Arya memanggil sambil menelengkan kepala demi bisa melihat wajah wanita di depannya.
Tania yang mendengar namanya disebut refleks mendongak dan menjawab, "Ya?" Kedua mata bermanik coklat itu membulat setengah kaget.
Arya tersenyum samar, kemudian menggeleng pelan. "Kok diem?" tanyanya bingung.
Gadis itu berdehem kecil sambil membuang pandangan, supaya tak bisa melihat raut rupawan milik lelaki gagah yang ada di hadapannya. Sebab jujur saja, ia memang suka. Arya memang semanis itu.
"Nggak apa-apa."
Jawaban andalan para kaum hawa akhirnya terlontar dari bibir Tania, gadis yang semula berani diam-diam mencuri pandang ke arah Arya, kini tampak cupu dan memilih melempar tatap ke arah berbeda demi tak menatap langsung mata bermanik hitam menawan yang ada di hadapannya.
Arya menggeleng pelan, ia ikut mengedarkan pandangan ke seluruh sudut restoran itu. Tempatnya nyaman dan juga bersih, beberapa pengunjung tampak sibuk dengan makanannya sendiri.
"Lagi sibuk apa sekarang?" Arya membuka obrolan, sengaja dilakukan agar di antara mereka tidak terlalu hambar dan hening. Supaya, meskipun hanya berdua, mereka tetap melakukan percakapan yang berkualitas dan bermanfaat.
Gadis berambut sebahu itu menjawab, "Lagi sibuk kerja aja sih. Tapi, kebetulan hari ini aku ambil cuti, karena emang mau nemenin mama ketemu sama Tante Naumi, mama kamu." Sedikit kikuk Tania menjelaskan.
Arya mengangguk mengerti, mendengar jawaban dari gadis itu membuatnya menyimpulkan satu hal bahwa, pertemuan antara Tante Devi dan sang mama memang sudah direncanakan sebelumnya. Membujuk agar anak mereka mau ikut menemani, dengan tujuan mempertemukan Arya dan juga Tania. Entah untuk apa.
"Aku juga nemenin mama sih ini. Ya, awalnya bilang cuma nemenin, mama. Tahunya ... disuruh ngobrol berdua sama anak temannya," ujar Arya menahan tawa di bibir.
Tania yang mendengar itu hampir saja tertawa, ia menahannya hingga tersisa selarik senyum lebar yang sebenarnya cukup menggemaskan. Namun, Arya tak terlalu menganggapnya istimewa. Biasa saja.
Namun, gadis itu justru menganggapnya berbeda. Ia kini lebih berani kembali menatap wajah pria di depannya. Apalagi saat tersenyum, sungguh berhasil membuat jantungnya seakan berhenti berdetak sesaat.
Tania yang sudah lama tak memiliki pacar itu, kini saat melihat Arya ia justru terpesona, apalagi wajah pria berjas itu memang menawan.
"Ada-ada aja," komentar gadis itu sambil menggelengkan kepala, ia meraih gelas berisi jus buah apel miliknya, kemudian menyesapnya.
Arya hanya menyunggingkan senyum samar, kemudian ikut menikmati jus alpukat miliknya.
"Oh iya, aku ... nggak apa-apa nih manggilnya pakai nama? Atau pakai aku-kamu gitu. Ya, bukannya apa-apa sih, cuma aku merasa nggak sopan aja karena kamu 'kan lebih tua umurnya." Tania bertanya dengan senyuman kikuk.
Arya menggelengkan kepala, "Santai aja. Memangnya, tahu dari mana kalau umurku lebih tua dari kamu?" tanyanya dengan kening berkerut.
Tania sedikit tersentak kaget, kemudian tersenyum malu. "Mama aku pernah cerita," jawabnya, "tahun ini aku baru dua puluh lima tahun, jadi masih lebih muda aku daripada kamu."
Arya mengangguk-angguk, "Iya sih." Pria itu tampak berpikir sejenak dengan wajah bingung, "Aku udah tua juga ya?" Pria itu bertanya sambil menahan tawanya.
Tania terkikik, "Bukan tua, cuma matang aja. Udah cocok buat berumah tangga," ucapnya ceplas-ceplos, "Yakin nih, belum punya doi?"
Arya sedikit kaget melihat sikap spontan gadis itu, ia baru tahu bahwa Tania bisa selepas ini. Padahal mereka baru pertama kali bertemu dan berbincang dekat seperti ini, ia agak tak menyangka bahwa gadis itu juga periang, dan banyak bicara.
Arya menggaruk bagian belakang kepalanya, ia sedikit canggung dan bingung dengan pertanyaan gadis itu.
Sedangkan Tania, sepertinya mulai menyadari bahwa ucapannya terlampau jauh sekali. Ia kehilangan kendali, hingga akhirnya rasa bersalah pun hadir begitu saja tanpa diminta.
"Ups, sorry. Kayaknya udah kelewatan ya, pertanyaannya?" Sambil menggigit bibir bawahnya, Tania meminta maaf dengan tatapan penuh mengamati raut wajah Arya.
Pria itu menggeleng pelan, "Kayaknya aku juga nggak perlu jawab, kamu pasti udah tahu jawabannya."
Tania langsung tertunduk saat itu juga, ia merutuki diri sendiri kenapa tidak bisa mengontrol diri, terutama lidahnya sendiri.
"Jangan khawatir, nggak masalah. Santai aja. Daripada diem-dieman nggak jelas, emang lebih baik ngobrol." Sepertinya pemuda itu mengerti keresahan apa yang dialami oleh gadis di depannya kini.
"Iya sih, tapi kayaknya aku udah kelewatan," sahut Tania dengan wajah menyesal.
Arya menghela napas pendek, ia kemudian tersenyum dengan tatapan menerawang. Pertanyaan yang dilontarkan oleh Tania seolah kembali berputar di kepala.
Soal pasangan, kenyataannya Arya memang tak pernah memiliki hubungan serius dengan wanita mana pun. Setelah memutuskan untuk kuliah dengan sungguh-sungguh, menekuni pendidikan supaya ia pantas mengambil alih posisi sang ayah di perusahaan, kemudian bekerja seharian dengan penuh keseriusan. Arya memang tak pernah menjalin hubungan khusus dengan seseorang bernama wanita.
Sampai akhirnya gadis itu datang, melamar pekerjaan dan mengambil posisi sebagai seorang sekretaris di kantornya. Saat itulah, perlahan hati yang kosong lama tak berpenghuni, kembali hidup dan terisi. Oleh seorang wanita bernama, Andine Sabilla.
Sosok wanita yang sudah ia sukai sejak lama, hanya tidak pernah berani ia mengungkapkannya. Sampai akhirnya, wanita itu telah berhasil dipersunting oleh lelaki lain yang saat ini sudah menjadi suaminya.
Arya tak bisa menyalahkan takdir, ia hanya bisa menyalahkan diri sendiri sebab tidak sejak dulu mengatakan cinta dan mengungkapkan rasa yang ia punya pada Andine.
"Arya?" panggil Tania dengan suara lembut, ia menelengkan kepala dengan muka sedikit bingung saat melihat pria di hadapannya tengah melamun dengan pandangan kosong.
"Arya ... halo?" Tania melambaikan tangan di depan wajah Arya, hingga akhirnya lelaki itu pun tersadar dan mengedipkan mata yang sejak tadi terbuka dengan isi kepala menari-nari memikirkan gadis yang sudah ia sukai sejak lama.
"Ya?" Pria itu tersentak kaget dengan wajah bingung, kemudian bertanya kepada Tania.
"Kamu melamun? Mikirin apa?" tanya wanita itu.
Arya berdehem kecil, kemudian menggelengkan kepala. "Nggak ada. Sorry, tadi nggak sengaja kepikiran soal kerjaan aja," elak pria itu sambil menyunggingkan senyum.
Tania mengangguk paham, "Pasti tanggung jawabnya sangat besar ya memimpin perusahaan?" Gadis itu kembali membuka percakapan, tapi ia sudah berjanji tak akan keceplosan lagi dengan bertanya ke arah yang sebenarnya mengandung privasi.
Arya tersenyum kikuk, "Ya, begitulah. Bukannya setiap pekerjaan memang memiliki tanggung jawab yang besar?" Ia balik bertanya.
Tania tertawa pelan, mulai kembali menikmati pembicaraan ini. "Iya juga," timpalnya.
Keduanya terlihat kembali mengisi kekosongan dengan percakapan yang terlihat umum, tidak menjurus ke arah asmara atau bahkan keperluan pribadi. Mereka berdua menjadikan waktu tersebut untuk mengenal satu sama lain sebagai seorang teman.
Ya, seorang teman. Arya menganggapnya seperti itu, tetapi tidak juga dengan Tania, yang diam-diam mulai menyimpan rasa yang berbeda di hatinya.