Chereads / Wasted Wife / Chapter 21 - Teguran Lagi

Chapter 21 - Teguran Lagi

Malam tiba, dan Andine baru saja sampai di rumah. Wanita itu melangkahkan kaki dengan santainya, tapi sejurus kemudian raut wajah penuh keterkejutan tampak jelas saat matanya menangkap sosok pria yang sedang duduk di sofa ruang tamu.

Rupanya Andra sudah pulang lebih dulu, atau mungkin memang dirinya yang terlambat?

Wanita bertubuh langsing itu menghentikan langkah, membeku sejenak di tempatnya berdiri saat melihat sosok sang suami bangkit dari duduk.

Andra, dengan atasan kaus putih polos dan celana pendek selutut melangkahkan kaki menuju ke tempat di mana istrinya berdiri. Dengan tatapan angkuh dan raut wajah seperti tak suka, ia menghentikan ayunan kaki di depan wanita itu.

"Jam segini, kenapa baru pulang?" Andra bertanya sambil melirik ke arah jam dinding di ruangan luas tersebut, jarum pendek tampak menunjuk ke angka delapan malam.

Andine ikut melirik ke arah jam dinding, rupanya ia memang pulang terlambat tidak seperti biasanya. Andine sendiri bahkan tidak menyadari bahwa akibat mampir di rumah Amira membuatnya lupa waktu. Itu juga karena dirinya dipaksa oleh sang sahabat yang minta ditemani saat dirinya sedang sendirian di rumah.

"Aku tadi mampir ke rumah Amira dulu, Mas. Jadi pulang telat," jawab Andine.

Andra mendengkus, "Setidaknya kasih kabar lewat telepon, jangan suka-sukanya gitu. Kamu pikir di rumah ini nggak punya aturan?" Terdengar nada tak menyenangkan yang baru saja terlontar dari suami sah Andine tersebut.

Andine menatap sang suami dengan perasaan tak senang, tetapi meskipun begitu ia tetap menyadari bahwa dirinya memang salah. Andine mencoba menahan kekesalan di dalam dadanya, meski ia berhak mengungkapkannya di hadapan Andra sebab menganggap bahwa sang suami terlalu berlebihan saat marah.

Apa pria itu tidak ingat bahwa sebelumnya ia juga sering pulang terlambat dan tidak mengabari? Dasar lelaki!

"Maaf, Mas. Aku lupa." Akhirnya hanya kalimat itu yang tercetus dari bibir Andine. Ia bukannya tak berani melawan, hanya terlalu lelah untuk berdebat, sebab ia tahu suaminya ini memang keras kepala.

Andra menghela napas panjang, "Lain kali, pulanglah tepat waktu. Jangan keluyuran lagi. Kamu tahu 'kan? Walaupun aku cuma suami di atas kertas, tapi kamu tetap bagian dari tanggung jawab aku. Aku nggak mau kamu sampai kenapa-napa, dan ujung-ujungnya malah ngerepotin aku, paham?"

Menyakitkan sebenarnya, tetapi Andine tetap berusaha tegar berdiri dengan kedua kakinya sendiri. Meski perih, meski kata-kata yang terlontar dari mulut sang suami bagai belati yang menusuk tepat ke hati. Namun, ia tak boleh menyerah begitu saja.

Andine pun mengangguk samar, "Paham, Mas," jawabnya dengan suara lirih. Dirinya kini bagai sosok istri yang penurut dan begitu menghormati suami. Padahal, gejolak di dalam dadanya ingin sekali diledakkan saat itu juga.

"Bagus." Andra hanya menjawab singkat, pria itu kemudian melangkah pergi meninggalkan sang istri seorang diri di sana.

Namun, baru beberapa langkah Andra berlalu, ia berbalik dan kembali menghampiri Andine. Seperti ada sesuatu yang tertinggal, juga hal yang masih mengganjal di hati. Andra harus menuntaskannya sekalian saat itu juga.

Kehadiran Andra yang tiba-tiba kembali muncul di hadapannya, justru membuat Andine setengah terkejut dengan kedua mata melebar.

"Ada satu hal lagi yang mau aku bicarakan," ucap Andra, dengan tatapan setajam elang tertuju ke manik kecoklatan milik wanita itu.

Andine terkesiap, ia menunggu pembahasan apalagi yang akan dilontarkan pria itu.

"Soal tadi pagi. Jangan pernah berpenampilan aneh-aneh kalau mau berangkat ke kantor. Dandanlah sewajarnya, pakai pakaian yang sepantasnya. Kamu itu mau kerja, bukan mau fashion show. Paham?" Andra kembali memperingati, membahas masalah pagi tadi. Terlihat ada kemarahan tertahan dari sorot matanya yang tajam, tapi berusaha ia redam dengan kata-kata dan kalimat penuh nasihat dibalut teguran.

Andine terkejut, lagi. Entah kenapa ia justru merasa aneh dengan sikap sang suami kali ini. Awalnya dia marah-marah, kemudian menasehati bahkan membahas kembali masalah tadi pagi yang Andine sendiri sudah melupakannya.

Wanita itu menatap tak percaya ke arah sang suami. Benarkah Andra se-perhatian itu? Atas dasar apa? Peduli? Takut sang istri dilirik pria lain? Atau ... hanya karena tak ingin dicap buruk oleh orang lain karena memiliki istri yang berpenampilan terlalu berani?

Entah, Andine hanya bisa menduga saja. Namun, keinginannya, kalau bisa alasan yang dipakai Andra jangan pada pilihan terakhir.

Setelah bicara demikian, Andra pun berbalik kembali dan berjalan meninggalkan sang istri di sana. Masih terlihat sisa-sisa kekesalan dalam dirinya, kala ia meninggalkan Andine di sana.

Sedangkan wanita itu, hanya mematung dengan wajah bingung. Ia berusaha mencerna maksud dari kalimat yang terlontar dari lelaki itu beberapa waktu lalu.

Andine mengira, setelah mendapat teguran langsung akan pakaian dan penampilannya tadi pagi, sudah cukup membuat Andra untuk tak membahasnya lagi. Namun, baru saja ... apa itu? Andra kembali menasehatinya? Apakah menurutnya, Andine tidak ingat akan nasihat yang sebelumnya, hingga ia harus kembali mengingatkan?

Andine tersenyum kecut, "Kenapa yang udah lewat dibahas lagi? Apa, Mas Andra setakut itu? Tapi, takut kenapa? Memangnya aku perempuan bodoh yang kemudian akan tampil berani seperti di depannya tadi pagi? Ya enggaklah, dikira aku perempuan murahan apa? Itu 'kan cuma tak-tik, rencana konyol yang muncul di kepalaku gitu aja. Buat apa? Ya, sengaja buat mancing dia." Andine bergumam dengan kedua tangan bersedekap di depan dada, ia mendengkus sebal sambil memutar bola mata.

"Rencana konyol yang aku sendiri nggak tahu berhasil atau enggak. Laki-laki itu susah ditebak, tahunya cuma marah-marah sama ngomel. Cerewet," gerutunya. Sejurus kemudian ia mengentakkan kaki dan berjalan cepat menuju anak-anak tangga, dan sosoknya kemudian menghilang di balik pintu kamar miliknya.

Di kamarnya, Andra termenung dengan wajah kusut. Ia duduk di bibir ranjang empuk itu dengan perasaan kalut, sesekali mendengkus sebal dan menghela napas kasar, sesekali menyugarkan rambut ke belakang sambil meremasnya pelan. Kemudian memijat pelipis yang terasa berdenyut. Seolah beban berat tengah menumpuk di kepalanya.

"Aku harap dia nggak ge-er gara-gara aku nasihati lagi soal kejadian tadi pagi," gumamnya dengan suara lirih, di mana otaknya masih saja memikirkan soal penampilan sang istri tadi pagi.

"Bisa-bisanya dia bersikap seberani itu. Apa dia pikir laki-laki lain nggak akan tergoda? Aku saja yang melihatnya dari dekat jadi merasa ... ah!" Andra menggeleng kuat, berusaha menormalkan pikiran yang tiba-tiba tertuju entah ke arah mana.

"Astaga! Apa yang aku pikirkan?" lirihnya sambil mengusap wajah. Pria itu kemudian bangkit dari kursi, dan berjalan mondar-mandir sambil mengingat kembali bagaimana ia marah pada Andine sebab berani memakai make up tebal dan rok pendek tak seperti dandannnya yang biasa.

"Tapi ... Andine memang cantik."