. Namun, suatu saat pasti aku akan memberitahu kalian. Sekarang ayo kita temui dokter terlebih dahulu. Aku harus segera mengurus masalah transfusi darah ini. Kita harus memikirkan keselamatan Viana terlebih dahulu," ajak Ryan secara tiba-tiba.
"Baiklah kalau begitu, tapi suatu saat Om pasti akan menagih jawaban dari kamu. Sekarang yang paling penting adalah keselamatan Viana. Kita pikirkan yang lain nanti saja. Ayo kita temui dokter." Wijaya pun setuju dengan usulan Ryan.
Ryan dan Wijaya lalu bergegas mencari dokter yang menangani keadaan Viana. Setelah beberapa saat mencari, akhirnya mereka menemukan dokter tersebut di ruangannya.
Tok, tok, tok,
Ryan mengetuk pintu ruangan dokter tersebut.
"Permisi, Dok," salam Ryan.
"Silahkan masuk," sambut sang dokter.
Ryan segera memasuki ruangan tersebut bersama dengan Wijaya. Mereka melihat sebuah papan nama bertuliskan Dr.Wisnu Hermawan, yang berada di atas meja kerja dokter tersebut. Pasti itu adalah nama sang dokter, yaitu Dokter Wisnu.
"Bagaimana, Pak? Apakah ada kabar baik dari masalah donor darah itu?" tanya Dokter Wisnu yang sepertinya sudah mengetahui maksud kedatangan mereka.
"Ehm, begini Dok. Sebenarnya saya ingin mendonorkan darah saya untuk Viana, tapi ...." Ryan tak melanjutkan perkataannya.
"Hem, tapi apa?" tanya Dokter Wisnu sambil mengerutkan dahinya.
Ryan tak menjawab pertanyaan dari Dokter Wisnu, melainkan menoleh ke arah Wijaya.
"Apa Om bisa meninggalkan aku berdua dulu dengan Dokter Wisnu?" tanya Ryan penuh harap.
Wijaya tertegun saat mendengar permintaan Ryan. Ia terlihat begitu keheranan dengan apa yang dikatakan oleh keponakannya itu.
Apa maksud Ryan sebenarnya? Apakah ada rahasia yang tengah disembunyikannya?
"Aku mohon, Om. Please!" Ryan mengatupkan kedua tangannya dengan wajah memelas.
Dengan menghela napas panjang, akhirnya Wijaya pun menganggukkan kepala, pertanda menyetujui permohonan Ryan.
"Baiklah kalau begitu. Saat ini yang kami inginkan hanyalah keselamatan putri saya, Viana. Tolong selamatkan dia, Dok. Lakukan yang terbaik untuknya," pinta Wijaya.
"Tentu saja, Pak. Kami akan berusaha semaksimal mungkin. Akan kami lakukan yang terbaik untuknya," ujar Dokter Wisnu mantap.
"Terima kasih, Dok. Kalau begitu saya permisi dulu," pamit Wijaya.
"Silahkan, Pak," kata Dokter Wisnu dengan sopan.
Wijaya kemudian segera berlalu meninggalkan ruangan Dokter Wisnu. Namun, sebelum meninggalkan ruangan, ia terlebih dahulu menoleh ke arah Ryan dengan tatapan tajam.
"Om harap kamu nggak melakukan sesuatu yang macam-macam, Ryan. Om sangat menyayangi kamu seperti putra Om sendiri. Jadi, jangan pernah mengecewakan Om dan Almarhum kedua orang tua kamu," tegas Wijaya.
Sungguh di luar dugaan, Ryan justru menangis sambil memeluk pamannya itu.
"Maafkan Ryan, Om," bisiknya lirih.
Namun, Wijaya tak merespon perkataan Ryan. Dia sudah merasa bahwa pasti ada yang tak beres dengan keponakannya itu. Dia pun memilih untuk melepaskan pelukan Ryan, dan segera berlalu ke luar dari ruangan tersebut.
Ryan menatap kepergian om-nya iti dengan penuh penyesalan.
"Maafkan aku, Om. Maaf," lirihnya dalam isak tangis.